Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALING lontar argumentasi tiada putusnya dalam rapat itu. Satu persatu pejabat teras Partai Persatuan Pembangunan (PPP) urun pendapat. Ruang tamu rumah dinas Wakil Presiden Hamzah Hazyang juga ketua umum partai itudi Jalan Madiun, Jakarta Pusat, jadi ajang tarung pikiran. Pemimpin rapat, Wakil Ketua Umum Alimarwan Hanan, mesti membagi kesempatan sama rata ketimbang menuai protes.
"Kami membahas tawaran PDI Perjuangan," kata Ketua PPP, Arief Mudatsir Mandan, kepada TEMPO. Rapat enam jamsejak pukul 10.00Rabu pekan lalu itu diramaikan pro-kontra kemungkinan Hamzah berduet dengan Megawati Soekarnoputri, calon presiden PDIP. Persoalan bermula dari pernyataan Hamzah, Senin pekan lalu, tentang kepastian "mendampingi" Mega dalam pemilu presiden pada Juli nanti. "Minggu ini sudah ada yang konkret," ujarnya ketika itu.
Ungkapan Hamzah langsung mengagetkan jagat "partai Ka'bah" itu. Soalnya, Hamzah selama ini puasa bicara tetek-bengek pencalonan, sampai orang di sekitarnya gemas. Wakil presiden itu juga belum pernah berembuk di internal partai. Ternyata, "pinangan tak resmi" sudah mulai dilayangkan kubu "moncong putih".
Ketua PDIP, Roy B.B. Janis, selalu menyebut bosnya paling ideal berpasangan dengan Hamzah, yang nahdliyin. Alasannya, kombinasi nasionalis sekuler dan agamis, dan bisa bekerja sama. Dalam perbincangan dengan sejumlah pengurus pusat partainya, Mega acap kali menyebut nama Hamzah. Kata Ketua PDIP, Arifin Panigoro, "Ibaratnya, tak perlu ganti potret." Mega dan Hamzah pun bertemu buat membicarakan "masa depan".
Awal pekan lalu, Hamzah mengajukan tiga "syarat" kepada Mega: pengamalan sila pertama Pancasila, dilibatkan dalam penyusunan kabinet, dan pembagian yang jelas tugas presiden dan wakil presiden. Tapi, sampai akhir pekan kemarin, belum bersinar lampu hijau dari Mega. "Pak Hamzah sudah tahu sikap Ibu Mega," kata Wakil Sekretaris Jenderal PDIP, Pramono Anung, Jumat lalu.
Ternyata, "protes" dari pengurus dan pendukung PPP di daerah keburu muncul. Ada yang lewat pesan pendek, atau via telepon pejabat teras partai. Pelbagai masukan itulah yang berhamburan dalam rapat. Mereka yang mendukung duet Mega-Hamzah terpikat perolehan suara sementara PDIP dalam pemilu legislatif: sekitar 19,44 persen. Jika digabung dengan suara PPP sekitar 8,32 persen, capaiannya bisa 30 persen. Arief termasuk penyokong duet ini.
Namun, yang menolak juga punya alasan. Mereka khawatir koalisi itu tak menguntungkan PPP karena pamor Mega sudah surut. Kerja sama PDIP dan PPP di parlemen juga tak mesra. Misalnya, ketika membahas Undang-Undang Advokat, PPP ingin sarjana syariah bisa jadi pengacara. Tapi PDIP malah sebaliknya. Lalu, dalam menentukan sistem pemilu dalam Undang-Undang Pemilu, PPP dan PDIP kembali berseberangan. Belum lagi soal "pasal agama" dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
"Apa mau koalisi dengan partai yang platformnya beda?" ujar Wakil Sekretaris Umum, Chozin Chumaidy, Jumat lalu. Soal larangan pemimpin perempuan juga mencuat. Posisi Hamzah sekarang dianggap tak jadi masalah, karena ketika itu kursi wakil presiden kosong dan pemilihan dilakukan MPR. Tapi kini, jika Hamzah mau jadi wakil Mega, berarti memilih pemimpin wanita.
Pendukung duet Mega-Hamzah memberi penafsiran sebaliknya. Ketua Majelis Syariah PPP, K.H. Maimun Zubair, mengakui bahwa soal kepemimpinan kaum hawa memang kontroversial. Bahkan pendapat para kiai di majelisnya juga terbelah. "Tapi, menyangkut keyakinan, saya khawatir pendukung PPP lari kalau dipaksakan," ujar Lukman Hakim Saifuddin, Sekretaris PPP.
Rupanya, perdebatan "dimenangi" kubu pro. Rapat memutuskan tetap menggandeng Mega, atau maju sebagai calon RI-1 kalau ditampik Mega. Rapat pimpinan nasional juga akan digelar di Jakarta, 28-29 April, buat membicarakan pencalonan. Namun, situasi berbalik dalam rapat Jumat lalu. Opsi koalisi bertambah satu: membuka lobi dengan tokoh-tokoh lain. Bisa dengan Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, atau Siswono Yudhohusodo. "Sebab, ada pendekatan dari mereka," kata Chozin.
Sikap "balik kanan" PPP itu dipicu ketidakjelasan kabar dari PDIP soal tiga syarat tersebut. "PDIP memang tak pernah jelas," kata Lukman. Para politisi PPP juga melihat Mega sedang "menimbang" Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), K.H. Hasyim Muzadi, buat jadi pasangannya. Ketimbang tersandera, Hamzah memilih mencari peluang lain.
Hubungan Mega dengan Hasyim sudah lama terbangun. Tiga bulan lalu Mega mengunjungi Hasyim di pesantrennya, Al-Hikam, Malang, Jawa Timur. Dalam pertemuan, Hasyim menyatakan pasangan tokoh nasionalis dan religius moderat bisa membuat Indonesia aman. Ia pun sering memberi masukan ke Mega. Contohnya, menyarankan agar sikap pemerintah soal Irak tak berlawanan dengan keinginan publik. "Kalau saya minta ketemu pagi, pasti sore sudah dipenuhi," ujar Hasyim.
Selain bertemu langsung, lobi juga dibangun melalui orang-orang dekat Mega. Ahad dua pekan silam, tokoh PDIP Sabam Sirait dan Soetardjo Soerjogoeritno diutus bertemu Hasyim. Lalu, Pramono gantian menjenguk Hasyim sehari kemudian di kediamannya, Jalan Jaya Mandala, Patra Kuningan. Pramono berbicara panjang-lebar: intinya menjajaki kemungkinan koalisi. "Pak Hasyim berkata sedang menunggu fatwa Rais Aam," ujar Ketua PBNU, Andi Djamaro.
Cuma selang dua hari, PBNU menggelar rapat gabungan Dewan Syuriah dan Tanfidziyah. Rapat yang dipimpin Rais Aam K.H. Sahal Mahfudz itu membahas sikap NU dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Hasilnya, NU tak bisa mencalonkan karena bukan partai politik. Tapi warganya dibebaskan menangkap peluang politik nasional. "Artinya, bola di tangan Pak Hasyim," ujar Andi.
Usai rapat, Kiai Sahal bertemu Mega di rumah dinas Presiden, Jalan Teuku Umar. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu membantah kunjungan ini ada hubungannya dengan Hasyim. "Cuma guyon, kok," ujarnya. Esok sorenya, gantian Hasyim bertemu Mega. Mereka antara lain membicarakan silaturahmi para kiai NU se-Jawa di Surabaya, 26-27 April, buat membahas sandaran agama pemilihan presiden langsung. "Itu kumpulan kiai pendukung Pak Hasyim," ujar sumber TEMPO di PBNU.
Lalu, Mega meminta agar ia diundang untuk membuka acara. Hasyim pun mengangguk. Tapi belakangan Hasyim sungkan jika hanya mengundang Mega. "Akhirnya Pak Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Amien Rais diundang," ujar Ketua NU Jawa Timur sekaligus ketua panitia, Ali Maschan Moesa.
Menurut dia, Hasyim sebenarnya sudah lama "jatuh hati" pada Mega. Namun, kini ia menghadapi pilihan sulit: Mega atau Wiranto, calon presiden Partai Golkar yang belakangan gencar "merayu"-nya. Kesulitan itu terkait dengan pertemuan rujuk dengan Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid, di Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu pagi lalu. Kemungkinan besar PKB bakal mencalonkannya sebagai wakil presiden karena Gus Durbegitu Wahid disapatak bisa maju diganjal alasan kesehatan.
Dengan Mega, Gus Dur sudah tak akur sejak ia dilengserkan dari kursi presiden pada 2001. Cucu pendiri NU itu malah lebih akrab dengan Wiranto. Bisa saja Hasyim "maju" sendiri tanpa dicalonkan PKB, tapi jauh lebih menguntungkan kalau disokong partai bentukan para kiai NU itu. "Apakah Gus Dur mau Pak Hasyim berpasangan dengan Mega?" kata Ali Maschan.
Jobpie Sugiharto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo