Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIRNYA saya kembali ke Gunung Kilimanjaro. Ini adalah pendakian kedua saya bersama suami, Eric, ke gunung yang menjulang di Tanzania, Afrika Timur, tersebut setelah pada 2022 kami gagal mencapai Puncak Uhuru karena mengalami acute mountain sickness (AMS) di ketinggian 4.720 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegagalan menggapai puncak gunung tertinggi di Benua Afrika itu tak menyurutkan tekad kami. Selama dua tahun kami menabung dan berolahraga rutin setiap hari demi menyiapkan fisik. Kami juga terus berkomunikasi dengan operator wisata di Moshi, kota di kaki Kilimanjaro yang menjadi tempat singgah sebelum dan sesudah pendakian gunung tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahad pagi, 2 Juni 2024, pesawat yang membawa kami mendarat mulus di Bandar Udara Internasional Kilimanjaro yang terletak di antara Moshi dan Arusha. Sementara para pendaki biasanya memulai pendakian langsung esok hari setelah mendarat, saya memilih beristirahat satu hari lagi di Moshi, yang berlokasi sekitar satu setengah jam perjalanan dari bandara dengan mobil.
Selain meredakan penat terbang atau jet lag yang mungkin kami alami, saya dan suami yang telah memasuki usia kepala lima merasa perlu banyak beristirahat untuk memulihkan kondisi fisik. “Ya, tak akan lari gunung dikejar,” saya membatin dalam perjalanan menuju Moshi.
Setelah beristirahat dua malam, kami bertolak menuju Lemosho Gate, pintu gerbang jalur pendakian Kilimanjaro yang berlokasi sekitar tiga jam bermobil dari Moshi. Sebetulnya ada tujuh jalur pendakian ke Kilimanjaro, yaitu Marangu, Machame, Lemosho, Rongai, Shira, Mweka, dan Umbwe.
Dua tahun lalu saya memilih rute “termudah”, yakni Marangu. Rute ini kerap dijuluki jalur Coca-Cola karena kemudahannya, meskipun sebenarnya jauh dari kenyataan.
Kali ini kami memilih jalur Lemosho atas saran operator dan pemandu karena kegagalan pendakian sebelumnya yang disebabkan oleh deraan AMS. Jalur terpanjang ini memungkinkan proses aklimatisasi berjalan lebih optimal. Hanya, pendakian lewat jalur ini memakan waktu lebih lama: delapan hari. Saya selalu menambahkan satu hari perjalanan sehingga rencana pendakian menjadi sembilan hari.
Setiba di base camp pendakian, ada pengecekan barang bawaan. Tas plastik terlarang di kawasan Taman Nasional Gunung Kilimanjaro. Sebagai gantinya, para anggota rombongan kami menggunakan karung berbahan terpal.
Saya mengemas baju di dalam tas berbahan parasut. Sedangkan dompet dan barang-barang kecil lain serta sampah kering tak berbau kami masukkan ke kantong silikon yang dapat dicuci dan digunakan kembali. Barang bawaan para porter yang terdiri atas peralatan masak dan pasokan bahan makanan serta ransel ditimbang, termasuk dua duffel bag milik kami. Bobot bawaan satu porter tidak boleh melebihi 20 kilogram.
Karena barang bawaan berat, termasuk kompor dan tabung gas, kami didampingi cukup banyak porter. Ditambah Abel, kepala pemandu; Rahim, asisten pemandu; Joseph, juru masak; dan Immanuel atau Imma, penyaji (butler), rombongan terdiri atas 13 orang, termasuk kami berdua.
Jumlah uang yang dibawa pendaki juga dibatasi, yakni maksimal US$ 200 atau sekitar Rp 3,2 juta. Kami harus mendaftarkan diri sambil membuat pernyataan bahwa jumlah uang yang dibawa tidak melebihi batas yang telah ditetapkan. Abel menjelaskan, aturan tersebut bertujuan menghindarkan risiko kehilangan. “Terutama jika perjalanan dilakukan bersama pendaki-pendaki yang tidak saling kenal,” katanya.
Kami memulai pendakian ketika hari beranjak siang. Sinar matahari terasa menyengat meski hawa cukup sejuk. Abel meminta kami berjalan pelan-pelan dan hati-hati atau pole-pole dalam bahasa Swahili, bahasa setempat. Belakangan, kata itu akan sering kami dengar diucapkan bersama “hakuna matata” yang berarti “tidak ada masalah”.
Gerbang rute Lemosho, di Taman Nasional Kilimanjaro, Tanzania, Juni 2024. Dok. Pribadi
Gerbang Lemosho berada di ketinggian 2.100 mdpl. Kiri-kanan jalur adalah hutan yang mirip hutan tropis di Indonesia. Kami berjumpa dengan monyet yang kerap disebut blue bag monkey.
Vegetasinya cukup lebat. Di sebagian jalur terdapat tumbuhan neto atau dalam bahasa Swahili disebut mambi, yang jika tergesek ke kulit akan menyebabkan gatal. Ini mirip dengan jelatang yang tumbuh di beberapa jalur pendakian gunung di Indonesia.
Setelah melewati dua jembatan dan sungai kecil, kami tiba di perkemahan Mti Mkubwa di ketinggian 2.650 mdpl. Kami beristirahat serta menyantap makan malam yang disiapkan Joseph dan Imma.
Di perkemahan tersebut terdapat toilet umum. Namun akan lebih nyaman jika pendaki memesan toilet pribadi agar lebih leluasa buang hajat kapan pun, tentunya dengan biaya tambahan. Layanan ini tersedia lengkap dengan jamban dan kain terpal penutup.
•••
ESOKNYA, setelah menyantap sarapan, kami menuju pos berikutnya, yaitu Shira I (One) Camp di ketinggian 3.610 meter di atas permukaan laut. Di awal, jalur pendakian masih datar, melintasi padang Shira Plateau yang merupakan salah satu situs warisan budaya dunia. Vegetasi mulai menipis dan hanya terlihat semak-semak yang berpencar. Pohon-pohon tinggi mulai tidak terlihat.
Dari sini, Gunung Kilimanjaro mulai terlihat jelas. Jalur masih berupa tanah berpasir dan bebatuan. Ada tiga bukit yang harus didaki. Salah satunya disebut Back of the Elephant karena kawanan gajah sering terlihat melewati punggung bukit tersebut.
Pendakian melintasi tiga bukit itu memakan waktu sekitar tujuh jam. Jalur yang cukup terjal dan berbatu membuat telapak kaki sakit. Setiba di Shira I (One) Camp, Kilimanjaro makin terlihat jelas dan besar. Cuaca siang itu cerah. Suhu berkisar 5 derajat Celsius.
Setelah makan siang, kami tidur hingga sore menjelang. Lalu kami menghabiskan waktu berkeliling perkemahan, meregangkan kaki yang kian pegal. Malamnya, Abel mengukur saturasi oksigen saya dan suami serta memberitahukan tantangan yang akan kami lalui pada hari berikutnya.
Jalan menuju puncak Uhuru, melewati rute Lemosho di Gunung Kilimanjaro, Tanzania, Juni 2024. Dok. Pribadi
Menurut Abel, karena laju kami lambat, setiap hari rombongan harus berangkat satu jam lebih awal dari pendaki lain agar tidak terlambat sampai di pos berikutnya. “Jadi ada waktu istirahat cukup setelah mendaki sepanjang hari,” ujarnya.
Hari ketiga pendakian, kami menuju Moir Hut yang berada di ketinggian 4.200 mdpl. Kekuatan fisik saya diuji di jalur ini. Abel yang memutuskan kapan harus berjalan dan berhenti. Untuk beristirahat dan minum teh jahe atau buang air kecil di pertengahan jalan, kami hanya diberi waktu sepuluh menit.
Dengan kelelahan yang begitu mendera, akhirnya kami tiba di Moir Hut. Saking lelahnya, nafsu makan saya pun hilang. Saya hanya makan sedikit. Setelah itu, saya tertidur hingga malam menjelang.
Sekitar pukul 6 pagi esoknya, kami bertolak menuju Lava Tower Camp di ketinggian 4.600 mdpl. Tempat itu disebut Lava Tower karena di sana terdapat semacam formasi batu yang dipercaya terbentuk dari lahar letusan gunung di masa lampau.
Saat kami tiba di Lava Tower Camp sekitar pukul 11 siang, ada beberapa pendaki lain yang juga berhenti untuk makan siang. Namun, karena angin terlalu kencang dan udara dingin, Abel meminta kami melanjutkan perjalanan ke Baranco Camp di ketinggian 3.900 mdpl.
Perjalanan dari Lava Tower ke Baranco Camp memakan waktu sekitar tiga jam. Jalur Moir Hut-Lava Tower Camp-Baranco Camp memang naik-turun, tapi hal itu justru menyempurnakan proses aklimatisasi yang baik untuk tubuh.
Esoknya, selepas makan pagi, pendakian dilanjutkan menuju Karanga Camp. Untuk menuju pos di ketinggian 4.000 mdpl itu, kami harus “merayap” melewati bukit batu Baranco Wall setinggi 300 meter yang terjal. Abel menyebutnya “monkey business” karena kami harus memanjat bak monyet.
Jalan menuju puncak Uhuru, melewati rute Lemosho, di Gunung Kilimanjaro, Tanzania, Juni 2024. Dok. Pribadi
Di bukit batu itu, tongkat mendaki tidak terpakai. Kami pun harus ekstrahati-hati agar tidak tergelincir ke bawah jurang berbatu. Kami bersyukur karena akhirnya dapat melalui rintangan Baranco Wall.
Setelah berjalan lebih dari tiga jam, akhirnya kami sampai di Karanga Camp dan beristirahat. Malamnya, sesudah makan, Abel memberi pengarahan. Dia menyarakan kami memulai pendakian pagi-pagi melintasi Barafu Camp tanpa menginap dan langsung menuju Kosovo Camp—persinggahan terakhir sebelum mencapai puncak. “Di Kosovo Camp, kita akan punya waktu istirahat hingga tengah malam sebelum bertolak ke puncak,” tutur Abel.
Saya menganggap ide tersebut terlalu ambisius dan menyarankan kami bermalam di Barafu Camp saja. Toh, Kosovo Camp tidak terlalu jauh dari Barafu Camp. Abel kemudian memutuskan melihat keadaan besok.
Benar saja, saat kami berangkat dari Karanga Camp menuju Barafu Camp paginya, saya merasa lebih letih ketimbang pada hari sebelumnya. Apalagi cuaca yang berembun dan basah mengharuskan saya memakai jas hujan jika tidak mau kuyup di sepanjang perjalanan.
Hari itu, matahari juga tidak menampakkan sinarnya. Medan pendakian terus menanjak dan terasa berat. Namun, karena tekad yang kuat, kami berhasil mencapai Barafu Camp di ketinggian 4.672 mdpl.
Abel menginformasikan, dari Barafu Camp ke Kosovo Camp, “hanya” dibutuhkan waktu satu jam. Dia menanyakan kondisi kami untuk bisa memutuskan apakah akan menginap di Barafu Camp atau di Kosovo Camp yang letaknya lebih ke atas.
Karena saya dan suami saat itu kelelahan, kami memilih menginap di Barafu Camp. Memang, beberapa pendaki terlihat hanya mampir di Barafu Camp dan kebanyakan berkemah di Kosovo Camp. Namun saya tidak terpancing. Saya menyadari kapasitas fisik dan energi saya. Prinsip saya adalah berhenti sebelum terlalu lelah.
Abel akhirnya mengerti dan meminta awak porter mendirikan tenda. Saya tidak menyesal berkemah di Barafu Camp karena pemandangannya luar biasa indah dengan penampakan Puncak Mawenzi dari tenda kami.
Namun, ketika sore menjelang, Eric mulai merasa sesak napas. Dia kemudian dibantu bernapas dengan oksigen tabung kecil yang kami sewa di Moshi. Setelah sekitar 30 menit, barulah dia bisa bernapas sendiri tanpa bantuan oksigen. Tampaknya tubuh Eric mulai bereaksi terhadap ketinggian.
Sambil menikmati makan malam, kami berkoordinasi dengan Abel tentang rencana pendakian esoknya. Dijadwalkan kami bertolak ke Kosovo Camp pada pukul 8 pagi. Perjalanan memakan waktu sekitar dua jam dengan jalur berbatu dan menanjak secara kontinu.
Diperkirakan kami tiba di camp yang berada di ketinggian sekitar 4.900 mdpl itu pada pukul 10 pagi sehingga punya cukup banyak waktu istirahat sebelum menuju Puncak Uhuru pada malamnya.
•••
SESUAI rencana, setelah bersantap pagi, kami bertolak ke Kosovo Camp tepat pada pukul 8. Jalur terus menanjak dan ternyata rasa lelah masih mendera. Laju perjalanan saya juga tak berubah, pole-pole.
Sepanjang perjalanan, kami kerap bertemu dengan pendaki lain yang turun. Mereka kebanyakan turun dari puncak dan langsung kembali bermalam di Barafu Camp. Rasa iri menyelimuti benak saya. Namun sekali lagi saya berusaha tidak terpengaruh ego sendiri. “Itu yang paling penting dalam sebuah pendakian,” ucap saya, membatin.
Tiba di Kosovo Camp, kami langsung beristirahat di tenda yang sudah terpasang. Sambil menunggu waktu makan siang, kami menikmati sinar matahari karena udara terasa dingin dengan angin bertiup kencang.
Abel memberikan pengarahan singkat mengenai perlengkapan yang harus dibawa ke puncak. Perlengkapan yang ia sarankan terdiri atas dua lapis kaus tebal di dalam dan dua jaket tebal, senter kepala, penutup leher tebal, dua lapis sarung tangan, penutup tungkai kaki, dua lapis kaus kaki, penutup kepala berbahan wol, kacamata hitam anti-sinar ultraviolet, sepatu, dan tongkat pendaki. Juga obat-obatan, camilan, dan dua botol air minum masing-masing berkapasitas dua liter.
Abel menjelaskan, waktu tempuh dari Kosovo Camp ke Puncak Uhuru sekitar enam jam. Namun, dengan laju kami, diperkirakan rombongan akan tiba dalam waktu delapan jam. Jika pendaki lain mulai berjalan pada pukul 00.00, kami disarankan berangkat pada pukul 22.30 atau satu setengah jam lebih cepat.
Abel juga mewanti-wanti kami agar tidak berhenti terlalu lama sepanjang perjalanan ke puncak. Dia khawatir terhadap dampak negatif dinginnya suhu udara.
Selesai makan siang, saya memanfaatkan sisa waktu untuk berjalan-jalan di sekitar camp dan kemudian tidur dalam tenda. Saya mengumpulkan tenaga selama 12 jam berikutnya untuk bekal menuju Puncak Uhuru.
Tepat pada pukul 21.00 waktu setempat, saya dan suami mempersiapkan segala sesuatu sesuai dengan instruksi Abel. Tidak ada gunanya tawar-menawar karena pemandu adalah yang paling mengetahui kondisi di lapangan.
Kami mulai berjalan didampingi Abel, Rahim, serta dua porter, yakni Habib dan Davi. Senter kepala menjadi alat bantu utama dalam melangkah. Tujuan pertama adalah satu titik di bibir kawah Kilimanjaro, Stella Point, di ketinggian 5.756 mdpl.
Jalanan bersalju saat menuju puncak Uhuru, Gunung Kilimanjaro, Tanzania, Juni 2024. Dok. Pribadi
Sejak bertolak dari Kosovo Camp, kami sama sekali tak menemukan lahan landai. Sudut kemiringan rute pendakian sekitar 40 derajat dengan medan terdiri atas pasir dan bebatuan. Itu mengingatkan saya pada Letter E di Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Di sekitar ketinggian 5.000 mdpl, saya merasakan sedikit sakit kepala. Saya memutuskan tidak panik dan meminum obat anti-sakit kepala. Saya hanya diberi waktu satu menit untuk minum obat dan tidak boleh berlama-lama beristirahat. Menurut Abel, hal itu penting supaya kami tidak merasa kedinginan. “Dengan tetap berjalan, kehangatan suhu tubuh tetap terjaga,” katanya.
Saat kami tiba di ketinggian 5.500 mdpl, sesak napas yang dialami Eric di Barafu Camp kembali muncul. Setelah berdiskusi panjang dengan Abel, akhirnya Eric memutuskan turun ditemani Rahim dan Davi. Sedangkan saya, yang juga sudah merasa cukup lelah, memutuskan meneruskan perjalanan didampingi Abel dan Habib.
Tidak mudah mencapai Stella Point dalam kegelapan. Yang dapat saya lakukan hanyalah melihat kaki melangkah dengan senter di kepala dan menghitung langkah demi langkah.
Sekitar 100 meter sebelum Stella Point, saat saya mulai merasa hampir putus asa, Abel menginformasikan bahwa 15 menit lagi kami akan tiba di bibir kawah. Jalur masih menanjak terjal. Saya pun sedikit meneteskan air mata ketika benar-benar tiba di Stella Point.
Saya sangat kelelahan. Jam menunjukkan pukul 6 dan matahari mulai terbit. Matahari terbit terindah yang pernah saya lihat. Saya terduduk dan menghela napas panjang. Perjuangan terberat di sepanjang jalur Lemosho menurut saya adalah pendakian dari Kosovo Camp menuju Stella Point.
Abel memberi saya waktu tiga menit untuk beristirahat dan minum. Kawah Kilimanjaro terlihat dari Stella Point, berselimut salju tebal. Luar biasa memanjakan mata.
Setelah beristirahat, saya melanjutkan perjalanan menuju titik tertinggi Kilimanjaro: Puncak Uhuru. Uhuru berarti “kebebasan” dalam bahasa Swahili. Di sini saya menemukan banyak titik rute yang landai meskipun sedikit demi sedikit menanjak.
Sekitar 30 menit kemudian, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya mendaki di atas salju tebal. Saya harus sangat berhati-hati karena licin.
Rasa lelah saya dikalahkan oleh pemandangan alam yang menakjubkan. Langit biru cerah tak berawan. Suhu berkisar minus 10 derajat Celsius. Angin bertiup kencang.
Dari kejauhan, saya melihat papan “Uhuru Peak” berdiri. Rasanya berkecamuk karena saya mulai merasa yakin akan tiba di tujuan. Beberapa pendaki yang turun dan berpapasan dengan saya mengucapkan selamat kepada saya.
Handewi Pramesti di puncak Uhuru, Gunung Kilimanjaro, Tanzania, Juni 2024. Dok. Pribadi
Tepat pada pukul 07.47 waktu setempat, saya menjejakkan kaki pada batu di bawah papan “Uhuru Peak” di ketinggian 5.895 mdpl. Sungguh, saya masih merasa tidak percaya bisa berada di atas puncak Gunung Kilimanjaro yang merupakan satu dari tujuh puncak tertinggi di dunia.
Saya menebarkan pandangan ke sekeliling. Lanskap bumi ditutupi salju putih yang memantulkan cahaya matahari. Lalu perlahan bendera Merah Putih saya keluarkan dari ransel. Dibantu oleh Habib, saya mengikat bendera di tongkat dan mulai menggerakkan tongkat ke kiri dan kanan.
Abel memperingatkan saya agar tidak langsung membuka sarung tangan untuk mengambil telepon seluler dan berfoto. Porterlah yang akan mendokumentasikan momen tersebut. Saya hanya diberi waktu paling lama 15 menit di puncak untuk mengabadikan momen tersebut.
Rasa bahagia, lega, dan haru bercampur meski saya tidak menangis. Ini salah satu momen terbaik dalam hidup saya, walau ada sedikit penyesalan karena suami tidak berada di sisi saya. Perjalanan ini tak akan terlupakan seumur hidup.
Ada sederet pelajaran yang saya petik dari pendakian kali ini, yaitu tidak gampang menyerah, menikmati proses, melampaui batas diri, dan bersabar dalam setiap langkah kaki menuju tujuan akhir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tekad Menggebu Menggapai Puncak Uhuru"