Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peristiwa

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana 72 Badan Eksekutif Mahasiswa menduduki Istana Merdeka selama enam jam gagal. Aksi yang direncanakan mendatangkan 10 ribu orang pada 1 Maret lalu itu ternyata hanya dihadiri sekitar 1.500 orang. Aparat pun mudah saja memblokir Jalan Merdeka Utara, Jakarta. Padahal, sekitar 300 mahasiswa sudah memulai aksi di depan Istana sejak pukul 06.00 pagi?aksi yang tergolong paling pagi yang dilakukan mahasiswa. Gagal mencapai Istana, mahasiswa memaksa RRI menyiarkan secara tunda beberapa tuntutan mereka: desakan agar Presiden Abdurrahman Wahid mundur, dibubarkannya Golkar, dan pemberantasan korupsi sejak zaman Orde Baru. *** Bekas Pangkostrad Letnan Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto tampil Rabu pekan lalu di DPR. Di depan panitia khusus peristiwa Trisakti dan Semanggi, mantan jenderal bintang tiga ini sangat percaya diri. Sesekali suaranya meledak-ledak, terutama ketika ia membantah tuduhan bahwa ia berada di belakang penembakan yang mengakibatkan tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti 12 Mei 1998 lalu. "Itu fitnah yang tidak berdasar," katanya keras. Keberadaan satu ssk Arhanud Kostrad di lapangan saat peristiwa itu, menurut bekas Danjen Kopassus itu, di bawah kendali operasi Kodam Jaya. Prabowo, yang dipecat dari dinas TNI, menduga penembakan mahasiswa itu dilakukan oleh polisi. Sebab, beberapa hari sebelumnya, ada polisi yang tewas di tangan mahasiswa Universitas Djuanda, Bogor. Mungkin ada yang sakit hati dan bertindak di luar kendali. "Saya sependapat, apa pun yang terjadi harus ada yang bertanggung jawab,'' ujarnya. Sementara itu, di luar ruang sidang, keluarga mahasiswa yang jadi korban, juga keluarga aktivis prodemokrasi yang diculik, berunjuk rasa menuntut agar bekas menantu Presiden Soeharto itu diadili di muka pengadilan hak asasi manusia. *** PEMBUNUHAN tiga relawan Rehabilitasi Aksi Tindak Kekerasan Aceh (RATA) mulai terungkap. Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Sunaryo, Selasa pekan lalu, menyatakan ada delapan orang tersangka dalam kasus pembunuhan yang sangat keji itu. Empat orang di antaranya dari militer: Kasi Intel Korem 011/Lilawangsa, Mayor Infanteri Jerry Patras, Lettu CHK Herry Ruman, Sertu Slamet Jawa, dan Serda Ermanto. Mereka dibantu empat orang sipil: Ampon (48 tahun), Guru (37), Buyung (44), dan Madiah (41). Delapan orang ini akan diadili lewat sidang koneksitas. Menurut Sunaryo, sidang baru bisa dilaksanakan paling cepat dua bulan mendatang. Sidang akan digelar di Banda Aceh, meskipun peristiwa terjadi di Lhokseumawe, Aceh Utara. ''Ini sesuai dengan Pasal 85 KUHAP," ujar Sunaryo. Peristiwa ini berawal dari hilangnya Idris (27 tahun), Ernita Yeni (24), dan Bachtiar (23), awal Desember tahun lalu. Ketiganya hendak memantau kondisi masyarakat Kutamakmur, Aceh Utara, pascaperingatan ulang tahun Gerakan Aceh Merdeka. Saat itu terjadi tindak kekerasan terhadap penduduk setempat. Di tengah jalan rombongan relawan kemanusiaan itu dicegat sekelompok orang berbadan tegap dan diiringi Ampon Thayeb Geudong, seorang informan (cuak) militer. Beruntung, Nazar, salah seorang dari rombongan relawan, berhasil kabur dan mengenali Ampon. Tapi, sehari kemudian, tiga aktivis RATA itu ditemukan tewas dengan luka tembak di bagian kepala di sebuah jurang di Kecamatan Blangmangat. Persidangan koneksitas ternyata ditolak oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh, Rufriadi. Menurut dia, tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang seharusnya menjadi kewenangan peradilan hak asasi manusia. Protes Rufriadi belum berjawab sampai kini. *** Letnan Kolonel Soeharto berbohong tentang Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta? Sebuah buku menjawabnya. Buku Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, yang diluncurkan Kamis pekan lalu di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa pelaku serangan fajar, menurut Brigjen (Purn.) Marsudi?saat itu menjadi anak buah Soeharto?adalah kolaborasi antara sipil dan militer. Jadi, bukan hanya gagasan dan strategi Soeharto. Di buku itu dikemukakan bahwa Sultan Hamengku Bowono IX memiliki peranan penting dalam pendudukan Yogya selama enam jam itu. Fakta ini ditunjukkan oleh rekaman wawancara Sultan HB IX dengan Radio BBC London pada 1986. Waktu itu, Sultan mengatakan ia yang menggagas serangan itu. "Pada permulaan Februari saya kirim surat kepada Pak Dirman (Panglima Besar Jenderal Sudirman), meminta izin supaya diadakan suatu serangan umum,'' kata (almarhum) Sultan HB IX. Lalu Jenderal Sudirman menyarankan Sri Sultan HB IX berhubungan dengan Letkol Soeharto, yang waktu itu menjadi Komandan Wehrkreise III. Peran Soeharto jelas ada, walau ia bukan sendirian jadi aktor utama, seperti yang digambarkan selama ini. Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus