Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banteng Beradu Banteng |
Eros Djarot, sahabat kesayangan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri, nyaris terjegal kemungkinannya menjadi ketua baru partai berlambang banteng itu.
Eros memang sudah bertekad serius mencalonkan diri sebagai ketua umum PDI-P dalam Kongres I, yang akan berlangsung di Semarang dua pekan mendatang. Tapi, diam-diam, langkah Eros diganjal oleh Roy B. Janis dan Santayadua tokoh yang dikenal dekat dengan Taufiq Kiemasdengan alasan yang sepele: administratif.
Di Konferensi Cabang PDI-P Jakarta Selatan, pekan lalu, Roy dan Santaya mencabut kartu anggota Eros. Menurut mereka, kartu Eros menyatakan dia berdomisili di Jakarta Timur, sementara KTP Eros menerangkan berdomisili di Jakarta Pusat. Dengan itu, menurut mereka, Eros tak bisa mewakili Jakarta Selatan. Alhasil, nama Eros dicoret dan tidak bisa menghadiri kongres di Semarang, termasuk pencalonan dirinya sebagai ketua umum.
Keruan saja, Eros berang. Berangkat dari kejengkelan, Eros datang ke kantor DPP PDI-P, Kamis lalu, dan meminta penjelasan pencoretan namanya. Kedatangan Eros diterima Sekjen Alex Litaay, yang mengatakan masalahnya sudah selesai. "Kartu anggota Eros tidak bermasalah. Ia boleh hadir di Semarang," kata Litaay.
Dalam pertemuan itu, Megawati sempat berada di kantor DPP Lentengagung. Sayang, Eros tidak berhasil bertemu Mega, yang segera pergi menghadiri acara kenegaraan kunjungan Mahathir Mohamad. Di situ, Eros menuntut diselenggarakannya dialog dengan orang-orang DPP yang menjegalnya sebagai utusan kongres di Semarang.
"Kalau perlu, dialog dilangsungkan terbuka supaya masyarakat tahu duduk persoalannya," katanya. "Saya sedih karena ini tragis bagi partai yang menjunjung tinggi demokrasi. Saya heran kenapa Mbak Mega mempraktekkan suasana Orde Baru di PDI-P."
Buttu Hutapea Ditahan |
Jarum jam pengusutan kasus 27 Juli terus bergerak maju. Setelah menetapkan Sekjen PDI Buttu Hutapea dan Alex Widya Siregar sebagai tersangka, Selasa lalu Mabes Polri menerbitkan surat perintah penahanan atas diri Buttu Hutapea.
Buttu resmi ditahan Polri setelah diperiksa tim penyidik bentukan Kapolri Rusdihardjo. Status tersangka Buttu sesuai dengan surat panggilan tim penyidik dan pemeriksaanya dilakukan langsung oleh Wakil Direktur Reserse Umum, Kolonel Makbul, di lantai II Mabes Polri. Buttu ditahan dengan sangkaan melakukan tindak penganiayaan dan pembakaran.
"Surat penahanannya sudah turun, tapi kami keberatan karena pertimbangannya lebih politis," kata Pangkalis Pieter, pengacara Buttu. "Kalau alasannya untuk memperlancar penyidikan, saya yakin klien saya tidak akan melarikan diri," ia menambahkan.
Menurut Pangkalis, kasus 27 Juli adalah kasus kompleks yang sarat dengan muatan politis. Namun, dia menyatakan kecewa karena Polri berat sebelah, hanya melihat kasus ini sebagai perbuatan kubu Soerdjadi cs. Menurut dia, ada keterlibatan kalangan nonsipil dalam peristiwa itu.
Tim Pembela PDI (TPDI) Trimedya Panjaitan menyatakan hal senada. "Saya minta Polri juga meminta keterangan pejabat-pejabat militer yang terlibat," katanya.
Anggota DPR Minta Senjata Api |
Bayangkan. Suatu malam di lampu merah yang sepi, mobil Ketua DPR Akbar Tandjung digedor paksa orang-orang bersenjata tajam. Tapi, laiknya tokoh Dirty Harry di film-film detektif Hollywood, raut wajah ketua DPR ini dingin saja. Cepat tangannya merogoh pinggang di balik jasnya. Dan kini Akbar-lah yang menyeringai dengan pistol penuh peluru di tangan.
Itu tak mustahil terjadi bila anggota DPR diizinkan memegang senjata api, seperti yang sedang diperdebatkan sekarang.
Adalah anggota Komisi II DPR, Yulius Usman, dari PDI-P yang pertama melempar bola polemik ini. Saat dengar pendapat dengan Kapolri, minggu lalu, ia mengusulkan agar anggota DPR diizinkan memegang senjata api. Alasannya, saat ini timbul rasa tidak aman di kalangan anggota. Itu terjadi menyusul pembunuhan terhadap anggota DPR Tengku Nashiruddin, penembakan ruang kerja salah seorang anggota, dan terakhir percobaan pembunuhan yang menimpa Wakil Ketua MPR, Matori Abdul Djalil.
Atas permintaan itu, Kapolri Letjen Rusdihardjo menyatakan, hal itu bisa saja dipenuhi. "Sebenarnya, anggota DPR memang memenuhi syarat," katanya. Tetapi, ia meminta permohonan tersebut diajukan kolektif. Senjata itu nantinya menjadi inventaris DPR. "Pemilikannya berganti kalau anggota DPR juga berganti," ujar Kapolri.
Tetapi, tidak lantas hasrat anggota dewan untuk bisa menenteng pistol itu akan gampang terlaksana. Di kalangan anggota sendiri, usulan itu dianggap kurang tepat. Anggota BP MPR, Theo Sambuaga, malah yakin cara itu hanya akan memunculkan berbagai persoalan baru. "Bayangkan jika 500 anggota MPR dan 200 anggota DPR memegang senjata api. Wah, pasti tambah kacau negara ini," kata anggota Fraksi Partai Golkar itu.
Pakar hukum dan hak asasi manusia, Mulya Lubis, malahan menganggap usulan itu aneh. "Pembacokan atas Matori itu malah konsekuensi dari mulai dibebaskannya pemilikan senjata api," ia menegaskan. Ia yakin bahwa izin itu akan lebih banyak mendatangkan mudarat ketimbang manfaat.
Presiden Kunjungi Soeharto di Cendana |
Setelah sebelumnya mengunjungi Habibie dan Wiranto di rumah masing-masing, Rabu pekan lalu Presiden Abdurrahman Wahid mengunjungi Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta.
Di kediaman mantan orang kuat yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu, Abdurahman dan Nyonya disambut tuan rumah dengan penuh antusias. Bahkan, untuk menghormati Ibu Negara, yang hari itu berulang tahun ke-60, nasi tumpeng yang masih mengepul dan soto Kudus pun khusus dihidangkan.
Meski Presiden sendiri sudah menyatakan kunjungannya tak lebih dari sowan kepada yang lebih tua, bau politik tak bisa dicegah meruap. Komentar dan kekhawatiran pun segera mencuat. Apalagi, terbukti sore harinya Soeharto urung datang ke RSCM untuk pemeriksaan kesehatan, sesuai dengan permintaan Kejaksaan Agung. Selama ini memang Soeharto, melalui kuasa hukumnya, berkali-kali menolak datang ke kejaksaan dengan alasan medis.
Pengamat politik Mochtar Pabottingi melihat hal itu akan merusak upaya penegakan hukum yang sedang berjalan. "Saya menyayangkan hal itu sampai bisa terjadi," katanya. Apalagi, ternyata kedatangan itu atas permintaan pihak keluarga Soeharto. "Kalau Presiden dengan spontan langsung tergopoh-gopoh datang, itu merendahkan wibawa beliau sendiri," tuturnya.
Lebih dari Mochtar, Arbi Sanit malahan melihat kemungkinan Soeharto diajukan ke pengadilan semakin kecil. Baik Mochtar maupun Arbi mengkhawatirkan timbulnya rasa rikuh di kalangan pembantu presiden untuk meneruskan proses hukum Soeharto.
Tetapi, kekhawatiran ini kontan dibantah Jaksa Agung Marzuki. Marzuki mengatakan, kunjungan Presiden ke Cendana tidak mempunyai dampak terhadap proses hukum yang sedang dilakukan pihaknya. "Saya jamin itu," katanya. Menurut dia, kejaksaan telah menemukan bukti baru pelanggaran hukum yang dilakukan Soeharto, tidak hanya keputusan presiden tentang mobil nasional dan soal berbagai yayasan yang dimilikinya.
Bentrokan dalam Aksi Papua Merdeka |
Sejumlah insiden berdarah antara pihak pro dan anti-Papua Merdeka mengemuka belakangan ini. Pekan lalu, insiden terjadi di Kota Nabire. Tiga orang anggota Satgas Papua tewas percuma dalam bentrokan antar-aparat keamanan. Satgas Papua inilah yang kini sedang marak dibentuk penduduk berbagai kota.
Peristiwa itu hanya melanjutkan kejadian seminggu sebelumnya. Saat itu ribuan massa berdemonstrasi saat sidang pengadilan terhadap Theys Hiyo Eluay digelar. Theys, yang didakwa melakukan makar, saat ini mengklaim diri sebagai Pemimpin Besar Papua. Demonstrasi itu berbuntut kerusuhan dan menewaskan tiga orang penduduk.
Menurut Kapolres Nabire, Letkol Pol. Faizal, ketiga orang tersebut terpaksa ditembak aparat keamanan. "Mereka melawan dengan golok dan panah," ujarnya. Ia juga menyatakan, tiga aparat Brimob terluka akibat bacokan dan panah Satgas Papua. "Kita tak mungkin lagi menolerir mereka."
Memang, daerah yang dahulu bernama Irianjaya itu kini panas. Segera setelah jatuhnya Orde Baru, muncul kelompok-kelompok yang menginginkan Irian merdeka dan lepas dari Indonesia. Hasrat untuk merdeka ini menggelegak setelah puluhan tahun diredam kekuasaan Jakarta. Tentu saja, masyarakat kemudian terpecah antara yang pro dan antikemerdekaan.
Kelompok prokemerdekaan ini sempat berkali-kali menggelar pertemuan hingga terbentuk Komite Independen Papua. Dalam kongres terakhir yang digelar di Hotel Sentani, akhir Februari lalu, bahkan diputuskan untuk menyatukan Provinsi Papua dan Papua Nugini. "Pada 1 Mei 2003, kita akan bersatu dengan Papua Nugini dalam wadah 'Just One Papua' (Hanya Satu Papua)," kata Theys saat itu. Pada saat yang sama, Theys juga mengancam akan mendirikan negara Papua Merdeka.
Jakarta sendiri tampaknya tak kan lagi memberi angin kepada keinginan untuk berpisah. Setelah memberi kado tahun baru dengan menyetujui perubahan nama Irianjaya menjadi Papua dan memberi opsi otonomi, Presiden Wahid tampaknya merasa cukup. "Kita tak kan menolerir adanya negara dalam negara," katanya saat bertemu dengan Sultan Brunei, dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo