Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Ja’far
Telah dua pekan lebih Israel membombardir Gaza. Di kota itulah berpusat kekuasaan Hamas, salah satu faksi politik Palestina. Hamas dan Israel saling menegasikan eksistensi politiknya. Hamas tidak mengakui Israel sebagai negara. Israel tidak mengakui legitimasi kekuasaan Hamas dan mengkategorikannya organisasi massa pelaku teror.
Minimal ada dua tujuan serangan Israel. Pertama, melemahkan basis kekuasaan politik dan kekuatan militer Hamas—yang akan menguntungkan Israel, karena pemerintah Tel Aviv dapat bernegosiasi lebih leluasa dengan Fatah, faksi politik lain di Palestina. Ideologi politik Fatah lebih moderat ketimbang Hamas. Israel juga berharap lemahnya basis militer Hamas akan menurunkan ancaman terhadap stabilitas Israel.
Tujuan kedua, menaikkan popularitas Partai Kadima. Ini partai yang tengah berkuasa di Israel dan belakangan dinilai kalah ”konservatif” (tegas) dibanding partai rivalnya, Likud. Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni—sekaligus pemimpin Kadima—perlu membangun legitimasi kekuasaan politiknya jika ingin naik ke kursi perdana menteri menggantikan Ehud Olmert pada Februari nanti. Merontokkan pusat kekuasaan Hamas adalah ”cara cepat” meraih simpati kalangan konservatif.
Tapi agresi ke Gaza tidak akan serta-merta melumpuhkan basis politik dan kekuatan militer Hamas. Malah simpati terhadap faksi itu justru menguat. Dan dalam urusan kekuatan militer, serangan Israel terlalu sederhana untuk bisa disebut melumpuhkan Hamas. Kekuatan militer Hamas memang terbatas, tapi kelompok ini memiliki jaringan keorganisasian yang kuat, yang dapat membantunya bertahan secara militer.
Adapun soal popularitas Kadima, agresi ke Gaza amatlah mungkin menaikkan kepercayaan kalangan konservatif Israel terhadap partai tersebut, walau dari sisi lain justru melemahkan simpati kalangan moderat Israel. Meraup dukungan kelompok konservatif Israel adalah langkah strategis memenangi pemilu. Jumlah mereka lebih besar, terutama di parlemen. Menteri Livni pun datang dari kalangan ini.
Serangan Israel ke Gaza juga bisa kita lihat sebagai hasil kebuntuan politik yang telah berlangsung dua tahun. Sejak Hamas memenangi pemilu pada 2006, soliditas politik dalam negeri Palestina pecah oleh perbedaan ideologi. Puncaknya, kekuatan politik terbelah di dua wilayah: Hamas di Jalur Gaza dan Fatah di Tepi Barat.
Bagi Israel, perpecahan di lingkup internal Palestina menguntungkan sekaligus membuntungkan. Pemerintah Israel akan lebih leluasa menekan dan memecah kekuatan politik Palestina. Israel pun kian leluasa bermanuver: menyerang Hamas sekaligus membangun negosiasi politik dengan Fatah.
Tapi perpecahan Hamas dan Fatah juga membuat setiap negosiasi politik—yang dicoba disepakati oleh Israel dan Fatah—dapat didelegitimasi oleh Hamas. Secara tidak langsung Israel terjebak dan terimbas oleh perpecahan internal Palestina. Politik Israel pun sebenarnya diwarnai ideologi konservatif dan moderat. Hanya, gesekannya tidak sekeras di Palestina.
Perpecahan internal Palestina ibarat bom waktu yang kendali ledaknya berada di tangan Israel. Israel bisa memanfaatkannya untuk melumpuhkan Hamas khususnya dan melemahkan politik Palestina secara keseluruhan. Namun efek ”ledakan” juga akan melanda Israel.
Keputusan agresi Israel ke Gaza mestinya didasari pula oleh pertimbangan bahwa soliditas politik Palestina berada di titik nadir, sementara kondisi politik dalam negeri Israel menuntut bukti komitmen ”konservatisme” dari Livni dan Partai Kadima.
Serangan ke Gaza bisa saja membuat kalangan moderat Palestina jenuh dan frustrasi dengan ideologi politik Hamas. Dan selanjutnya dapat menjerembapkan negara itu ke dalam krisis politik dan ekonomi. Bila ini terjadi, posisi Fatah akan menguat—dan menguntungkan Israel.
Sebaliknya yang terjadi bila aksi agresi Israel justru menaikkan dukungan kepada Hamas. Simpati terhadap Hamas berarti kerugian bagi Israel, yang amat berharap popularitas dan dukungan terhadap faksi itu merosot.
Pendek kata, agresi kali ini akan memberikan keuntungan sekaligus kerugian politis bagi Israel. Ini sebuah perjudian strategi yang mengingatkan kita pada keputusan Olmert menginvasi Libanon sekitar dua tahun lalu. Langkah itu terbukti menjadi blunder yang memburamkan citra Olmert—meskipun agresi ke Gaza kali ini beda konteksnya dengan serangan Israel ke Libanon. Dalam konteks politik global, agresi Israel ke Gaza tidak strategis karena menambah catatan hitam kabinet Olmert.
Pemerintah Israel selama ini selalu terjebak di antara dua pilihan kontradiktif, yaitu membangun citra positif di level internasional atau memperkuat basis politiknya dengan melancarkan aksi militer. Pilihan pertama berarti moderasi politik. Pilihan kedua jelas-jelas menunjukkan agresi. Israel memang tidak pernah lepas dari dilema.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo