Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Telepon Hamzah Berdering

Pemberian visa kepada 42 orang Papua membuat hubungan Indonesia-Australia memanas. Penjelasan Presiden Yudhoyono tak didengar.

3 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dinginnya malam membalut Canberra. Termometer menunjuk angka belasan derajat Cel-sius. Duta Besar Teuku Mohammad Hamzah Thayeb sudah ber-ada di rumah dinasnya yang hanya tiga menit perjalanan dari kantornya di Darwin Avenue, Yarralumla, Australian Capital Territory.

Malam itu, Kamis dua pekan lalu, tiba-tiba telepon berdering. Hamzah Thayeb terenyak. Rupanya ada kabar dari Jakarta. Telepon itu datang dari bosnya, Men-teri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Dia memanggilnya untuk pulang ke Tanah Air. Sang duta besar pun segera berkemas, dan esok harinya langsung berangkat dengan penerbangan pertama Singapore Airlines.

Hamzah dipanggil pulang untuk kon-sultasi. Ini bentuk protes Jakarta se-telah Departemen Imigrasi Australia memberikan visa perlindungan sementara bagi 42 penduduk Papua. Mengaku menghindari kejaran tentara Indonesia, mereka—sebenarnya ada 43 orang tapi seorang sudah punya visa Jepang—mendarat di Cape York, pantai utara Australia, Januari lalu.

Hubungan Jakarta-Canberra la-ng-sung memanas. Pemerintah Indonesia be-rang karena sejak awal menyatakan ada pengejaran tentara terhadap manusia perahu itu. Penjelasan bahkan langsung disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menelepon Perdana Menteri John Howard, beberapa hari setelah mereka tiba di Cape York. Presiden juga telah memberikan jamin-an keamanan bila para penduduk Papua itu kembali ke Indonesia.

Namun Australia tak berubah pen-dirian dan tetap memberikan visa. Menteri Hassan Wirajuda menilai Australia telah mengganggu kedaulatan Republik Indonesia. ”Keputusan itu dibuat tanpa mempertimbangkan kita (Indonesia),” kata dia.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo Adi Sutjipto melempar tuduhan lain. Kata dia, ”Pemberian visa itu se-olah-olah membenarkan spekulasi adanya elemen-elemen di Australia yang membantu gerakan sepa-ratis di Papua.”

Protes juga dilakukan oleh Dewan Per-wakilan Rakyat. Di depan sidang paripurna, Ketua DPR Agung Laksono menyatakan, parlemen meminta Duta Besar Indonesia di Australia ditarik. Maka, Istana langsung mengambil keputusan memanggil Duta Besar Hamzah untuk konsultasi.

Menurut Menteri Pertahanan Juw-ono Sudarsono, keputusan menarik duta besar diambil oleh Presiden saat bertemu Menteri Hassan Wirajuda dan Menteri Widodo di Istana, Kamis malam dua pekan lalu. Setelah pertemuan ini, Hassan langsung menelepon Hamzah. Saat itu di Canberra sudah larut karena per-be-da-an waktu sekitar empat jam dengan J-akarta.

Dalam perjalanan menuju Jakarta, Hamzah berhenti di Singapura untuk ber-temu Hassan Wirajuda. Sang menteri sedang transit menuju Wina, Austria. ”Ketika itu Pak Hassan memberikan gambaran tentang reaksi di Tanah Air soal pemberian visa itu,” kata Yuri Thamrin, Direktur Asia Timur dan Pasifik Departemen Luar Negeri, yang hadir dalam pertemuan itu.

Tiba di Jakarta pada Sabtu sore, ia me-nemui Menteri Widodo A.S. esok pagi-nya. Pada Ahad siang, ia dipanggil ke ke-diaman pribadi Presiden Yudhoyono di Puri Cikeas Indah, Bogor. Di ruang perpustakaan kediaman Presiden, dengan di-suguhi secangkir teh, ia menjelaskan kro-nologi pemberian visa itu.

Menurut Dino Kusnadi, juru bicara Kedutaan RI di Canberra, Hamzah meng-aku telah menghubungi Departemen Imi-grasi dan Departemen Luar Negeri Australia serta melakukan lobi informal dengan sejumlah tokoh di sana. Tujuannya satu: mencegah pemerintah Australia memberikan visa bagi orang-orang Papua itu. Selama pertemuan, Yudhoyono banyak bertanya. ”Presiden juga sulit mengerti sikap Australia yang memberikan visa itu,” kata Dino.

Pada akhir pertemuan, Presiden meminta Hamzah tidak kembali dulu ke Can-berra. Namun, Sang Duta Besar me-minta izin untuk pergi ke Vanuatu—ne-gara kecil di Samudra Pasifik tempat dia juga menjadi duta besar nonresiden. Di sana ia harus menyerahkan surat-surat kepercayaannya kepada Presiden Kalkot Matas Kelekele.

Kepergiannya ke Vanuatu diizinkan. Tapi dari sana Hamzah, yang berka-ntor di Canberra sejak November 2005, di-min-ta langsung kembali ke Jakarta lagi. ”Ka-pan balik ke Australia, nanti akan saya beri tahu,” kata Presiden, seperti di-tirukan Dino.

Kini, misi diplomatik Indonesia di Aus-tralia tanpa dipimpin langsung seorang duta besar. Memang, pelayanan umum se-perti pengurusan visa, konsuler, atau pe-laporan warga negara Indonesia di ne-gara itu tetap dibuka. ”Namun, jelas, pengambilan keputusan yang biasanya di-lakukan oleh duta besar menjadi terhambat,” kata Dino.

Dalam dunia diplomatik, menurut se-orang diplomat, pemanggilan pulang du-ta besar tergolong serius. Ini hanya se-tingkat di bawah pengosongan duta besar, seperti yang pernah dilakukan Indonesia tiga tahun lalu. Saat itu pemerintah mengosongkan pos duta besar di Swedia karena negara ini dianggap melindungi para pemimpin Gerakan Aceh Merdeka.

Protes diplomatik paling ”ringan” ada-lah dengan mengirim surat. Kemudian memanggil duta besar negara yang dipersoalkan. Setelah itu, memanggil pu-lang duta besar sendiri untuk konsul-tasi, dan baru kemudian pengosong-an pos duta besar. Tingkat berikutnya adalah penurunan status menjadi konsulat, dan yang terbe-rat pemutusan hubung-an diplomatik.

Menurut Juwono, pemutusan hubung-an di-p-lomatik dengan Australia tidak ma-suk dalam opsi pemerintah. Dalam ra-pat koordinasi b-idang politik dan keama-nan yang digelar sehari se-telah pemberian visa pun, kata dia, hal itu sama sekali tak dibahas. ”Kami hanya membahas sikap Australia yang diskriminatif,” kata dia.

Juru bicara kepresidenan Dino Pa-tti Djalal juga memastikan, Jakarta tak akan mendeklarasikan pemutusan hu-bungan diplomatik alias talak satu kepada Canberra. Alasannya, langkah ini justru akan menguntungkan kelompok separatis di Papua. ”Itu memang keingin-an mereka,” ia menambahkan.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dewi Fortuna Anwar, setuju dengan argumentasi Dino. Menurut dia, jika pemutusan hubungan dilakukan, hal itu justru semakin banyak pendukung Papua merdeka lari ke Australia. ”Dan Australia mungkin malah akan mendukung mereka,” tuturnya.

Indonesia dan Australia pun sudah telanjur saling bergantung. Sedikitnya 18 ribu mahasiswa dan pelajar Indonesia belajar di negara itu. Sebaliknya, sekitar 400 perusahaan Australia beroperasi di Indonesia. Mereka bergerak di bidang pertambangan, konstruksi, jasa keuang-an dan perbankan, makanan, dan sektor transportasi.

Menurut data Kedutaan Besar RI di Canberra, pada Januari-Juni tahun lalu, total nilai perdagangan bilateral mencapai US$ 2,56 miliar—meningkat US$ 42 juta dibandingkan tahun sebelumnya. Namun Indonesia masih defisit, ka-rena nilai ekspor ke Australia hanya US$ 1,24 miliar. Sedangkan nilai ekspor Australia ke Indonesia mencapai US$ 1,31 miliar.

Ketua Komisi Luar Negeri DPR Theo L. Sambuaga memperkirakan, pemanggilan duta besar untuk konsultasi ha-nya dilakukan untuk menekan Australia agar mencabut visa bagi 42 orang Pa-pua. ”Jika tak direspons, tarik saja duta besar secara tetap,” kata politisi Partai Golkar itu.

Australia tampaknya belum mau ber-ubah sikap. Alih-alih berusaha mereda-kan, Canberra justru menambah ketegangan. Pada Rabu pekan lalu, Depar-temen Urusan Luar Ne-geri dan Perdagangan (DFAT) mengeluarkan pe-r-ingatan bagi warga negaranya agar mempertimbangkan kembali rencana bepergian ke Indonesia.

”Warga negara Austra-lia harus menghindari aksi demonstrasi di depan Kedutaan Besar atau kepentingan Australia lainnya di Jakarta, sehubungan dengan pemberian visa perlin-dungan sejumlah penduduk Papua,” demikian pernyataan DFAT.

Perdana Menteri John Howard meng-anggap reaksi Jakarta saat ini tak akan bertahan lama. ”Saya juga tak percaya, pemberian visa itu akan menimbulkan dampak,” katanya, sembari menambahkan pemerintahnya tetap mendukung kedaulatan Indonesia.

Duta Besar Australia Bill Farmer di Jakarta menjelaskan, proses pemberian visa memang tidak mudah dipengaruhi. Menurut dia, keputusan diambil oleh De-partemen Imigrasi yang independen. ”Pemerintah tidak terlibat,” katanya seusai menemui Menteri Juwono.

Menurut sumber Tempo, Presiden Yu-dhoyono dan Menteri Widodo serta Menteri Hassan Wirajuda akan segera membahas langkah berikutnya. Ada kemungkinan, sikap itu akan diumumkan pada pekan ini. Apa bentuknya? ”Yang jelas, tidak akan sampai pemutusan hu-bungan diplomatik,” kata sumber itu.

Budi Setyarso, Fanny Febiana, Ami Afriatni, Evy Flamboyan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus