Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Banyak pasangan resah dengan kondisi baru yang mereka hadapi setelah bercerai salah satunya ialah anak-anak. Perpisahan sendiri telah memberikan luka bagi anak, ditambah lagi jika sikap orang tua yang tak bisa seiring sejalan dalam memastikan tumbuh kembang mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Psikolog Anak dan Keluarga Samanta Ananta mengatakan dalam kasus perpisahan diperlukan sikap jujur yang bijak. Namun jujur tidak berarti membeberkan semua aib dan kesalahan mantan suami, jika dalam kasus perpisahan hak asuh anak ikut ibu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Bersikaplah asertif dan bijaksana, bukan berarti jujur dan membuka aib orang tuanya. Kebingungan dan rasa bersalah kita buka menjadi alasan, namun meyakinkan pada anak secara perlahan sesuai dengan tahapan usia mereka," ucap Samanta dalam Single Moms Indonesia (SMI) Live Chat di Instagram, Selasa 9 Juni 2020.
Sebab, efek perpisahan yang mulai diketahui anak akan diingat terus sampai dewasa. Ketika ingin memberi tahu pada anak, idealnya pahami terlebih dulu konflik yang terjadi. Jika dalam keseharian tidak ada masalah lantas diberitahu jika sudah berpisah bisa mengejutkan anak. Sebaliknya, jika kerap bertengkar setiap hari sampai ada kekerasan, keputusan berpisah akan melegakan buat anak.
"Pada saat anak mulai beranjak besar, sekolah TK sampai SMA mereka mulai mempertanyakan kelengkapan orang tua karena melihat anak-anak yang lain lengkap. Anak yang dekat dengan ibu biasanya dia tanya kemana ayahnya, kalau anak tanya berarti dia sudah siap dengan jawaban," papar Samanta.
Perlu digarisbawahi jika setiap kasus perceraian berbeda ceritanya, maka cara memberitahunya pun berbeda sesuai usia dan kondisi anak masing-masing. Anak-anak yang masih kecil butuh penjelasan yang konkret, sementara remaja ingin lebih tahu detail.
Samanta mengatakan sebelum menjawab pertanyaan anak soal ayahnya, para ibu bisa memakai strategi bertanya balik kepada anak. "Misalnya kamu penasaran ya di mana bapak, pahami alur pemikiran anak, sebatas anak ingin tahu atau memang sudah ingin ketemu. Atau kamu penasaran ya... kembali ke kemampuan bicara anak. Bisa dijelaskan misal kalau pisah rumah, kasih tau tinggal ayah dimana," jelasnya.
Jangan lupa ketika anak kangen dengan ayah, ibu bisa sambil memeluk dan memberi kehangatan, berempati dengan mengatakan kalau ibu tahu anak kangen ayah mereka. "Dengan cara seperti itu anak tidak mudah merasa terabaikan, tidak ditolak dan tidak dibohongi. Perasaan anak menjadi tervalidasi dan dekat dengan ibu. Sebab siapa pun yang dapat hak asuh anak memang harus saling menguatkan," papar Samanta.
Cara memberi tahu anak terhadap perceraian memang berat. Sebaiknya beritahu secara bertahap dan jangan berbohong. "Bicara sesuai tahapan perkembangan anak, lihat anak sudah siap dari rasa penasaran. Terbuka untuk semua pertanyaan tapi sesuai usia jadi mereka tahu kenapa penjelasan berbeda-beda. Tidak akan merasa dikhianati tapi sebaliknya merasa dirangkul. Kasih penjelasan bagian tanya kenapa, kalau tidak anak bisa kecewa," lanjutnya.
Samanta juga mengatakan jika luka yang ditimbulkan bukan karena perceraian, tapi kenapa orang tuanya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Bagaimana kedua belah pihak bersikap satu sama lain di depan orang tuanya. "Yang menjadi anak broken home adalah sikap orang tua saat mereka berpisah. Memicu konflik-konflik ke depannya. Bercerai tidak apa-apa kita siapkan efek setelahnya," tambahnya.
Perceraian tidak membuat anak menjadi broken home, tetapi anak hilang harapan. Untuk itu jangan pernah tanya anak mereka mau ikut siapa, karena trauma baru anak ialah memilih kedua orang yang dicintai. "Sebisa mungkin kita jangan tanya anak mau pilih siapa, kecuali kasusnya berbeda lebih kompleks," pungkasnya