Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan itu memakan waktu empat jam. Para pria yang biasa berlari, menyepak, dan menyundul bola, kali ini, harus menggenjot sepeda gunung, na-ik-turun, melintasi kawasan perbukitan di Yorkshire Utara, Inggris. Peluh menetes deras kendati mereka harus melewati daerah yang dingin. Tapi hati mereka riang gembira.
Acara semacam itu merupakan kiat Roy Maurice Keane, 35 tahun, untuk melatih sekaligus mengakrabkan para pemainnya. Sesekali ia mengajak mereka balapan dengan go kart, bermain paintball, berarung jeram, dan latihan fisik ala militer. ”Mereka kan tidak harus berlatih di lapangan setiap hari,” kata Keane, yang selalu ikut serta da-lam program latihan yang dibuatnya.
Teknik melatih seperti itu berbuah manis. Peluang ”Kucing Hitam”, julukan Sunderland, yang ia tangani sejak Agustus tahun silam, untuk kembali ke Liga Primer makin terbuka. Dengan masih menyisakan dua dari 46 pertandingan, nilai Sunderland sudah 82 poin. Kucing Hitam kini berada di peringkat kedua Liga Championship (Divisi I), di bawah Birmingham City.
Musim lalu, karena penampilan yang memble, klub berseragam belang merah ini terpaksa turun kelas ke Liga Championship. Di awal musim, Sunderland bahkan berada di peringkat kedua dari bawah. Sebelum diambil alih Keane pada Agustus 2006, tim asuhan Niall Quinn ini hanya mampu meraih satu kemenangan dan lima lainnya kalah.
Ketika masih bermain di Manchester United, Keane memang sudah mematok cita-cita menjadi manajer klub sepak bola. ”Saya akan memulainya dari klub papan bawah,” katanya. Selepas pensiun sebagai pemain, diam-diam ia mengikuti kursus kepelatihan sesuai dengan standar organisasi sepak bola Eropa (UEFA).
Tak menunggu lama, tertolong nama besarnya tatkala menjadi pemain, tawaran datang dari Niall Quinn, bos Sunderland, yang juga rekannya di tim nasional Irlandia, untuk mengelola klub tersebut. Untuk ukuran manajer yang masih hi-jau, Keane mendapat tawaran gurih. Ia dikontrak 2 juta pound sterling atau sekitar Rp 36 miliar per tahun. Pria yang terakhir merumput bersama Glasgow Celtic, Skotlandia, itu langsung meneken kontrak hingga 2009.
Kepercayaan Quinn tak sia-sia. Pres-tasi Kucing Hitam benar-benar mengkilat di tangan Keane. Sejak Januari hingga Maret 2007, ia dinobatkan sebagai ”Manager of the Month”. Hebatnya lagi, Keane ciamik meramu tim hebat dengan hanya bermodal pemain-pemain loakan. Lihat saja langkahnya memasang mantan penyerang Manchester United, Dwight Yorke, yang sudah uzur dan sempat terdampar di Australia.
Dia juga memanggil Liam Miller, yang ketika bermain di Old Trafford diga-dang-gadang sebagai pengganti dirinya. Pemain lainnya masih stok lama: Ross Wallace dan Stanislav Varga dari Celtic. Ada pula Graham Kavanagh dan David Connolly asal Wigan Athletic. ”Kalau hanya memiliki pemain sebelas orang, mana mampu kami menembus Liga Primer?” katanya.
Dalam semusim, dia meramu 36 pemain dalam 39 formasi yang berbeda. Tentu tak setiap pemain bisa bertanding, selalu saja ada yang harus istirahat. Namun, sampai saat ini, tak ada pemain yang membangkang. ”Tugas pemain,” katanya, ”adalah bermain sesuai dengan keinginanku.”
Gaya dan taktik yang dimainkan Keane mengundang decak kagum manajer sekelas Rafael Benitez (Liverpool) dan Jose Mourinho (Chelsea). Kejelian dan tingkahnya yang blakblakan membuat Keane dijuluki pers Inggris sebagai Mourinho Muda.
Kehadiran Keane di Sunderland juga membawa berkah di luar lapangan. Enam minggu setelah ia menjadi manajer, dinas pariwisata setempat mencatat jumlah turis yang datang ke kota itu meningkat. Kebanyakan datang dari Republik Irlandia untuk menonton pertandingan Sunderland. Maskapai penerbangan Ryanair mengumumkan jumlah penumpangnya meningkat sepuluh persen tiap kali Sunderland tampil.
Para pendukung Sunderland juga percaya bahwa timnya bakal mampu bertarung di Liga Primer. Dampaknya, kocek Kucing Hitam pun bakal membengkak. Salah satu indikasinya, tiket terusan untuk musim depan di Stadium of Light—kandang Sunderland—sudah terjual 9.000 lembar. Manajemen Kucing Hitam yakin akan berhasil menjual 35 ribu lembar tiket terusan.
Bagi penggila bola asal Irlandia, penampilan pria asal Cork itu mewakili sosok khas Irlandia yang keras, suka bicara terbuka, tanpa basa-basi. Pemberang sekaligus pemberani. ”Saya pernah menjadi petinju. Itu sebabnya, saat tampil di lapangan, saya tidak pernah merasa takut,” katanya.
Watak keras Keane tecermin dalam insiden Saipan di Piala Dunia 2002. Ketika itu, Keane memilih pulang gara-gara berseteru dengan pelatihnya, Mick McCarthy. Padahal ia pemain penting di tim nasional. Di kejuaraan itu, Irlandia akhirnya harus keok dari Spanyol di babak kedua.
Di klubnya, ia juga tak segan mengkritik pemain lain yang, menurut dia, bak selebritas yang lebih doyan mengoleksi jam tangan mewah Rolex dan kehilangan semangat bertarung. Keane terang-terangan menyebut beberapa pemain yang menurut dia tidak layak bercokol di Manchester United. Masuk deretan itu antara lain Rio Ferdinand, Alan Smith, dan Darren Fletcher.
Berbeda dengan kebanyakan pemain kelas dunia, keseharian Keane sendiri jauh dari kesan glamor. Padahal penghasilannya di Setan Merah tidak kecil. Saat diboyong dari Nottingham Forrest pada 1993, nilai transfernya mencapai 3,75 juta pound sterling atau sekitar Rp 67,5 miliar dan menjadi rekor transfer ketika itu. Sebelum meninggalkan MU pada November 2005, Keane merupakan salah satu pemain dengan gaji tertinggi di Liga Inggris, yakni Rp 1,7 miliar per pekan. Ia juga selalu masuk daftar pesepak bola terkaya di dunia.
Satu-satunya kelemahan Keane adalah kebiasaannya minum alkohol. Ga-ra-gara air api, berkali-kali ia terlibat baku hantam, termasuk dengan remaja di sebuah klub malam. Ia pun pernah dikabarkan menjalani rehabilitasi, kendati Keane tegas membantah. Keane akhirnya bercerai dengan alkohol ketika menyaksikan anggota timnya berlatih. ”Saya melihat mereka. Saya harus kembali berlatih dan mendapatkan semua yang harus saya lakukan.”
Sang istri, Theresa, menurut Keane, ikut berperan membuatnya berhenti menenggak alkohol. Kehadiran perempuan yang dinikahinya sepuluh tahun lalu itu amat berarti dalam hidupnya. ”Bersama anak-anakku, dialah yang mengubur Roy si Playboy,” katanya sambil terbahak.
Theresa, yang juga berasal dari Irlandia, bisa jadi satu-satunya orang yang bisa membuat ciut nyali Keane. Dalam sebuah acara, ia pernah membentak dan menyeret Keane ke luar ruangan. ”Seumur hidup baru sekali itu Roy kelihatan tak berdaya,” kata seorang teman yang menyaksikan peristiwa itu. ”Persis seperti keledai.”
Kini Keane lebih suka menghabiskan waktu bersama keluarga dan anjing-anjingnya serta mengoleksi mobil kuno. Salah satu mobil miliknya, Bentley Continental dua pintu, sempat dicuri. Kemewahan lain adalah rumah di kawasan Tudor, North East, seharga 3,8 juta pound sterling atau sekitar Rp 68,4 miliar.
Kini keluarga itu tengah mencari rumah baru. Satu yang tengah diincarnya adalah sebuah kastil yang dibangun Sir John Soane pada abad ke-18. Dia memerlukan rumah besar agar anjing-anjingnya bisa leluasa bermain. Katanya, tidak seperti manusia, mereka tidak pernah memaki.
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo