MINUM jamu, Mas?" Seorang perempuan berkebaya dengan menggendong bakul berisi botol-botol besar sudah berada di depan kita. Dengan cekatan dia mencampur isi botol yang berwarna-warni itu sesuai dengan pesanan pelanggan. Mau jamu beras kencur, asam manis, pakai madu atau telur, tinggal pilih. Dan begitulah kita bernostalgia tentang minum jamu.
Industri jamu berkembang pesat. Cara menjualnya tidak lagi digendong, tapi dengan mobil ke desa-desa. Dan ada yang memakai orang-orang cebol untuk mempromosikan jamunya. Kemasannya pun semakin modern. Dan kini, sejumlah jamu sudah dalam bentuk kapsul dan dipromosikan di layar kaca dengan dana miliaran rupiah.
Lalu, datanglah ke daerah pecinan Glodok. Dalam satu deretan toko obat, Anda tinggal menyebutkan apa yang sering Anda keluhkan. Penjaja toko?tentu saja tidak memakai kebaya?hanya perlu berpikir beberapa saat, kemudian mencarikan pil yang ada di dalam botol. Hampir seragam bentuknya, bulat-bulat kecil berwarna hitam. Itulah obat Cina yang digolongkan sebagai jamu. Di situ, sejumlah masalah perlu dipertanyakan.
Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dengan dukungan TEMPO menunjukkan jamu Cina itu ternyata berisi komponen obat keras yang tergolong dalam Daftar G?hanya boleh dibeli berdasarkan resep dokter. Yang lebih gawat, ternyata banyak jamu yang beredar di pasaran tanpa mendapatkan rekomendasi dari Departemen Kesehatan. Dosis pemakaiannya pun terkadang mengikuti petunjuk "penjual obat".
Masyarakat sepertinya tak punya pilihan lain di tengah-tengah mahalnya harga obat. Pemerintah berkali-kali menganjurkan agar masyarakat membiasakan mengonsumsi obat yang lebih murah dengan membeli obat generik. Namun, itu tak mudah. Banyak dokter yang enggan menuliskan resep obat generik. Dan yang lebih parah, banyak apotek yang menolak resep yang meminta obat generik.
Pengawasan pemerintah yang longgar untuk berbagai jenis jamu ini, baik yang lokal maupun yang dari Cina, memang mencemaskan. Departemen Kesehatan tentu tak bisa bekerja sendirian. Ada Bea Cukai yang mestinya bisa menghadang di pintu utama. Lalu, tak pernah terdengar ada razia di toko-toko obat untuk menarik "pil jamu"?begitu banyak orang menyebutnya?yang tidak terdaftar itu. Lemahnya pengawasan ini membuat masyarakat seperti tidak ada masalah dengan khasiat jamu itu. Mereka sudah tergiur dengan iklan, brosur, dan cerita kiri-kanan, yang tidak semuanya sesuai dengan kenyataan.
Sudah saatnya pemerintah bertindak lebih keras untuk melindungi konsumen kesehatan. Aturan bahwa semua jenis obat itu?tradisional ataupun bukan?mesti terdaftar di Departemen Kesehatan dan mencantumkan registrasi tersebut di kemasannya hendaknya dijadikan kewajiban yang disertai sanksi hukum. Kalau aturan ini diawasi dengan ketat, konsumen pun merasa terlindungi. Sekarang, karena begitu banyaknya jenis jamu yang tidak ada label registrasinya dari Departemen Kesehatan, konsumen hanya bisa menebak-nebak atau malah terjebak promosi dari pihak penjual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini