Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dicari: Kaki Ketiga SBY-Kalla

Meski dianggap bisa saling mengisi, duet SBY-Jusuf Kalla rapuh tanpa dukungan pihak ketiga. Gus Dur dan Hasyim Muzadi menyatakan kecewa pada Yudhoyono.

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah setahun lebih lamaran itu dikirim Megawati Soekarnoputri kepada Jusuf Kalla tanpa isyarat yang pasti. Sekali waktu, dalam sebuah resepsi seorang anggota keluarga, Ketua Umum PDI Perjuangan itu merangkul lengan Kalla: "Oke Bang, ya? Kita jadi, ya?" Kali yang lain, ketika rombongan Presiden Megawati hendak melawat ke luar negeri, ajakan itu kembali disampaikan—tetap secara informal dan penuh senda-gurau.

Tapi, tak seperti layaknya pasangan yang hendak ke pelaminan, pinangan resmi dari Mega yang menginginkan Kalla mendampinginya sebagai wakil presiden pada pemilu Juli 2004 nanti tak jua datang.

Kamis 15 April lalu, sebelum sidang kabinet, pertemuan Mega-Jusuf Kalla memang telah dirancang oleh tim sukses Megawati. "Menurut orang-orangnya Mega, dalam pertemuan itu Mega hendak melamar," kata seorang kerabat dekat Kalla. Tapi, setelah satu jam saling berhadapan, ternyata pembicaraan cuma ngalor-ngidul. "Ya sudah, karena tak ada ketegasan, malamnya Pak Jusuf bertemu Susilo Bambang Yudhoyono untuk memastikan keinginan Jusuf menjadi wakil Yudhoyono dalam pemilihan presiden," kata sumber itu.

Menjalin hubungan dengan Yudhoyono selama bertahun-tahun, Kalla—pengusaha dan pemilik berbagai kelompok usaha—menggunakan nalurinya sebagai saudagar. "Keputusan harus segera diambil. Pak Jusuf memutuskan menerima pinangan Susilo," kata kawan dekat Kalla.

Sejauh ini dari sejumlah pasangan presiden dan wakil presiden, duet SBY—begitu nama Yudhoyono biasa disingkat—dan Jusuf Kalla merupakan yang paling jelas wujudnya. Secara terbuka keduanya sudah menyatakan akan bergandeng tangan dalam pemilu presiden 5 Juli nanti.

Di mata tim sukses SBY dan Kalla, keduanya memang kombinasi ideal. Duet ini mewakili kultur Jawa dan non-Jawa, representasi nasionalis-Islam, dan memenuhi syarat militer-sipil. Mereka juga masing-masing memiliki pengalaman, pengetahuan, dan karakter yang bisa saling melengkapi. SBY pemikir, sementara Kalla orang lapangan. "Kalau cuma gunting pita dan pidato-pidato, lebih baik saya tak jadi wapres," kata sumber TEMPO menirukan Kalla. Kabarnya, kedua tokoh bahkan sudah mulai membagi kursi kabinet. Kalla akan menempatkan orang-orangnya di kabinet ekonomi, dan SBY akan mengendalikan tim politik.

Di mata tim SBY, sosok Kalla, yang lahir di Watampone, Sulawesi Selatan, 62 tahun silam, itu adalah sekondan yang menguntungkan. Sebab, Kalla tidak datang dengan modal dengkul. Dia punya basis massa dan konstituen kultural di kawasan timur Indonesia. Jaringan perusahaannya juga merambah hampir di semua provinsi di wilayah itu. Kalla juga punya hubungan baik dengan sesepuh di tanah Minang, Sumatera Barat, seperti Azwar Anas. Mufidah, istri Kalla, berasal dari sana.

Bahkan putra keempat Kalla, Solihin Jusuf Kalla, diberi gelar adat Datuk Rajo Pangulu pada akhir Februari lalu. Nilai plus inilah yang diharapkan bisa menggenapi lonjakan popularitas Yudhoyono dengan Partai Demokrat-nya. Di mata Hamid Awaludin, doktor politik yang dikenal bersahabat dengan Jusuf Kalla, Kalla bahkan bisa menarik suara Golkar Indonesia timur dan kubu yang tak seperahu dengan Wiranto—calon presiden dari Partai Beringin itu.

Sekukuh itukah posisi duet SBY-Kalla? Tak semua orang meyakininya. Zainal Bintang dari Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)—organisasi onderbouw Golkar—merasa ragu. Katanya, saat konvensi, suara Golkar Sulawesi Selatan terpecah tiga: kepada Kalla, Surya Paloh—melalui Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia—dan kepada Wiranto, melalui tokoh Kaukus Iramasuka, A.A. Baramuli. Belum lagi ada Marwah Daud Ibrahim dan Nurdin Halid, yang resmi masuk tim sukses Wiranto. "Wiranto juga berpengaruh di Sulawesi Utara dan Gorontalo karena pernah bertahun-tahun bertugas di wilayah itu," kata Zainal.

Di sisi lain, cendekiawan muslim Sulawesi Selatan, Abdurahman Basalamah, berpendapat bahwa Kalla, yang bergabung dengan Yudhoyono, belum tentu menggaet dukungan mayoritas umat Islam. Sebab, umat Islam memiliki banyak pilihan. Apalagi, menurut Basalamah, Yudhoyono bukanlah tokoh yang terlalu mengakar. Dia menilai peluang Wiranto tetap lebih besar dibanding Yudhoyono.

Yudhoyono sadar, meski sudah menggaet sekondan yang dianggap kuat, ia punya Wiranto, saingan yang tak lemah. Itulah sebabnya kini pasangan SBY-Kalla kian merapatkan barisan. Di antaranya dengan menyatukan tim sukses kedua tokoh dan mencari partner koalisi di luar Golkar dan Partai Demokrat.

Sejauh ini rencana penggabungan kedua tim sukses memang belum jelas wujudnya. Yang baru ada adalah pertemuan di Hotel Shangri-La, Jakarta, untuk menggabungkan tim sukses Partai Demokrat dan "Tim Sembilan" Yudhoyono, yang dikomando mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letjen TNI Makruf. Kedua tim ini akan menggabungkan pola kampanye dan sosialisasi dukungan SBY hingga ke wilayah. Ini akan dilakukan melalui akar Demokrat dan beberapa partai yang akan berkoalisi.

Empat partai yang sudah dilirik untuk berkoalisi dengan duet SBY-Kalla adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). "Kita tidak akan maju sendiri. Biar lebih hangat," kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Marsekal Pertama Suratto Siswodihardjo.

Namun, hingga Jumat pekan lalu, pensiunan marsekal pertama itu mengaku baru dua parpol, yakni PBB dan PKPI, yang bersedia bergabung dalam koalisi. Sementara itu, PKS dan PKB masih terus dalam proses penjajakan.

Tak mudah, memang, bagi duet SBY-Kalla untuk merangkul partai politik lain supaya masuk dalam koalisi yang mereka rencanakan. Dengan modal 6,97 juta suara (7,53 persen) dalam Pemilu 2004, Demokrat bukan partai terbesar. Apalagi Kalla bukan calon wakil presiden resmi dari kubu Golkar.

Selain soal hitung-hitungan perolehan suara, hubungan personal SBY-Kalla dengan pemimpin politik partai lain juga akan memberi arah ke mana koalisi akan terarah.

Ambillah contoh PKB. Ketua Umum Dewan Syuro PKB, K.H. Abdurrahman Wahid, menyatakan menolak mendukung duet Yudhoyono-Kalla. Kabarnya, ia tersinggung karena ternyata mantan Kepala Staf Teritorial TNI itu maju sendiri sebagai calon presiden melalui Demokrat. Padahal sebelumnya kedua tokoh itu kerap rantang-runtung bersama. Bahkan, dalam Musyawarah Kerja Nasional PKB, nama Yudhoyono masuk sebagai salah satu kandidat wakil presiden partai kaum sarungan itu. Tapi, begitu Demokrat meraih suara cukup signifikan, SBY cukup percaya diri untuk melenggang dan menentukan calon wakil presidennya sendiri.

"Bukan tutup pintu, tapi ngapain? Dia (SBY) selalu bilang saat kampanye bahwa telah minta restu kepada saya, padahal tidak pernah. Saya buka nih terus terang faktanya," kata Wahid.

Pernyataan lebih gamblang disampaikan Sekretaris Dewan Syuro, H.Z. Arifin Junaidi. Yudhoyono diakuinya kerap mengirim utusan ke PKB agar bersedia berkoalisi dengan Demokrat. Namun, tawaran itu ditolak karena PKB merasa tidak terlibat dalam deal-deal awal SBY dengan Kalla. Selain itu, secara perolehan suara, PKB jauh lebih besar ketimbang Demokrat. "Lha kok malah dia yang menentukan siapa jadi calon presiden dan siapa calon wakil presidennya," kata Arifin.

Tak cuma Wahid yang kecewa terhadap Yudhoyono. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), K.H. Hasyim Muzadi, juga merasa ada yang tak cocok antara dia dan SBY. Ceritanya, sehari setelah pemilu 5 April, Hasyim dan bekas Menteri Koordinator Polkam itu sepakat bertemu di suatu tempat. Belakangan, Yudhoyono berubah pikiran dan meminta pertemuan dipindah ke kediaman SBY di Cibubur. Hasyim sepakat, dengan catatan: pertemuan jangan bocor ke pers. "Eh, ternyata dia malah membeberkan (pertemuan itu) kepada wartawan," kata Hasyim. Dalam jumpa pers di kediaman SBY pada 6 April lalu, Yudhoyono memang menyatakan pernah bertemu dengan Ketua Umum Nahdlatul ulama itu. "Posisi Pak SBY maju kena, mundur kena. Saya kira dia membuka pertemuan itu karena ditanya wartawan," kata Agus Abubakar Arsyal, salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat.

Pernak-pernik inilah yang tampaknya bakal mengganggu jalan panjang duet SBY-Kalla. Aral melintang dan waktu tak banyak. Seperti pasangan calon presiden lainnya, keduanya berlomba dengan waktu.

AZ/Sudrajat, Jobpie Sugiharto, Irmawati (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus