Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peristiwa

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buttu Hutapea dan Tragedi 27 Juli

Ada banyak hal yang bisa dilakukan pada era reformasi dan keterbukaan. Antara lain: mengungkap lagi kasus-kasus lama yang dulu tabu untuk dijamah.

Pekan lalu, Mabes Polri memeriksa dua pengurus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Suryadi dalam kaitan dengan "Tragedi 27 Juli". Buttu Hutapea (sekjen) dan Alex Widya Siregar diperiksa sebagai tersangka dalam penyerbuan terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, empat tahun silam. Penyerbuan itu membunuh dan melukai sejumlah pendukung PDI Megawati Sukarnoputri yang mengawal kantor tadi. Simpatisan Megawati kemudian meledak dalam kerusuhan—pembakaran dan penjarahan—di pusat Kota Jakarta.

Meski diperiksa sebagai tersangka, keduanya tidak ditahan. Dan itu memicu protes Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), yang memang telah lama memperjuangkan dibukanya kasus ini. "Beberapa saksi yang kami persiapkan menguatkan keterlibatan mereka," kata Petrus Silestinus, anggota TPDI.

Pangkalis Siregar, penasihat hukum Hutapea dan Alex, sebaliknya, mengungkapkan keberatan terhadap permintaan penahanan—dan bahkan penerapan status tersangka—para kliennya. "Tidak ada cukup fakta hukum yang menunjukkan keduanya jadi pelaku atau orang yang menyuruh membantu penyerbuan kantor DPP," kata Pangkalis. "Kasus ini memiliki muatan politis sangat luas. Hanya dengan penyidikan komprehensif, baru bisa ditemukan pelaku sesungguhnya," ia menambahkan.

Penyerbuan itu memang berlatar politik, yakni perebutan Kantor Pusat PDI. PDI-Suryadi, yang memperoleh restu pemerintah, merasa berhak menggusur PDI-Megawati dari sana. Kasus ini tak lepas dari campur tangan rezim Soeharto dalam menyetir partai-partai politik sepanjang era Orde Baru. TPDI menuding pihak aparat—tentara dan polisi—terlibat dalam penyerbuan itu.

Direktur Pembinaan dan Penyidikan Kriminal Pusat Polisi Militer, Letkol (CPM) Hendrojono, mengatakan pihaknya belum punya cukup bukti untuk memeriksa beberapa perwira TNI/Polri. "Keberadaan aparat keamanan saat itu untuk menjaga keamanan di sekitar lokasi kejadian," katanya.

Sebuah babak baru telah dibuka. Namun, belum jelas ke mana drama ini akan bermuara.

Pemberontakan Petani Tambak

Syamsul Nursalim sontak terkesiap. Wajah konglomerat itu berubah pucat tak berdarah. Merasa tak kan mungkin menahan ribuan massa yang dibakar amarah, ia segera keluar mobil dan mengambil langkah seribu. Dengan kapal yang telah merapat di Pantai Tulangbawang, Lampung Utara, ia pun kembali ke Jakarta.

Berbeda dengan Syamsul, yang lolos, Sertu Slamet Riyanto dan Sertu Harry Setyo tak sempat lepas dari kepungan para petani tambak. Kedua anggota Brimob yang juga ajudan pribadi Syamsul itu menjadi sasaran. Dalam keadaan panik, keduanya sempat melepaskan tembakan. Sial, salah satu butir timah panas itu justru menerjang kepala seorang petani tambak—yang kemudian tewas dengan otak terburai. Amarah massa kian menggelegak, dan kedua anggota satuan elite polisi itu tewas.

Insiden di lingkungan PT Dipasena Citra Darmaja itu—sebuah pertambakan udang windu di Lampung, Sumatra Selatan—merupakan rentetan sengketa antara perusahaan dan para petani tambak. Petambak, yang merasa berkali-kali dikecewakan perusahaan, meradang menyusul larangan menjual ikan asin dan basah ke luar lokasi. "Padahal, kami kan butuh makan. Perusahaan sudah tak lagi memberikan biaya hidup bulanan," tutur seorang petambak.

Petambak memang wajar gelisah. Selama 10 tahun lebih, menurut mereka, perusahaan dengan seenaknya mematok harga udang begitu rendah. Bila ada petambak yang ketahuan menjual ke luar, Satpam perusahaan tak jarang berlaku kejam.

Nasib petani kian runyam karena kini Syamsul Nursalim masuk dalam daftar penunggak utang dan PT Dipasena masuk BPPN. Tahun lalu, mereka menginap berhari-hari di Kantor Gubernur Lampung, mengadukan nasib. Mereka melakukan hal yang sama di Gedung DPR Senayan, pertengahan Februari lalu. Namun, nasib tak berubah.

Keras Hati Si Abang Becak

Sebuah pemandangan yang langka telah terjadi: pekan lalu, ribuan tukang becak Jakarta melakukan demonstrasi. Tidak tanggung-tanggung, mereka mendatangi Istana Kepresidenan. Disponsori oleh Wardah Hafidz, Koordinator Urban Poor Consortium (UPC), mereka menuntut Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan Gubernur Sutiyoso untuk menghentikan penggarukan becak.

Sehari kemudian, aksi demo berulang dan sempat memicu bentrok dengan aparat keamanan. Petugas keamanan mengangkut mereka bersama Wardah ke Mapolda Metro Jaya.

Para tukang becak menuntut pencabutan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1998, yang bertujuan mengenyahkan becak dari Jakarta paling lambat akhir Maret tahun ini. Di Kecamatan Sawahbesar, Jakarta, Rabu lalu, puluhan dari mereka bahkan mendatangi kantor kecamatan untuk meminta kembali becak yang sudah dirazia.

Mereka mendapat angin dari Wardah, yang ikut menyalahkan perda tersebut sebagai lambang kekuasaan semena-mena. "Seharusnya pemerintah memfasilitasi dan melindungi lapangan kerja penarik becak yang sudah ada," kata Wardah.

Nasib Gelap Kartini

Kartini—tenaga kerja wanita asal Rengasdengklok, Jawa Barat—terancam hukuman rajam di Uni Emirat Arab. Pengadilan Syariah Islam di Kota Fujariah telah memutuskan vonis kepadanya: dilempari batu hingga mati. Kesalahan: berzina.

Kartini ditangkap beberapa bulan lalu saat ia memeriksakan kandungan dan kemudian melahirkan bayi di klinik setempat. Kepada polisi, gadis 35 tahun itu mengaku kandungannya adalah hasil hubungan gelap dengan pacarnya, Sulaiman, asal India. Sang pacar saat ini raib entah ke mana. Hingga lahirnya bayi yang kini berumur sebulan, Kartini telah mendekam di tahanan tak kurang dari sembilan bulan lamanya.

Dirjen Tenaga Kerja, Dien Syamsuddin, yang sempat menyampaikan permohonan keringanan hukuman bersama Korps Wanita Indonesia (Kowani) kepada Dubes Uni Emirat Arab, mengungkapkan bahwa ia merasa banyak hal yang janggal dalam peradilan Kartini. Di pengadilan, terdakwa tak pernah didampingi seorang pembela pun. Padahal, dalam pengadilan syariah Islam yang fair, pembela mutlak ada. Pengadilan juga tak pernah mendatangkan saksi dalam sidangnya.

Dari sisi hukum Islam, penerapan hukuman rajam untuk Kartini pun tidak pas. "Seorang yang tidak bersuami, bukan janda, dan belum pernah menikah, kalaupun terbukti, hukumannya bukan dirajam, melainkan dicambuk 100 kali," kata Menteri Agama Thalhah Hasan.

Manjadikan Istana Lebih Ramah

Wajah Sekretariat Negara akan lebih ramah dan banyak senyum. Itu kalau benar akan terjadi pergantian cukup besar pada beberapa posisi penting di lembaga ini. Lewat tangan Mensesneg Bondan Gunawan, Presiden Abdurrahman Wahid dikabarkan akan menggusur 38 pejabat—sebagian besar dari militer—di lingkungan kementerian yang menjalankan tugas keseharian presiden itu.

Beberapa nama baru akan masuk. Satu sumber mengatakan, Ketua PAN Faisal Basri dan kolumnis Mohammad Sobary tercatat dalam daftar itu. Faisal akan menempati posisi deputi bidang pemerintahan, satu tingkat di bawah Bondan, sedangkan Sobary menempati posisi deputi bidang media.

Pada masa lalu, Sekretariat Negara memang terkesan sangar dan angker. Atmosfer ini tak dapat dilepaskan dari banyaknya personel militer yang menjadi pejabat di sana. Abdurahman Wahid rupanya tidak kerasan hidup dalam atmosfer yang penuh formalitas seperti itu. Sejak ia naik menjadi presiden, upaya lebih banyak menempatkan orang sipil di lingkungan Istana pun digelar.

AGAM dan Demoralisasi Tentara

Belum lagi berbagai hujatan sebagai pelanggar hak asasi manusia reda, TNI mungkin harus bersiap-siap dianggap sebagai penyebar informasi bohong. Senin dua pekan lalu, melalui Kapuspen Graito Usodo, pihak TNI mengklaim telah menembak Panglima Komando Pusat AGAM, Tengku Abdullah Sjafii, dalam sebuah kontak senjata di Jiemjiem, Pidie. "Menurut seorang anggota mereka yang tertangkap Kodim Pidie, Abdullah sedang sekarat. Ini berita resmi yang kami peroleh," kata Graito saat itu.

Kurang lebih seminggu kemudian, foto Sjafii muncul di berbagai media dalam keadaan segar-bugar. Seakan mengolok-olok, dalam foto tersebut Panglima AGAM malah mengangkat tinggi-tinggi bajunya, memperlihatkan tak satu butir pun peluru TNI pernah mencederainya.

Menurut Sjafii, saat terjadi pertempuran itu, ia sedang mengadakan rapat dengan beberapa komandan wilayah, jauh dari lokasi. "Dari logikanya saja, mana mungkin orang yang sama berada di dua tempat yang berbeda dalam satu waktu," ujarnya. Namun, ia mengaku tak heran dengan pernyataan Graito. "Itu maksudnya buat melemahkan kita." Ia lalu menyebutkan Hassan Tiro, yang berkali-kali diisukan telah meninggal.

Sebenarnya, waktu itu pun banyak pihak yang menyikapi berita tersebut dengan skeptis. Apalagi, sehari kemudian, Dandim 0102 Pidie, Letkol Iskandar M.S., melansir versi yang berbeda dengan Kapuspen. Sementara Graito menyebut sekaratnya Sjafii akibat tembakan pada kaki, Dandim menyebut akibat bersarangnya tiga peluru TNI pada bagian dada.

"Skandal" itu mencerminkan lemahnya intelijen dan profesionalisme TNI saat ini. Tak hanya itu. Apa yang ditemukan oleh Polda Metro Jaya pekan lalu—jika benar—mencerminkan rusaknya moral aparat. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Mayjen Pol. Nurfaizi, pekan lalu menyatakan pihaknya telah membongkar jaringan penjualan senjata kepada Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) yang melibatkan belasan aparat keamanan yang tersebar di Jakarta dan Bandung.

Jual-beli senjata ini disinyalir sudah berlangsung lama. Karena diperkirakan melibatkan banyak pihak termasuk aparat keamanan, jual-beli ini berjalan aman dan lancar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus