Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musik dan tarian tradisional Papua dipertunjukkan serentak di pusat Kota Sydney dan Melbourne, Australia, Mi-nggu siang lalu. Di Melbourne, Perpustakaan Negara di Jalan Swanston menjadi pusat kegiatan tersebut. Sedang-kan di Sydney, pertunjukan digelar di Hyde Park Utara. Selain suguh-an pentas kesenian asli Papua, ada juga saj-ian makanan dan tetamu dari kalangan par-tai dan tokoh masyarakat.
Itulah bagian dari ”pesta”, perayaan yang juga diramaikan demonstrasi itu, yang diorganisasikan oleh Free West Pa-pua, lembaga swadaya masyarakat yang mendukung gerakan kemerdekaan Pa-pua. ”Saya berharap acara ini mampu me-narik banyak dukungan,” kata juru bicara Free West Papua, Nick Chesterfield, kepada Tempo.
Di situs organisasi tersebut juga tertera beberapa acara yang berkaitan de-ngan kampanye mendukung 42 wa-rga Papua yang memperoleh suaka dari Men-teri Imigrasi, Amanda Vanstone, 23 Maret lalu. Keputusan tersebut, menurut Chesterfield, telah membuka mata dunia tentang apa yang terjadi di Papua. ”Untuk bersama-sama mencari cara menyudahi kekerasan yang dilakukan militer Indonesia di Papua,” katanya.
Pemberian visa tinggal sementara kepada 42 warga Papua pencari suaka yang terdampar di Pulau Christmas, Janua-ri lalu, disambut baik beberapa kelompok warga Australia. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat pendukung Papua merdeka yang tersebar di berbagai kota Australia, seperti Australia West Pa-pua Association, Australian South Sea Island-ers United Council, menyambut antusias ”kemenangan” tersebut.
Mereka berharap para ”pendatang ba-ru” dari Papua itu segera dipindahkan ke Melbourne, bergabung dengan warga Australia lainnya. Mereka juga berkampanye bahwa keberhasilan 42 warga Pa-pua itu memberi keberanian kepada ratusan pencari suaka politik lainnya dari Papua. Harian Australia The Age, 25 Maret lalu, memuat pendapat Presiden Otoritas Nasional Papua Barat, E-dison Wa-romi. Menurut Edison, seharusnya ada 200-an orang Papua yang ingin ikut. Tapi, karena kapal terlalu kecil, ha-nya muat 40-an orang. Masih menurut Waromi, masih ada 500-an orang yang sangat ingin mendapat suaka politik di Australia.
Sedangkan menurut David Manne, Koor-dinator Pengacara untuk Pengungsi dan Imigrasi, para pencari su-aka da-ri Papua itu telah diproses sesuai de-ngan prosedur yang berlaku. Manne, yang mewakili 42 warga Papua, juga menyatakan para pengungsi berada da-lam keadaan trauma. ”Kebanyakan laki-laki, tapi ada juga anak-anak dan perempuan,” katanya kepada Tempo.
Pemerintah Australia—seperti disua-rakan oleh Perdana Menteri John Ho-ward dan Menteri Luar Negeri Alexan-der Downer—mengaku tidak turut cam-pur dalam pengambilan keputus-an memberikan visa tinggal sementara ter-sebut. ”Ya, ini adalah keputusan departemen. Staf departemen kami yang memutuskan,” kata Menteri Vanstone.
Pihak Australia memang mengklaim pemberian izin tinggal kepada 42 warga Papua berdasar Konvensi Perserikat-an Bangsa-Bangsa 1951 dan Protokol 1967 tentang status pengungsi serta h-ukum Australia. Intinya, yang disebut peng-ungsi adalah orang-orang yang terancam nyawanya karena ras, agama, alir-an politik, dan keyakinan lain di negara tempat mereka tinggal. Sebagai satu dari 142 negara penanda tangan kesepakatan internasional tersebut, Departemen Imigrasi memberikan visa perlindungan sementara kepada 42 warga Papua.
Menurut peraturan keimigrasian Aus-tralia yang berlaku sejak 1999, para pengungsi hanya mendapat visa perlindungan sementara yang berlaku tiga tahun—sebelumnya mereka langsung men-dapat visa perlindungan permanen. Nah, para pencari suaka berhak meng-ajukan permohonan visa perlindungan permanen setelah melalui evaluasi dari pemerintah Australia apakah yang bersangkutan masih terancam di negara asalnya atau tidak. Jika penindasan dan ancaman sudah tidak terjadi, pemohon harus kembali ke negara asalnya dalam 28 hari setelah visa perlindungan sementara jatuh tempo.
Peraturan bagi pencari suaka politik di Australia memang diperketat karena pihak Australia cukup sering kecolong-an memberikan visa perlindungan kepada orang yang tidak layak disebut pengungsi. Menurut Kementerian Imigrasi Australia, sejak Oktober 2001, departemen tersebut menerapkan sistem klarifikasi ekstraketat terhadap pemohon asilum. Keadaan ini jelas berbeda jauh dengan ketika Australia menerima langsung 70 ribu pengungsi Vietnam pada akhir 1970-an dan, dalam jumlah yang sama, pengungsi Cina pascatragedi Tiananmen Beijing pada 1989.
Nah, jika peraturan seleksi calon pencari suaka itu diterapkan dengan benar, ke-42 warga Papua itu memang layak mendapat visa perlindungan sementara. Tapi, tetap saja, ruang kecurigaan bah-wa Australia bersikap diskriminatif dalam menerima pencari perlindungan politik tetap ada.
Menurut sebuah penelitian, kesempat-an mendapat status pengungsi bagi war-ga asal Eropa lebih tinggi 14,7 persen ketimbang orang-orang asal Timur Tengah dan seki-tarnya. Masih ingat k-a-sus kapal Tampa pada per-te-ngahan 2001? Tampa ada-lah kapal berbendera Norwegia yang diusir keluar dari wilayah perairan Australia setelah menolong 433 peng-ungsi—mayoritas warga Afganistan—yang pe-ra-hu-nya bocor.
Para pengungsi yang diangkut Tampa akhirnya di-kumpulkan di Nauru, salah satu negara di Pasi-fik Selatan, dan hingga kini belum jelas nasib permohon-an suaka mereka. Tapi boat people asal Timor Timur pada 1995 langsung men-dapat asilum. Padahal menurut konvensi 1951—yang sudah diratifikasi Australia—manusia perahu yang menyatakan butuh suaka harus langsung diberi visa perlindungan karena sesuai dengan kri-teria badan urusan pengungsi PBB (UNHCR) tentang pengungsi. Pemerintah Australia harus tunduk pada aturan UNHCR tersebut.
Selain itu, masih ada persoalan detention center yang digunakan untuk menahan para pendatang ilegal, alias tanpa dokumen resmi, ke teritori Australia. Menurut Migration’s Act 1958, para pencari asilum yang datang ke Australia tanpa dokumen valid harus ditahan di detention center sembari menunggu proses visa perlindungan.
Menurut laporan beberapa lembaga hak asasi, kondisi di tahanan bagi para pendatang ilegal di Australia lebih mirip penjara dengan pengamanan minimum. Hal ini mengakibatkan para pencari sua-ka, yang sudah punya trauma di nega-ra asal mereka, makin tersiksa. Ba-yangkan, sekitar 8.000 orang ditahan di ”penampungan” imigran ilegal terbesar di Woomera, Australia Selatan. Menurut Marion Le, pengacara yang sudah lama menangani kasus-kasus pengungsi, sa-ngat banyak kasus pencari suaka politik yang digantung. Selain itu, juga terjadi kesalahan-kesalahan dalam memberikan atau menolak visa perlindungan. Ada orang-orang yang dikembalikan, di-sambut hukuman penjara di negara mereka masing-masing.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo