Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlahan, kami menghampiri wilayah itu. Sebuah hamparan padang Sahara yang luasnya meliputi 40 persen wilayah Tunisia.
Hari itu awal April. Mobil kami bergerak ke selatan: dari Tunis ke Douz. Matahari bersinar tanpa tabir, tapi udara dingin terasa menusuk-nusuk kulit. Toyota Land Cruiser yang dikemudikan sopir kami, Mekki Harrouchi, 38 tahun—lelaki Tunis yang tampangnya mendekati aktor Omar Sharif tapi tidak berbahasa Inggris—mulai terbang. Membelah hamparan sabana: dataran tanah cokelat yang diselang-selingi oleh gundukan-gundukan rumput.
Di luar jendela, sebuah dunia yang seakan tak berubah selama ribuan tahun. Beberapa kali, di daerah yang berumput subur, kami melihat pemuda penggembala kambing. Mereka memakai tutup kepala dan baju terusan, menunggang keledai, serta menggiring puluhan kambing.
Empat puluh menit melaju, kehijauan mulai jarang terlihat. Masih ada gundukan-gundukan pasir, tapi kali ini plontos, tanpa rumput. Ya, kami telah memasuki Chott el-Jerid, padang pasir bergaram yang sama sekali tak ditumbuhi pohon. Sejauh mata memandang, hanya pasir cokelat yang terlihat. Lautan pasir tak bertepi. Jauh di ujung sana, hanya garis batas melengkung, memisahkan langit dan bumi. Satu-satunya tanda kehidupan di sini hanyalah gunungan-gunungan kecil, tumpukan garam yang ditambang oleh para penduduk sekitar.
Di kiri-kanan jalan, tegak sebuah papan bertulisan ”vittesse = danger”. Jalan berkelok-kelok, tapi bukan itu yang mengerikan. Di tengah jalan, kami melihat debu putih bergulung-gulung—mula-mula di kejauhan, makin lama makin dekat. Lalu mobil kami pun terguncang. Kami telah berkenalan dengan angin gurun. Dari kaca spion tampak Mekki Harrouchi, sopir kami, tersenyum-senyum. Mungkin ia menertawai kami yang ketakutan.
Fantastis, masih di Chott el-Jerid, tiba-tiba kami mendapati mobil kami seolah membelah sungai. Sungai di sebelah kiri berwarna biru kehijauan, dan yang di kanan berwarna merah. Amel Bettaieb, pemandu kami, cepat memuji nama Tuhan. ”Kami tidak tahu mengapa genangan air di sini berwarna merah dan di sana biru. Ini proses kimiawi dari alam. Padang pasir ini kandungan garamnya sangat tinggi,” tuturnya.
Kami, saya, sejumlah rekan wartawan dan pelancong, memang berjalan jauh: dari Tunis, Hammamet, Sousse, Kairouan, ke Douz—menempuh jarak sekitar 498 kilometer. Hari itu kami bermalam di Kota Douz, sebelum bertolak ke Chebika, Tamerza, dan Tozeur, keesokan harinya.
Chebika adalah sebuah kota oasis di perbatasan dekat wilayah Aljazair. Jalan menuju Chebika melalui hamparan batu cadas cokelat, dengan ujung meruncing seolah menantang langit. Sebuah pegunungan purba dengan guratan-guratan panjang. Saya mendaki salah satu bukit di pegunungan itu. Tiga orang penduduk lokal muncul, lantas menyapa, ”Konichiwa.” Saya mengatakan, ”Saya orang Indonesia.” Kemudian ketiganya serentak mengucap: ”Wow, Jakarta… tsunami….”
Perjalanan pulang menempuh rute Douz, Matma-ta, Jerba, sebelum akhirnya ke Tunis. Orang menyebut Kota Matmata serupa wajah rembulan. Tempatnya berbukit-bukit, berwarna cokelat krem. Di bawah bukit itu, tampak lubang-lubang menganga. Satu-dua pohon kurma ada di sekitarnya. Di sisi yang lain, ada pemandangan serupa, tapi sekeliling lubang gua itu dicat warna putih. Kata orang, itulah rumah Berber modern.
Rumah bangsa Berber itu disebut troglodites. Rumah gua di Matmata rata-rata berbentuk bulat atau setengah lingkaran. Jangan bayangkan gua itu gelap. Bagian tengah bangunan alami itu bolong sehingga matahari bebas menyusup sampai ke kamar.
Bangsa Berber banyak berdiam di kota itu. Mereka penduduk asli Sahara, yang tinggal di Afrika Utara. Tapi, setelah Arab datang, mereka lebih banyak hidup di kawasan Sahara. Selain di Matmata, bangsa Berber tersebar di Maroko dan Aljazair.
Dr Haryadi, Direktur Andalusia Foundation Indonesia, dalam sebuah tulisannya menyebutkan, dulu, Afrika Utara termasuk wilayah Mauritania. Karena itu, bangsa Berber sering disebut bangsa Moro. Tapi tentu saja berbeda dengan bangsa Moro yang ada di Filipina. Sebelum Islam masuk, sebagian dari mereka menganut paham animisme dan sebagian lagi Yahudi.
Bangsa Berber diperkirakan sudah ada sejak ta-hun 3000 sebelum Masehi. Sebagai penduduk asli Afrika Utara, mereka mendiami wilayah seluas 2,4 juta kilometer persegi. Namun sistem kekuasaan yang dibangun orang Funisia di Kerajaan Kartago tidak bisa bertahan. Romawi menghancurkan kerajaan itu. Terakhir, wilayah Tunisia dikuasai Arab.
Bangsa Berber dikenal sebagai bangsa pengembara. Hidupnya berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Biasanya mereka hidup berkelompok dalam satu suku. Ada beberapa suku, di antaranya Sanhaja, Zenata, Masmuda, Beranes, Jarawa, Botr, Jazula, dan Lamtuna. Inilah bangsa Moro yang asli, bukan Moro yang ada di Filipina.
Tapi sekarang keadaan sudah berbeda. Masyarakat Berber rata-rata kini hidup di pinggiran Sahara. Lihat saja Fotma, 50 tahun, dan keluarganya, yang sudah puluhan tahun menetap di tempat itu. Mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi anaknya, Mouna, 18 tahun, dan Imen, 16 tahun, sedikit mengerti. ”Saya hanya sedikit berbahasa Inggris. Hanya nama, umur, dan sedikit lagi yang lain,” kata Mouna.
Menurut Amel Bettaieb, sang pemandu, masyarakat Berber membuat rumah di gua-gua karena menganggapnya lebih aman, terutama untuk menghindari serangan musuh, baik dari Romawi, Arab, maupun orang jahat yang bermaksud mencelakakan mereka. Karena itu, dulu rumah-rumah Berber tidak dicat, supaya tidak terlihat musuh.
Tinggal di rumah troglodites terasa nyaman, pada musim panas terasa sejuk dan bila musim dingin terasa hangat. Untuk sampai halaman tengah, hanya ada satu pintu untuk keluar-masuk. Kamar-kamarnya berderet melingkar. Ada tiga kamar tidur, sebuah dapur, gudang senjata, kamar mandi dan WC, serta ruang kecil untuk menggiling gandum. Semuanya bersih, tertata rapi.
Isi kamarnya sangat sederhana: sebuah kasur, almari, dan meja. Di kawasan Matmata sudah ada listrik, tapi tak ada televisi. Luas setiap kamar rata-rata sekitar 10 meter persegi. Dinding dan atapnya tanah, tidak dilapisi apa pun. ”Untuk membuat rumah ini bisa bertahun-tahun,” tutur Amel.
Di ruang dapur, sebuah meja pendek diletakkan persis di depan pintu. Imen merebus teh dan Mouna menyiapkan hidangan. Roti gandum yang dibakar sebesar kerupuk kemplang itu tersaji, sudah dicuil-cuil, diletakkan di dalam wadah. Di sampingnya, satu mangkuk minyak zaitun sebagai saus pencelupnya.
Roti itu memang makanan khas bangsa Berber. Tapi makanan pokok mereka sesungguhnya couscous, terbuat dari gandum, bisa dimasak manis atau gurih sesuai dengan selera. Couscous biasanya dimakan bersama daging berkuah panas, semacam kare.
Fotma masih asyik menggiling biji gandum. Wajah perempuan itu mirip orang Indian. Setangkup batu bulat berdiameter 50 sentimeter ada di depannya. Diletakkan di atas tanah, berlapis selembar kulit kambing. Tujuannya untuk menampung biji gan-dum yang sudah remuk.
Di bagian atas batu itu, sebatang kayu melekat. Batang kayu dijadikan pegangan untuk memutar gilingan itu. Bagian tengah batu tersebut berlubang, untuk memasukkan biji gandum. Biji-biji gandum yang telah remuk itu diayak. Lalu tepungnya dijadikan roti bakar.
Di dalam rumah-rumah itu tidak ada laki-lakinya. Mereka keluar rumah, bekerja atau menggembalakan ternak. Kedua anak perempuan Fotma pernah belajar di madrasah, tapi kini sudah tidak melanjutkannya lagi. Entah mengapa, mereka tak mau memberikan alasan. Zaman berubah, tapi Fotma dan dua putrinya punya pilihannya sendiri.
Tunisia negeri kecil di ujung utara Afrika. Bentuknya seperti sebuah serpihan kaca segi tiga, mengisi sebuah celah di antara Aljazair di barat dan Libya di timur. Negeri itu disebut Al-Khadra, negeri hijau. Inilah penghasil zaitun ketiga, setelah Spanyol dan Italia. Tanah dan penduduknya eksotis, berbahasa Arab, tapi lebih fasih berbicara dalam bahasa Prancis ketimbang Inggris.
Di ibu kota, Tunis, gedung-gedung tua berdampingan dengan gedung modern. Di Bourguiba Avenue, salah satu jalan utama kota itu, suasana seperti sebuah catwalk panjang: gadis-gadis manis berlalu-lalang dengan pakaian modis. Penontonnya para pemuda yang duduk di kafe, ditemani secangkir kopi atau teh hangat, sambil menyedot tembakau chi-cha.
Gereja Katedral St Vincent de Paul ada di ruas jalan itu—sebuah peninggalan Prancis, didirikan pada 1892. Gedung kuno itu berdiri tepat di depan kedutaan Prancis. Hotel Afrika, tempat kami menginap, dan Hotel El-Hana menjulang tinggi, berdekatan dengan Gedung Al-Masrah al-Baladi (Teater Nasional) yang berarsitektur klasik.
Hanya 500 meter dari hotel, ada pemandangan berbeda di sana. Sebuah benteng atau gerbang membatasi kota lama perkampungan Arab, Medina. Di dalam area seluas satu kilometer persegi itu terdapat sebuah masjid agung, Ezzitouna, yang dibangun pada 732 Masehi.
Tunisia merdeka sebagai negara Islam. Empat puluh persen wilayah negeri itu berupa padang pasir. Inilah Sahara….
L.N. Idayanie (Kota Tunis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo