Terhitung 1 April 2000, Bank Indonesia (BI) mewajibkan sektor perbankan agar melaporkan semua transaksi devisa, tak terkecuali yang jumlahnya di bawah US$ 10.000. Jika pelaporan terlambat satu hari, bank yang bersangkutan dikenai denda Rp 5 juta dan demikian seterusnya. Ketentuan itu ditegaskan kembali karena rupanya selama ini setiap transaksi yang bernilai di bawah US$ 10.000 tidak dilaporkan, sehingga lalu lintas devisa tidak tergambarkan secara rinci dan hasil pemantauan devisa oleh BI jadi tidak akurat.
Gagasan tentang monitoring devisa bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Sejak pasar uang negeri ini dihajar oleh para spekulan, sejak itu pula otoritas moneter kita menyadari bahwa sistem devisa bebas adalah sistem kebablasan yang mempercepat kehancuran perekonomian Indonesia.
Kini, keadaan berangsur membaik, kurs rupiah relatif terkendali, dan sesuai dengan statusnya yang independen, BI memerlukan sejumlah instrumen, di antaranya monitoring alias pemantauan lalu lintas devisa. Manfaatnya adalah agar kebijakan moneter dapat berjalan efektif, sehingga ketahanan moneter Indonesia bisa lebih kenyal dan tidak mudah guncang. Kita belum lupa bahwa krisis moneter yang pada awalnya merebak di Thailand, imbasnya malah bertubi-tubi memukul Indonesia. Penyebab utamanya ada pada sistem devisa bebas yang dianut selama ini, yang tidak memungkinkan otoritas moneter memantau pelarian modal ke luar negeri.
Sekarang, walaupun nama dan alamat pemilik dana tidak perlu dilaporkan ke BI oleh bank yang bersangkutan, kegunaannya apa dan ditransfer ke negara mana harus dicatat dengan jelas. Monitoring itu baru diberlakukan di tingkat bank, tapi kelak akan dikenakan pada perorangan. Tujuannya, menurut Direktur BI Achjar Iljas, adalah demi mendapatkan informasi dan data yang lengkap, akurat, dan tepat waktu, agar kemudian bisa digunakan dalam menyusun kebijakan moneter. Selain itu, juga bermanfaat dalam upaya membuat estimasi dan menggariskan keputusan yang tepat.
Bahwa setelah monitoring devisa kemudian diberlakukan kontrol devisa dengan kurs rupiah yang tetap, hal itu haruslah dijajaki secara lebih hati-hati. Kita memang membutuhkan sejumlah kepastian—seperti fixed rate untuk rupiah—agar para spekulan tidak mengacak-acak pasar uang kita seperti dulu lagi. Juga supaya para pengusaha dapat membuat perencanaan usaha secara lebih pasti. Tapi, dengan kewajiban membayar cicilan dan bunga utang luar negeri yang begitu besar, ditambah sektor riil cuma bisa jalan di tempat, akan terlalu gegabah untuk mencoba-coba kontrol devisa seperti yang dilalukan Malaysia.
Seperti diketahui, kontrol devisa yang diberlakukan Perdana Menteri Mahathir pada triwulan akhir 1998 memang efektif menstabilkan kurs ringgit tanpa berdampak negatif pada pembangunan negeri itu. Pendeknya, Mahathir Mohamad patut diacungi jempol untuk sukses besar yang dicapainya dalam perang melawan spekulan. Keberhasilan itu sungguh membuat iri, tapi apa boleh buat, saat ini kita harus pandai-pandai menahan diri. Dan jangan melupakan dua hal ini: bahwa perekonomian Indonesia harus mulai lagi dari titik nol, dan sejauh yang menyangkut pasar uang, opsi utama adalah monitoring lalu lintas devisa. Mari kita lihat, apakah dengan instrumen ini BI mampu meredam fluktuasi devisa, menstabilkan kurs rupiah, dan mengamankan perekonomian dari guncangan moneter yang tidak perlu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini