Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perjalanan Mencari Surga

Dari gurat di wajahnya dan rambut panjangnya, tampaklah ia lahir pada tahun 1940-an. Ia, Ziauddin Sardar, tergolong baby boomer, aktivis politik tahun 1960-an, juga pemikir muslim dengan pandangan khusus. Dalam pikirannya, ada sebuah negeri yang bisa dijadikan contoh. Negeri yang memiliki elemen-elemen kebangkitan Islam. Negeri yang memeluk pluralisme, keadilan, kebebasan berbicara, dan berpikir. Tapi, dalam prakteknya, ia menelusuri negeri-negeri muslim di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Semua dituangkan dalam buku otobiografi terbarunya, Desperately Seeking Paradise. Majalah ini mencoba menukilkan buku itu untuk Anda, dan membandingkan perjalanan tokoh di atas dengan tokoh-tokoh lain.

8 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keluarga itu tak sanggup melepaskan Punjab, tanah yang ditinggalkannya....

Dan ia bercerita tentang ritual yang mengingatkan mereka akan tanah leluhur, sekaligus melupakan mereka akan London yang beku. Tiap hari Minggu, ia mengantar ibundanya menonton film klasik India. Dan si Zia kecil, ingatannya samar tentang desa mereka di Punjab, perbatasan India-Pakistan. Namun Ziauddin, begitu kepanjangan namanya, punya kesimpulan yang bagus tentang film-film itu, film yang "hidup" lantaran musik, lagu-lagu yang dinyanyikan para bintang. Lagu-lagu berbahasa Urdu yang kini diyakininya telah ditulis oleh para penyair yang punya rasa cinta mendalam akan bahasa itu.

Desperately Seeking Paradise mengisahkan kegiatan masa kecil Ziauddin Sardar di rumah mereka di Hilsea, London—sebuah flat yang secara fisik jauh berbeda dari rumah mereka di Punjab, tapi kegiatan yang berlangsung di dalamnya tetap sama. Tiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, "Ibuku akan duduk di sampingku selama setengah jam atau lebih, menuntunku membaca Quran, ayat demi ayat, membetulkan lafadz pengucapan yang salah, dan menjelaskan artinya, kata demi kata." Ziauddin mengenang dalam Desperately Seeking Paradise.

Ziauddin muda, Ziauddin yang bertahan hidup di dua dunia. Dalam usia 25 tahun, ia memiliki kehidupan ganda. Pada hari-hari kerja, ia aktivis mahasiswa Islam, sibuk memprotes eksekusi Sayyid Qutb oleh rezim Gamal Abdul Nasser 1966, mendemo pendudukan Palestina dan Perang Arab-Israel 1967, atau pembakaran Masjid Al-Aqsha 1969. Pada akhir pekan, ia seorang pemuda sosialis. Ia bagian dari Kelompok Hak Warga Hackney, mereka yang hirau pada hak warga negara, antirasisme dan ketidakadilan. Mereka bahkan berhasil membangun kelompok pemuda. Dan Ziauddin selalu siap dengan penjelasan memukau: dua organisasi, dua ideologi, satu idealisme. Kawan-kawannya adalah pemuda idealis yang mencoba mengubah dunia.

Tapi Desperately Seeking Paradise buku yang bercerita tentang Ziauddin yang terpesona pada filsuf besar abad ke-11, Al-Ghazali. Ya, sosok yang dikenal telah melancarkan serangan mahaberat pada filsafat Yunani dan para pendukungnya di dunia Islam waktu itu. Ghazali, setelah karya istimewa itu, dihantam krisis spiritual hebat, seraya meninggalkan posisi akademisnya yang gemilang di Universitas Nazamiyah, di Bagdad. Ghazali, dalam usia 34 tahun, memutuskan berkelana ke berbagai pelosok Timur Tengah, mengunjungi Mekah, Medinah, Damaskus, dan kota besar lain. Al-Ghazali memandang: pengembaraan sama saja dengan pencarian pengetahuan. Pengetahuan disamakannya dengan pintu-pintu surga, sedangkan pengembaraan dari satu negeri ke negeri lain adalah kunci pintu-pintu itu.

Perjalanan Ghazali bagian dari tradisi yang dijalankan para petualang muslim: Ibn Batutah atau Ibn Jubair. Ya, Ibn Jubair mengelilingi Semenanjung Arabia, mencatat segala sesuatu, menghasilkan satu buku klasik. Buku berisi informasi lengkap tentang arsitektur dan seni Islam abad pertengahan. Tapi Ghazali bukan pelancong dari jenis kedua tokoh itu. Ia menyebut perjalanannya safar, perjalanan yang meliputi gerak fisik, dan sekaligus batin: si petualang menginternalisasi apa yang dialaminya di negeri orang. Petualangan macam ini akan mentransformasi diri dan alam pikiran si petualang. Ia bertemu, berbincang dengan orang-orang yang tak pernah dijumpainya, orang-orang yang selalu membuat ia mempertanyakan kembali apa saja yang selama ini telah diyakini.

Dan itulah Ghazali. Sekitar satu dasawarsa setelah perjalanan itu, ia pulang, menghasilkan karya besar Ihya Ulumuddin. Karya legendaris terdiri dari 40 jilid, yang oleh Ziauddin Sardar dipandang sebagai sintesis istimewa. Suatu kitab multidisiplin yang dilukiskannya sangat luar biasa: sanggup mengajarkan logika kepada para mistis, mengajarkan spiritualitas kepada para ahli logika dan matematika, serta filsafat kepada para teolog.

Perjalanan itu berawal dari sebuah titik di London. Perjalanan tasawuf yang berangkat dari pertemuan Ziauddin dengan Syekh Nazim. Seorang guru sufi yang menarik: berpendidikan teknik kimia Universitas Istanbul, memiliki darah keturunan Syekh Abdul Qadir Jailani dari ayahandanya, darah Jalaludin Rumi dari ibunya. Abdul Qadir Jailani sangat dikenal di Indonesia. Ia sufi besar abad ke-10. Dan Jalaludin Rumi, juga sufi besar, hidup pada abad ke-13.

Syekh Nazim. Sosok ini digambarkan mempunyai aura spiritual yang tak bisa disangkal. "Ada tiga ular besar yang sangat berbahaya bagi manusia," kata Syekh Nazim. "Tipisnya kesabaran dan toleransi, ketergantungan pada sesuatu yang tak dapat ditinggalkan, dan tunduk pada ego sendiri." Ziauddin mendengar, tapi tak lama berpaling kepadanya. Ia kini memutuskan pergi ke Fez, Maroko, kemudian pasrah, mengikuti arah kakinya melangkah. Di Konya, Turki, tempat bersemayamnya jasad Jalaludin Rumi, ia mengharap pertemuan yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya, penghapus haus yang tidak dapat dijumpainya di London.

Tubuh Rumi, pengarang Mathnawi yang sohor itu, di Mausoleum Hijau. Di samping makam, Ziauddin membaca surat Al-Fatihah. Tapi hatinya bertanya: bukankah kebesaran mausoleum dan kesederhanaan sufi dua hal yang tak selaras? Rumi sendiri menentang segenap ide untuk merebahkan jasadnya di se-buah mausoleum. "Adakah mausoleum yang lebih baik dari langit?" kata sang sufi. Tapi, setelah kematiannya pada 27 Desember 1273, izin keluar. Putranya tidak keberatan jenazah ayahnya disemayamkan di tempat itu.

Di makam, pandangan Zia terpaku pada sejumlah orang yang datang berkelompok, membentuk lingkaran, dengan satu figur orang tua di tengahnya. Ia beranjak, mengikuti gerak mereka yang cepat. Keluar, dan akhirnya bersembahyang bersama di sebuah masjid. Ia memandang orang tua itu: hidungnya mancung dan tebal, janggutnya putih tapi tanpa kumis. Ia tak bisa menahan langkahnya mendekati dan memegang kedua tangan Syekh Ahmad—begitu para murid memanggilnya. Matanya dalam, menyipit kecil, tapi meneduhkan, dan seorang murid di sampingnya menyuruh Ziauddin bertanya. "Apa pun," katanya.

Satu pertanyaan spontan meluncur dari mulutnya: Apa itu Islam? "Islam adalah memakai sorban, memelihara janggut," jawab Syekh Ahmad, juga spontan. Ziauddin tersengat bukan buatan. Jawaban itu, ya jawaban itu, bisa berarti sangat dalam, bisa sangat dangkal. Dan Ziauddin memilih yang terakhir. Ia kecewa berat. Meski tak diucapkan, Ziauddin merasa orang tua itu—minimal—tak memiliki keprihatinan terhadap Islam yang terpuruk, tapi masih berhasrat bangkit. Sebuah abstraksi surga yang dirindukannya.

Buku Desperately Seeking Paradise berkisah tentang banyak tempat yang disinggahi Ziauddin. Hari itu, suatu hari pada tahun 1974, di Jalan Rashid, Bagdad, Ziauddin merasakan kejanggalan. Jalan besar itu mendadak senyap. Ia menyaksikan, dua serdadu mendorong kasar seorang warga yang kelihatan bingung ke sebuah toko, toko yang cepat-cepat menutup tirai dan pintunya. Dan ia sendiri didesak masuk ke sebuah toko lain. Tak lama, misteri terkuak: itulah iring-iringan kendaraan yang sangat panjang, seakan tak pernah putus: ada kepala, tapi tanpa ekor. Mereka terdiri dari 200 mobil. Rombongan para kepala negara?

Jalan-jalan harus dibersihkan, demi keselamatan Presiden Ahmad Al-Bakr, tokoh yang muncul setelah kudeta kaum Baath pada 1968. Ya, Baath, gerakan yang berangkat-berawal dari pemikiran seorang guru, Michael Aflaq. Gerakan yang—menurut keterangan seorang dosen Universitas Waziriyah, Bagdad—punya konstitusi cukup mulia, namun tidak sanggup menjaga kemuliaan itu, seraya menyerahkan segalanya pada ingar-bingar revolusi berdarah. Konstitusi Baath menjamin kebebasan berbicara, kebebasan berserikat, dan kebebasan beragama. Tapi kebebasan bukanlah hak, melainkan hadiah dari Negara kepada rakyat.

Baath merancang kebangkitan negara-negara Arab melalui revolusi. Kembalilah ke akar, begitu seru para Baathis, seraya membebaskan manusia Arab dari keterhinaan seperti dialaminya sekarang. Misi sucinya adalah menyatukan seluruh bangsa Arab di bawah langit sosialisme. Baath menawarkan pembebasan dan surga di bumi. Tapi revolusi akan bergerak maju, menyingkirkan segala penghalang di depan mata. Bagi kaum Baath, revolusi bukan soal sistem, tapi soal manusia. Tak pelak, sejarah Baath adalah sejarah kudeta dan kontrakudeta. Dan waktu itu, tahun 1968, para pengamat waspada, menyimak perkembangan yang berlangsung diam-diam di lingkungan paling elite. Di titik paling sentral, Presiden Ahmad Al-Bakr yang diktatorial. Di lingkar selanjutnya, seorang wakil presiden yang ambisius. Saddam Hussein namanya.

Ziauddin terus berjalan. Di Me-kah, ia melihat Ka'bah, wujud kubus yang paling dikenal orang Islam di mana pun. Di sana, ia tidak kuasa menahan lidahnya, membisikkan kata-kata: labaik, ini aku datang. Di Mekah, kehadiran Tuhan terasa. Di antara lautan manusia, Ziauddin sebuah noktah tak berarti. Di kota itu, sejarah manusia—kecuali berkaitan dengan peran dinasti Ibn Saud—tak punya makna. Ziauddin Sardar menyaksikan bangunan ratusan tahun dirobohkan, digantikan bangunan baru yang mencerminkan satu modernitas, sekaligus konsumerisme.

Dalam Desperately Seeking Paradise Ziauddin menyimpulkan: Wa-habi modern hanya hidup sekarang, saat ini, tanpa masa lalu yang memberikan makna, tanpa arah yang menandakan masa depan. Arab Saudi negeri yang berkembang di bawah pengaruh paham Wahabi dan Ibn Taimiyah. Wahabi gerakan kebangkitan yang menganjurkan pengikutnya kembali ke Quran dan Sunah. Tidak salah, ia bagian dari usaha pemurnian agama. Sedangkan Ibn Taimiyah, ilmuwan muslim abad 13, sosok yang mengutamakan persatuan, memandang perbedaan dengan mata curiga. Kita tahu, Ibn Taimiyah hidup di masa ketika Islam di bawah ancaman: ada trauma Perang Salib, ada orang-orang Mongol yang sekonyong-konyong mengirim balatentaranya. Bisa dipahami, dalam kondisi seperti ini, pluralitas diyakini mele-mahkan.

Ziauddin Sardar terus berjalan. Ia berjalan ke Iran, tapi tidak bisa menyaksikan jalannya revolusi dari dekat. Tak diizinkan masuk Iran, karena pandangan-pandangannya yang kritis terhadap kepemimpinan di negeri itu. Ziauddin pergi ke Malaysia, berkawan dekat dengan Anwar Ibrahim, na-mun harus meninggalkan negeri itu karena Anwar tidak bebas lagi. Di bawah pemerintah Mahathir Mohamad, ia dijebloskan ke penjara.

Perjalanan Ziauddin, pergulatan yang panjang. Pahit, tapi itulah perjalanan mencari surga….

Idrus F. Shahab, Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus