Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perlawanan dari Luar Pagar

Pelarian Papua membangun jaringan perlawanan di luar negeri. Bangsa serumpun menjadi target utama.

3 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orang Papua mencari suaka ke negara lain bukanlah kisah baru. Aktivitas ini sudah berlangsung sejak peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia pada 1960-an. Masyarakat Papua yang menolak ber-gabung kemudian kabur ke sejumlah negara-negara di Pasifik Selatan seperti Vanuatu, Fiji, hingga Australia.

Moses Weror termasuk salah satu figur yang melarikan diri. Semula dia adalah diplomat Indonesia di Persatuan BangsaBangsa yang meneriakkan Papua se-bagai bagian dari Indonesia. Kecewa terhadap pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 yang dianggapnya banyak kecurangan, dia berbalik arah. Hingga kini dia menetap di Madang, dan meng-atur perlawanan dari sana.

Ada lagi Dirk Ayamiseba, bekas Ke-tua DPRD Irian Jaya. Pelarian Dirk men-jadi berita menggemparkan. Kala itu grup band yang tersohor, Black Brothers, mendapat undangan pentas di Pa-pua Nugini dari perusahaan penerbang-an Air Nugini pada 1979. Putra tertua Dirk, Andy Ayamiseba, menjadi manajer Black Brothers. Andy memasuk-kan nama Dirk dalam rombongan se-bagai penasihat budaya. Namun, se-usai pergelaran, anggota rombongan meno-lak pulang ke Indonesia dan memi-nta suaka politik. Dirk bersama anggota Black Brothers kemudian mendapat kewarganegaraan Belanda.

Belakangan, Dirk memilih pindah ke Canberra, Australia, hingga menin-ggal tiga tahun lalu pada usia 91 tahun. Sementara itu, Andy tetap memimpin k-am-panye kemerdekaan Papua untuk kawasan Pasifik Selatan dari Vanuatu.

Di kawasan itu, Australia me-rupakan negara terpenting. Jaringan pergerak-an di sana sudah dirintis para pencari suaka sebelumnya dan kini diteruskan J-acob Rumbiak. Dia pernah menjadi ta-hanan politik di penjara Cipinang, Jakarta, karena terlibat pengibaran ben-dera Bintang Kejora pada 1988. Masa hukuman 17 tahun tidak dijalankan sam-pai selesai karena mendapat peng-ampunan setelah pemerintahan Presi-den Soeharto jatuh. Jacob kemudian k-abur ke Australia dan kini tinggal di Melbourne.

Perjuangan serupa juga dilakukan da-ri Eropa. Di sana, ada Viktor Kaisiepo. Pada Kongres Rakyat Papua, Juni 2002, dia terpilih sebagai anggota Presidium Dewan Papua yang mewakili kawasan Eropa. Dia dibantu Grace Roembiak untuk mengurus aktivitas di kantor perwakilan rakyat Papua di Belanda.

Pada masa pemerintahan Presiden A-bdurrahman Wahid, berhembus a-ngin segar. Rakyat Papua diberi kesempatan melakukan kongres pada 2000. Kong-res ini dihadiri para pemuka adat, tokoh-tokoh Papua, juga para pelarian di Eropa dan kawasan Pasifik. Kongres itu memutuskan membentuk Presidium Dewan Papua yang terdiri dari 31 orang de-ngan ketua Theys Hiyo Eluay. Presidium ini menelurkan deklarasi menolak hasil Pepera dan menuntut kemerdekaan.

Pernyataan kemerdekaan ini langsung mendapat sokongan dari negara-negara di kawasan Pasifik. Perdana Menteri Vanuatu, Barak Sope, Presiden Nauru, Bernard Dowiyogo menyatakan dukung-an mereka. Tapi pemerintah Amerika Se-rikat, Belanda, juga Australia tidak mengakui deklarasi tersebut dan menyatakan tidak ingin mencampuri urus-an dalam negeri Indonesia.

Gerakan menuntut Papua merdeka sempat mengempis setelah Ketua Presi-dium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay dibunuh pada November 2001. sementa-ra itu, perlawanan di bawah tanah te-rus berlangsung dan jaringan mereka di luar negeri tetap bekerja. Perlawanan itu mengalami ledakan hingga meng-akibatkan bentrokan di depan kampus Universitas Cendrawasih, Rabu dua pekan lalu.

Aksi yang dimotori mahasiswa yang menamakan diri Front Pepera dan Par-lemen Jalanan itu mengakibatkan te-wasnya lima aparat keamanan dari kepolisian dan TNI. Hampir bersamaan de-ngan insiden itu sebanyak 42 orang Papua yang sejak Januari lalu datang ke Australia diberi visa oleh negara te-tangga ini. Diduga manuver orang-orang Papua itu dirancang oleh para akti-vis ”Papua Merdeka” di luar negeri.

Andy Ayamiseba mengakui Austr-alia dipilih sebagai ”arena pertempuran” ka-rena posisinya sebagai negeri demokrasi terbesar di kawasan Asia Pasifik. Suka atau tidak, Australia akan terlibat dalam sengketa ini. ”Jadi, ini masalah waktu saja,” katanya dalam jawaban tertulis kepada Tempo.

Agung Rulianto, Eduardus Karel D.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus