Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komunitas Perempuan Xpresif mengangkat tradisi long-nolongin dalam pentas teater di teras sebuah rumah kuno di Bangkalan, Madura.
Lakon digali dari tradisi masyarakat Madura ketika mereka menggelar hajatan.
Ada beragam lapisan dalam dapur, tradisi yang kini mulai luntur.
NYE’A sedang menggelar hajatan. Sejak pagi buta, dia sibuk sendirian di dapurnya menyiapkan aneka bahan makanan untuk dimasak. Tapi, hingga menjelang siang, dapurnya masih sepi. Tetangga ataupun saudara yang datang membantu bisa dihitung dengan jari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya ada Embhuk Ri (dimainkan oleh Alif Nirwana Sari) yang menanak nasi, juga Jih Dian (R. Dian Kunfillah) yang duduk khusyuk di depan wajan. Sementara itu, Amel (Khamelia), anak Nye’A , sibuk bermain gawai. Alih-alih membantu, dia justru sibuk mengajak berswafoto Embhuk Ri dan Jih Dian serta mengunggah fotonya sebagai status di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sambil memegang wajan dan memukul-mukulkan spatula, Nye’A (Amira Djauhari) berteriak dan mengeluh karena sedikitnya orang yang datang long-nolongin atau bantu-bantu di acara hajatannya. Keluhan Nye’A itu dijawab sinis oleh Embhuk Ri. “Jangan mengeluh kalau tak ada yang datang membantu di hajatanmu. Kalau hajatan sepi, berarti yang punya hajat tak pernah datang membantu hajatan di tetangganya,” katanya.
Pada akhirnya, adegan berakhir dengan serunya mereka berempat larut dalam kegiatan bergosip, sebuah proses “transfer data” yang lebih “canggih” daripada transfer data digital. Ada gosip tentang tetangga mereka yang menjadi janda dan mendadak kaya serta info soal duda-duda baru. Tak ketinggalan pula keriuhan mereka dalam mencari menantu.
Begitulah sepenggal lakon bertajuk Long-nolongin yang dipentaskan komunitas Perempuan Xpresif di Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Mereka berpentas di teras sebuah rumah kuno di Kampung Kebuna, Kota Bangkalan, pada Jumat, 2 Agustus 2024. Cukup unik. Rumah kuno milik Raden Panji Abdurrahman Sosrodiputro ini diperkirakan berusia lebih dari 140 tahun. Raden Panji Abdurrahman masih anggota keluarga Sultan Kadirun yang memimpin Kerajaan Bangkalan setelah masa kekuasaan Cakraningrat V. Dinas pariwisata setempat menetapkannya sebagai obyek yang diduga cagar budaya atau ODCB.
Penampilan ini adalah bagian dari program Sambung Kreasi hasil kerja sama Akademi Jakarta dengan Paragon Technology and Innovation. Tiga bulan lamanya sutradara teater Niken Dianita Febriyanti dan Perempuan Xpresif menyiapkan pementasan tersebut. Akademi Jakarta membebaskan mereka memilih tema yang akan dipentaskan. Para perempuan ini terdorong melakukan riset secara acak tentang berbagai budaya dan tradisi masyarakat Madura.
Pilihan jatuh pada long-nolongin dalam kegiatan remoh atau hajatan. Tradisi tersebut dianggap begitu dekat dengan keseharian masyarakat Madura, khususnya kaum perempuan. Selama proses riset di berbagai desa itu, mereka menemukan sesuatu yang kontras. Saat melihat aktivitas remoh di daerah Kejawan, ternyata suasana dapur di sana sepi. Sebaliknya, di Desa Jaddih, mereka mendapati suasana dapur saat hajatan sangat ramai. “Perbedaan yang kontras inilah yang membuat kami kian tertarik mengangkat tema itu,” ucap Niken.
Riset kemudian difokuskan di Dusun Jaddih Barat karena tradisi long-nolongin masih sangat kental. Setelah mengamati secara dekat tradisi ini, mereka menemukan banyak hal menarik yang terjadi selama kegiatan long-nolongin. Ternyata, dalam long-nolongin, bantuan bukan hanya berupa tenaga, seperti saat memasak di dapur. Warga yang datang long-nolongin ke tetangga atau saudara yang menggelar hajatan juga membawa aneka macam bahan kebutuhan pokok dan uang. Tradisi ini disebut pubuen.
Uang dan bahan pokok yang dibawa itu kemudian dicatat dalam buku khusus sebagai utang dan piutang. Bila ada tetangga mengundang yang hajatan, warga Jaddih Barat akan melihat catatan di buku itu untuk mencari tahu apakah punya utang atau piutang kepada si pengundang.
Bila punya utang, mereka akan datang long-nolongin ke hajatan tersebut dengan membawa uang dan bahan kebutuhan pokok dalam jumlah yang tercatat di buku. Bila mereka tak punya uang, utang remoh akan dikembalikan persis sesuai dengan jumlah barang yang dulu diterima. Mereka yang punya kelebihan uang akan mengembalikannya melebihi nilai yang tertera dalam buku. “Kalau tak bisa mengembalikan, akan ditagih atau di-setat,” tutur Niken.
Hasil riset inilah yang diterjemahkan Niken dalam lakon berdurasi 45 menit tersebut. “Lokasi pementasan dipilih di pusat kota karena budaya long-nolongin di kota mulai luntur. Kalau menggelar hajatan, orang kota langsung pesan katering,” ujarnya.
Di tangan sutradara teater Niken, dapur Madura lebih dari sekadar tempat memasak. Penari lulusan Universitas Negeri Surabaya pada 2015 itu mencoba menyelisik lebih dalam makna lain di balik kompleksnya aktivitas di dapur Madura. Sebuah makna yang jarang disadari bahkan oleh masyarakat Madura sendiri.
Afrizal Malna, penyair yang mendampingi mereka, memilih membebaskan mereka dan tak terlalu terlibat dalam proses kreatif. Yang menarik, Afrizal menjelaskan, long-nolongin bukan semata bungkus besar yang bisa diisi berbagai konten, tapi juga bisa menjadi substansi pertunjukan itu sendiri. Apalagi lakon ini dipentaskan oleh generasi instan yang jauh dari aktivitas dapur. “Lewat pertunjukan ini, mereka menemukan lagi pola gerak dan dialog dari sebuah ekosistem tradisional yang bisa beradaptasi dengan tantangan masa kini,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Musthofa Bisri dari Bangkalan berkontribusi dalam penulisan artikel ini