Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Suster Ima: Biarawati Indonesia di Kaki Gunung Kilimanjaro

Cerita Suster Ima, biarawati asal Indonesia, yang mengabdi puluhan tahun di sebuah desa kecil di kaki Gunung Kilimanjaro.

11 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM mendaki Gunung Kilimanjaro pada awal Juni 2024, saya dan suami sempat mengunjungi Suster Immaculati Josephine Ismudiati, biarawati dari Indonesia yang telah sekitar 40 tahun mengabdi di sana. Pagi itu, kami menemui Suster Ima—sapaan akrabnya—di Kolila, desa kecil di kaki Kilimanjaro yang berlokasi sekitar satu setengah jam perjalanan bermobil dari pusat Kota Moshi, Tanzania.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Biarawati 86 tahun itu mengabdi di sebuah tempat penitipan anak atau day care Pondok Kehidupan milik kongregasi Sisters of Charity of St. Charles Borromeo di Kolila, Region Moshi. “Selamat datang,” ucapnya, menyapa dengan ramah dalam bahasa Indonesia sambil mengulurkan tangan. Saya menyambut uluran tangannya dan mengucapkan terima kasih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegembiraan terpancar dari wajah segar Suster Ima karena dia bisa bertemu dengan orang senegara di desa kecil di kaki gunung di Afrika Timur itu. Dia mempersilakan kami duduk di ruangan tempat menerima tamu.

Pagi itu, suasana day care tak begitu ramai. Suara anak-anak terdengar sayup-sayup. Mereka adalah anak-anak yang dititipkan orang tua mereka yang bekerja di pasar dekat situ.

Setelah menanyakan kabar, Suster Ima bercerita tentang perjalanan hidupnya hingga bisa berada di kaki Kilimanjaro. Lahir di Yogyakarta, 25 Oktober 1937, Suster Ima adalah anak pertama dalam keluarga Katolik.

Meski dia telah sepuh, ingatannya masih sangat tajam. Suster Ima tahu persis hari dan jam kelahirannya. “Saya lahir Senin, jam enam seperempat, di Cokrodiningratan, Yogyakarta,” tutur biarawati yang juga fasih berbahasa Swahili, Inggris, dan Belanda tersebut. 

Saat Suster Ima akan lulus sekolah menengah pertama, ayahnya yang berprofesi guru sekolah dasar mengatakan tidak mampu menyekolahkannya hingga tingkat perguruan tinggi. Sang ayah hanya mampu membiayai pendidikannya sampai sekolah menengah atas. 

“Saya memilih menjadi perawat setelah lulus dari SMP Dagen, Yogyakarta, karena setelah lulus sekolah perawat saya bisa langsung bekerja,” ujarnya, mengenang. 

Karena sekolah perawat mengharuskan muridnya berusia minimal 17 tahun, Suster Ima mengenyam pendidikan dulu di SMA Stella Duce, Yogyakarta, hingga kelas II. Setelah berusia 17 tahun, barulah dia meneruskan pendidikan di sekolah perawat Borromeus di Bandung, Jawa Barat.

Saat menempuh sekolah perawat, Suster Ima tertarik pada jalan hidup Florence Nightingale, penulis dan pelopor perawat modern asal Italia. “Beliau mengabdi untuk membantu orang saat perang,” ucapnya. 

Dalam suatu retret, Suster Ima tersentuh oleh bacaan tentang seorang kudus bernama Santa Theresia. “Santa Theresia seorang suci yang masuk biara pada usia 15 tahun. Saya tersentuh oleh jalan hidup yang ia pilih di usia yang masih sangat muda,” katanya, yang saat itu berusia 18 tahun.

Suster Ima kemudian memutuskan menjalani pilihan hidup sebagai biarawati dan menjadi anggota penuh kongregasi Santo Carolus Borromeus pada 1960. Tujuannya adalah membantu orang banyak dengan berdoa agar semua orang selamat seperti halnya ujud Santa Theresia.

Setelah mengabdi sebagai perawat di Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung, selama sekitar 10 tahun, Suster Ima kembali ke Yogyakarta dan meneruskan studi di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma selama 1971-1973. Ia mengambil Jurusan Bahasa Inggris.

Suster Immaculati Josephine Ismudiati, bersama anak-anak asuhnya di daycare Pondok Kehidupan, Kolila, Tanzania, Juni 2024. Dok. Handewi Pramesti

Pada 1982, Suster Ima, yang sempat mengabdi sebagai pengajar di SMA Kawula Karya, Lembata, Flores, Nusa Tenggara Timur, bertolak ke Filipina. Di sana dia menjalani pembaruan kaul, yakni semacam refleksi diri dan kehidupan, serta mengajar agama. 

Kemudian Suster Ima mendapat tawaran bertugas di Belgia, yang saat itu dilanda eksodus pengungsi karena perang pada 1980-an. Namun dia menyatakan lebih tertarik ketika ditawari pergi ke Tanzania.

Sebagai lulusan sekolah keguruan dan keperawatan, Suster Ima tergerak untuk mengajar di Tanzania. Saat itu dia merasa keinginannya mengabdi di perkampungan agar lebih dekat dengan masyarakat akan terwujud. 

Akhirnya, setelah menerima tawaran tersebut, Suster Ima bertolak ke Belanda pada 1983 untuk membuat visa Tanzania karena pada waktu itu belum ada kedutaan Tanzania di Indonesia. Dia juga tinggal di Belanda selama setahun untuk membiasakan diri dengan kultur kesusteran di Negeri Kincir Angin sebagai tambahan pengetahuan sebelum bertolak ke Tanzania. 

Begitu sampai di Tanzania pada 1984, Suster Ima diminta bermukim di Region Tabora untuk bertugas di Rumah Sakit Ndala sebelum akhirnya ditugasi di Region Moshi, Kilimanjaro. Di sini ia menjadi pembina putri-putri Tanzania yang ingin mengabdi sebagai biarawati. 

Saat ditanyai apakah tidak ada rencana kembali ke Indonesia, Suster Ima mengatakan belum tahu. “Hidup kemanusiaan saya bergantung pada orang-orang di sekitar saya. Jika mau berkembang, harus bersama dengan orang-orang di sekitar saya,” ucapnya. “Misi dan visi kongregasi belum mengakar dalam hidup saya sebagai biarawati. Kita tidak pernah tahu kapan visi dan misi itu akan mengakar.”

Suster Ima terakhir kali pulang kampung pada 2018. Dia mengungkapkan, kepulangan ke Tanah Air memakan biaya yang tidak sedikit. Dana itu, kata dia, lebih baik digunakan untuk membantu anak-anak dan masyarakat sekitar.

Suster Ima yakin bahwa apa yang ia tanamkan di hati anak-anak di tempat penitipan itu akan tumbuh. “Jadi saya tidak bisa menentukan apakah saya akan pulang atau tidak. Saya melihat, selama saya masih dapat membantu anak-anak di sini, akan saya lanjutkan,” tuturnya.

Dia juga banyak mempelajari kehidupan beragama dan bermasyarakat dari Indonesia. Suster Ima mengaku bersyukur di setiap tempat pengabdiannya merasa selalu didukung baik oleh orang tua, sekolah, maupun kongregasi dan masyarakat setempat.

“Jadi, pesan saya, selalu saling mendukung meski memiliki perbedaan ide. Tapi tidak ada ide yang paling tinggi karena semua adalah milik Tuhan Allah,” ujarnya.

Kini, meski telah berusia sepuh, Suster Ima belum berniat menyudahi pengabdian. “Kalau masih bisa berbuat sesuatu, kenapa hidup ini tidak kita gunakan sesuai dengan kebutuhan orang banyak?” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus