Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuduhan penjiplakan itu sudah tersiar luas ke permukaan setelah Nurhasim berkirim surat ke Rektor UGM dan beberapa media massa. Ipong mempertahankan disertasinya itu, pada Desember 1998, dengan lancar. Pada 1999, Ipong membukukan disertasinya dengan judul Radikalisme Petani Masa Orde Baru: Kasus Sengketa Tanah Jenggawah. Saat itulah Nurhasim baru menyadari bahwa skripsinya dijiplak mentah-mentah.
Seberapa banyak yang dijiplak? Dua dosen Fakultas Hukum UGM, Eddy O.S. Hiariej dan Enny Nurbaningsih, sudah membandingkan karya Ipong dengan Nurhasim. Menurut Eddy, dari 280 halaman disertasi Ipong, 130 halaman isinya persis dengan skripsi Nurhasim. Malahan, dalam 34 halaman, kemiripan kata per katanya mencapai 100 persen. Afan Gaffar, dosen Fisipol UGM, mempunyai hitungan yang lebih besar. Ada 180 halaman disertasi Ipong idem dito dengan skripsi Nurhasim.
Ipong tak menolak ada keteledoran karena beberapa sumber alpa dicantumkan dalam catatan kaki. "Itu cuma masalah teknis," katanya enteng. Tetapi Ipong menolak dituduh menjiplak. "Sebab, saya hanya mengambil data primer yang diperoleh Nurhasim, bukan substansi karya ilmiahnya," katanya.
Pengambilan data primer itu terpaksa dilakukan Ipong karena saat melakukan penelitian, daerah Jenggawah tertutup untuk obyek penelitian. Karena ia tahu ada penelitian dengan obyek yang sama, dia menghubungi dosen pembimbing Nurhasim. Dengan seizin pembuat skripsi, dia menyalin data primer skripsi Nurhasim, yang diujikan pada 1996. Kalau sekarang Nurhasim meributkannya, kata Ipong, "dia (Nurhasim) ingkar janji."
Karena merasa dikhianati, Ipong ganti membuka aib Nurhasim. Pekan lalu, Ipong menuduh Nurhasim juga melakukan penjiplakan. Data yang diperoleh Nurhasim, kata Ipong, juga bukan hasil penelitian lapangan Nurhasim. Sebab, skripsi alumni Universitas Airlangga itu juga menyalin proposal milik petani. Proposal yang dibuat pada 7 Juli 1993 itu berjudul Proposal Permohonan Perubahan Hak Guna Usaha Perkebunan XXVII Menjadi Hak Milik Tanah Negara Bekas Hak Erfpacht Kebun Gayasan dan Ajung Jember. Dari proposal itu, Nurhasim mengubahnya menjadi data primer. "Seolah-olah dia melakukan wawancara dengan petani," kata Ipong.
"Itu maling teriak maling," Nurhasim membalas. Proposal petani bisa didapatkan oleh siapa pun yang ke lapangan. Dan Nurhasim sudah menyebutkannya sebagai buku induk guna menceritakan sejarah singkat dan data tanah sengketa. Selain itu, dia lebih banyak melakukan wawancara.
Nurhasim mengakui dirinya pernah dihubungi Ipong lewat pembimbingnya. Namun, ia tak menyangka bahwa disertasinya akan dijiplak habis oleh Ipong. Waktu dihubungi, Nurhasim mengira Ipong hanya akan mengambil data primer dalam skripsinya. Ternyata, keseluruhan skripsi dibawa oleh Ipong. Dalam suratnya ke Rektor UGM, Nurhasim meminta gelar doktor Ipong dicabut.
Bagaimana nasib Ipong? Itu sangat tergantung pada hasil pertimbangan tim senat yang dibentuk UGM. Dalam kasus yang hampir sama, UGM pernah mencabut gelar magister sosial yang diberikan kepada Soeyono, pada 1992. Saat itu, Soeyono terbukti menjiplak skripsi Siswati, alumni Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.
Setahun kemudian, UGM menarik ijazah pascasarjana seorang peneliti karena peneliti itu memanipulasi data dengan menyebut wawancara sumber yang sebenarnya sudah meninggal. Pada 1996, di Universitas Syiah Kuala, Banda-aceh, seorang dosen kedapatan menggunakan skripsi mahasiswanya sebagai hasil penelitiannya.
Kasus lebih ramai menyangkut Doktor Amir Santoso. Pengajar ilmu politik Universitas Indonesia ini diketahui menjiplak 22 karya ilmiah yang dibuat oleh mahasiswanya dan rekan sejawatnya di universitas lain. Menurut sumber di senat UI, Amir kini menerima tuahnya. "Sampai sekarang, Amir belum juga diangkat sebagai guru besar," kata sumber tadi.
Terungkapnya "plagiatisme" ini baru merupakan gunung es. Kasus-kasus lain yang belum terungkap pastilah lebih besar jumlahnya, baik di tingkat pascasarjana maupun strata satu.
Upaya jalan pintas dengan menyalin karya orang lain itu karena gelar dinilai lebih tinggi dari integritas pribadi. Sayang, Departemen Pendidikan tak punya pegangan pasti untuk menindak pelaku ataupun lembaga penyelenggara pendidikan. "Kita serahkan kepada perguruan tinggi masing-masing," kata Dirjen Pendidikan Tinggi, Satrio Soemantri.
Agung Rulianto, Dwi Arjanto, Rian, Indayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo