Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perasaan berang, pedih, malu, terhina serta-merta menyayat sanubari kita saat mengetahui musibah Kartini. Kalau hukuman mati itu dilaksanakan juga akhirnya, inilah getaran moral yang diisyaratkannya: bahwa seorang perempuan desa pergi jauh ke negeri orang demi kesejahteraan keluarga, dan "pulang" ke tanah airnya tinggal nama. Kartini memang pergi untuk sesuap nasi, tapi dalam perjuangan mengadu nasib, ia telah diperkosa. Informasi ini diberikannya kepada Tim Dukungan Pembelaan Kartini, yang khusus dikirim ke Fujairah, UEA, dari Jakarta.
Bahwa Kartini kemudian lebih melihat dirinya sebagai pelaku zina dan bukan korban pemerkosaan, hal itu menunjukkan terbatasnya pemahaman wanita ini tentang hubungan pria-wanita. Bertolak dari pemahaman itu, Kartini bukan saja merasa dirinya sampah, tapi juga rela dijatuhi hukuman mati. Alangkah malang Kartini, yang menilai dirinya secara salah ini, sehingga hakim pun telanjur membuat keputusan rajam berdasarkan penilaian yang salah itu. Padahal, yang paling tepat dijatuhi hukuman rajam tentu sang pemerkosa sendiri. Sangat tidak adil jika Sulaeman lolos, sedangkan korbannya, Kartini, dirajam sampai mati. Tapi bagaimana pemerkosa ini bisa raib begitu saja, dan apakah majikan Kartini yang juga majikan Sulaeman mengetahui hal ini, sungguh tak jelas. Juga tak disebut-sebut perihal kemungkinan menjatuhkan vonis rajam sampai mati kepada Sulaeman, in absentia.
Dilihat dari sudut ini, Kartini bukan hanya korban pemerkosaan, tapi juga korban diskriminasi. Apakah diskriminasi itu dilakukan atas nama hukum, gender, atau politik, yang pasti diskriminasi terhadap perempuan tak ubahnya luka lama yang setiap kali bisa kembali mengalirkan darah segar. Hukuman rajam atas Kartini telah mengalirkan lagi darah segar itu, terutama karena vonisnya diputuskan hanya beberapa hari sebelum Hari Perempuan Internasional dirayakan di Beijing, 8 Maret berselang.
Akankah Kartini bisa diselamatkan dari rajam, hal itu masih tanda tanya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini memang belum maksimal menata dan melembagakan pengiriman tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri, padahal kasus pelecehan seksual, penganiayaan, bahkan pembunuhan sudah sering terjadi.
Dari semua persyaratan awal yang diperlukan untuk mengamankan pengiriman TKW, maka manajemen yang rapi, kontrak kerja yang jelas bagi pihak majikan serta TKW, dan adanya perlindungan hukum merupakan hal yang tak bisa ditawar-tawar. Dalam hal ini pemerintah seharusnya lugas dan tegas menyikapi para eksportir TKW. Walaupun kegiatan ekspornya bersifat komersial, karena yang dikirim bukan komoditas biasa, seharusnya tiga persyaratan awal tersebut dimasukkan dalam standar minimal yang harus dipenuhi. Kalau ini dilakukan sejak awal, pemerintah agaknya tidak perlu repot mengurus berbagai kasus pelecehan dan penganiayaan. Dan Kartini pun tidak akan dijatuhi hukuman rajam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo