Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kita Butuh Aman, Bukan Pistol

Kapolri menyebutkan, anggota DPR memenuhi syarat untuk mendapat izin memegang senjata api. Syukur, itu ditentang.

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Interupsi, Saudara Ketua….

Ketua sidang rupanya tak mendengar. "Saudara Ketua, inte-rupsi…, interupsi…." Dor…. Ketua sidang refleks mengambil pistol: dor…. Ruang sidang panik. Kini semua anggota dewan mengacungkan pistol ke atas dan siap-siap menarik pelatuknya. Tak peduli ibu-ibu yang mengenakan kebaya, bapak-bapak yang memakai kopiah, semua mengacungkan pistol ke atas. Siapa, sih, yang ditembak? Tak ada. Mungkin semacam gertak, atau pamer, atau malah bingung mau dipakai apa pistol dinas itu.

Pembaca, tentu saja persidangan ini hanya sebuah khayalan, yang baik untuk ide teater humor. Khayalan ini muncul kalau semua anggota DPR diizinkan memegang senjata api karena, menurut Kapolri Letjen Rusdihardjo, hal itu memungkinkan. Dan jika khayalan itu menjadi kenyataan, walau tak sedramatis yang dikhayalkan tadi, DPR pantas menjadi "dewan preman rakyat".

Untuk apa anggota DPR dipersenjatai, sementara TNI yang bersenjata saja harus segera minggir dari lembaga wakil rakyat ini? Menurut usulan Yulius Usman, anggota DPR dari Fraksi PDI-P, itu untuk berjaga-jaga diri, siapa tahu kena bacok seperti Matori Abdul Jalil. Entah usulan ini serius atau setengah serius, Kapolri Rusdihardjo menanggapi dengan sinyal bahwa hal itu memungkinkan.

Untunglah, protes keras yang menggagalkan niat Yulius Usman itu dilakukan teman-temannya sendiri. Sangat mustahil anggota DPR ke mana-mana membawa senjata. Para penjahat yang ingin meneror atau "menghabisi" orang pun bukan orang bodoh. Mereka pasti beraksi di saat-saat "mangsanya" lengah, seperti kasus Matori itu.

Kita, warga sipil, lebih sering lengah. Kelengahan itu nikmat. Sebab, itu menandakan ada rasa aman dan jauh dari perasaan waswas. Perasaan aman inilah yang harus diciptakan oleh pemerintah lewat perangkatnya: TNI dan Polri. Mereka digaji untuk membuat aman. Kalau rasa aman itu tak ada, betapa capeknya kita harus waspada setiap saat. Ketemu orang takut, jangan-jangan kita ditembak. Berjalan-jalan takut, jangan-jangan ditodong. Kerja di kantor takut, jangan-jangan jendela kantor kena tembakan. Kita waswas dan curiga kepada setiap orang, jangan-jangan orang di sekitar kita bersenjata semua.

Salah satu cara mewujudkan rasa aman itu justru memperkecil peredaran senjata. Yang memegang senjata hanya aparat keamanan, yang dilatih dan digaji untuk itu. Itu pun dipegang dengan tugas yang jelas, ketahuan dari pakaiannya, fasilitas yang dibawa, identitas, dan ciri-ciri lainnya. Di luar itu, kalau ada yang membawa senjata, disita saja, biar pun itu anak jenderal atau anak lurah. Razia senjata dan upaya memperketat izin penggunaan senjata harus dilakukan. Biarlah petani hanya bersenjata cangkul dan sabit, nelayan bersenjata pancing dan jala, wartawan bersenjata tape dan pena, anggota DPR bersenjata: suara dan telinganya. Dengar keluhan rakyat, suarakan secara lantang, bukan ikut-ikutan main dor….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus