Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dobel-Gardan Mendorong Megawati

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laksamana Sukardi akhir-akhir ini harus lebih sering datang ke kediaman Presiden Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Urusannya bukan sekadar persoalan Kantor Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara?lembaga yang dipimpin Laksamana. Laks, begitu pria tampan itu biasa dipanggil, kini adalah nakhoda Mega Center?lembaga yang akan memompakan suara kepada Megawati dalam pemilu presiden 5 Juli nanti.

Kekalahan PDI Perjuangan dalam pemilu legislatif lalu sangat memukul Megawati. Ketua umum "Partai Moncong Putih" itu tak ingin gagal dua kali. Melalui Mega Center, ia berusaha bangkit. Orang kepercayaannya ia taruh di situ, di antaranya Laksamana Sukardi, Pramono Anung Wibowo, dan Sutjipto.

Di bawah mereka ada Cornelis Lay, dosen ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sekaligus penasihat politik kepercayaan Megawati. Sedangkan dari Senayan ada nama Daryatmo dan Tjahjo Kumolo. Tim itu juga diperkuat kalangan akademisi, seperti peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Hermawan Sulistyo, dan dosen Institut Pertanian Bogor sekaligus Menteri Kelautan, Rokhmin Dahuri.

Walau tokoh-tokoh sudah digalang, bentuk organisasi Mega Center belum jelas benar. Bahkan tokoh seperti Kwik Kian Gie, yang dulu memimpin tim penelitian dan pengembangan PDI Perjuangan, mengaku belum tahu keberadaan Mega Center. Menurut Roy B.B. Janis, salah satu ketua dewan pimpinan pusat (DPP) "Partai Banteng Bulat", sampai sekarang ini belum ada struktur yang jelas. Keberadaan Laksamana sebagai komandan tim pun masih belum resmi. "Belum ada laporan resmi kepada DPP sebagai pengendali," katanya.

Kritik menghambur ke arah Mega Center justru dari kandang banteng sendiri. "Seharusnya partai yang menjadi tulang punggung tim sukses Megawati," kata Roy.

Menurut Sukowaluyo Mintorahardjo, Ketua Umum Lembaga Kajian Demokrasi?bentuk lain dari Badan Penelitian dan Pengembangan PDI Perjuangan, yang dibekukan oleh Kwik Kian Gie?organisasi Mega Center sekarang ini lebih mirip kumpulan pemikir atau lembaga think tank. Padahal problem yang dihadapi bukan sekadar wacana. Mesin politik Megawati yang utama, yaitu struktur partai, sudah rusak dan harus direparasi.

Menurut Suko, komposisi DPP, yang hanya mengandalkan 13 pemimpin di pusat, jelas kewalahan jika harus mengurus lebih dari 400 cabang partai. Apalagi sejumlah ketua DPP tak lagi bisa bekerja full time lantaran ada yang sakit atau menjadi menteri. "Harus ada rekrutmen besar-besaran (untuk mendukung Megawati). Para pendukung harus diseleksi agar yang masuk hanya yang memiliki konstituen yang jelas," ujar Suko.

Tanpa ada reparasi mesin politik utama, kader tak akan bergerak. Para pemimpin juga harus sering keluyuran ke bawah menemui rakyat. "Seribu kali rapat kerja nasional tak cukup karena itu hanya jalan-jalan bagi para pengurus partai," katanya. Suko juga melihat banyaknya akademisi dalam Mega Center bisa membuat kerja tak efektif. "Jika hanya wacana, mubazir," katanya.

Suko juga menilai Laksamana Sukardi bukan sosok yang ideal memimpin lembaga itu. "Sebaiknya ia disimpan saja di belakang layar. Yang tampil harus organisatoris yang bisa menjalankan dobel-gardan bagi struktur partai dan Mega Center," katanya.

Di tengah waktu yang tinggal sedikit, Mega Center harus bekerja keras. Soalnya, dalam tiga tahun terakhir, pamor pemerintahan Megawati jeblok, terutama dalam kasus pemberantasan korupsi.

Ada kabar, salah satu program memompa popularitas Mega adalah menggelar kebijakan yang pro-rakyat. Ke depan, Mega akan lebih sering turun ke bawah: ngobrol dan mendengarkan keluhan petani dan nelayan. Tampaknya, Mega harus mengulang resep mantan presiden Soeharto dulu: menggiatkan komunikasi dengan wong cilik melalui temu wicara dengan kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa).

Edy Budiyarso, Jobpie Sugiharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus