Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perompak-perompak di selat philips

Dulu perompak sering menjarah harta nakhoda kapal selat philips. kini, perompakan itu sepi dan selat philips tampak aman. tni al melancarkan operasi kikis baja. penuturan beberapa bekas perompak.

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selat Philips, celah yang merupakan perpanjangan Selat Malaka di pintu masuk Singapura, yang selama ini dikenal sebagai daerah angker, sekarang aman. Operasi Kikis Baja yang dilancarkan oleh Armada Barat TNI AL untuk memberantas perompak di kawasan itu, sejak Juni tahun lalu, cukup berhasil. Saat ini sekitar 37 orang yang disinyalir merompak kapal-kapal asing di Selat Philips, Selat Malaka bagian utara, dan di sekitar Pulau Natuna, dapat diringkuk. Sebagian sudah divonis dan sebagian lain masih dalam proses peradilan. Hasil Operasi Kikis Baja itu terasa langsung di lautan. Dari bulan Januari sampai April tahun ini, misalnya, hanya tercatat satu perompakan di laut. Itu penurunan yang sangat drastis. Padahal, berdasarkan data Armada Barat TNI AL, bulan September sampai Desember tahun lalu, terjadi 14 serangan atas kapal- kapal asing di perairan Indonesia. Police Marine Singapura, antara tahun 1991 dan 1992 menerima pengaduan dari 20 kapal yang dirompak. Kerugian uang tunai tercatat US$ 30.000 atau sekitar Rp 60 juta. Belum termasuk barang-barang berharga lain seperti teropong, jam tangan, kamera, maupun cincin dan perhiasan emas lainnya. Padahal, menurut sumber TEMPO di Pangkalan AL Tanjungpinang, itu hanya sebagian kecil kasus perompakan. Disinyalir tak sedikit pula kapal yang tak melaporkan kehilangan karena jumlah kerugian yang kecil atau mereka tidak mau repot. Umumnya perompakan terjadi di Selat Philips, yang merupakan selat tersempit kedua di dunia, setelah selat Channel antara Perancis dan Inggris. Karena sempitnya, setiap memasuki Selat Philips, kapal tanker atau kapal barang hanya bisa melaju dengan kecepatan enam mil per jam. Dengan kecepatan seperti itu, kapal-kapal tanker paling tidak membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam untuk menyusuri selat sepanjang 10 mil itu sebelum lepas ke selat yang lebih lebar dan melaju dengan kecepatan penuh. Kecepatan kapal yang hanya 10 mil itu membuat perompak, dengan menggunakan perahu pancung yang dilengkapi motor tempel berkecepatan 40 mil per jam, bisa memburu kapal dan menempel di dinding kapal. Dan waktu satu setengah jam untuk menyusuri selat sudah cukup bagi perompak untuk naik ke kapal, masuk ke kamar nakhoda, mengambil barang-barang di kamar nakhoda, turun kembali, dan menghilang ke pulau-pulau di sekitar Selat Philips. Soalnya, kata Thamrin, seorang bekas perompak yang berdiam di Pulau Amat Belanda, Kepulauan Riau, mereka hanya memerlukan waktu 15 menit untuk menjarah kapal-kapal. Perompak sudah siap di Selat Philips, yang bisa dicapai 10 sampai 15 menit dari pulau-pulau di sekitar selat. Begitu melihat kapal masuk selat, mereka segera memacu perahu pancung. Menurut Thamrin, yang sekarang berjualan sea food, tiap kali beroperasi, satu kelompok perompak terdiri dari enam sampai tujuh orang. Satu orang tinggal di perahu untuk siap tancap gas, satu orang lagi menjaga tali yang disangkutkan ke kapal. Sisanya, empat atau lima orang, naik ke kapal. Yang naik ke kapal hanya bersenjata parang, celana pendek, dan kaos oblong tanpa penutup muka. Thamrin dahulunya adalah orang yang bertugas naik ke kapal. Ia meringis ketika diminta menuturkan cara dia dan teman-temannya memanjat dinding kapal yang tingginya sekitar lima meter. ''Kalau diingat-ingat, saya takut sendiri. Karena didampingi iblis saja, kami bisa selamat,'' tuturnya. Dan, mungkin karena memang didampingi iblis, tak pernah ada perompak yang terjatuh ketika memanjat kapal. Padahal, kalau terjatuh, sudah pasti perompak itu akan mati. Bayangkan, saat merapat ke kapal, perahu pancung menempel di bagian buritan, hanya sekitar satu meter dari baling-baling penggerak kapal. ''Kalau jatuh, pasti terhisap putaran baling-baling dan mati,'' kata Thamrin. Banyak perompak yang menenggak alkohol sebelum beroperasi untuk menghilangkan rasa takut ketika memanjat dinding kapal. Mereka memanjat dinding kapal dengan peralatan sepotong kayu sepanjang tujuh sampai delapan meter yang ujungnya disilangkan dengan kayu pendek, yang berfungsi seperti pengait. Potongan kayu pendek itulah yang disangkutkan ke atas kapal dan perompak yang jadi pemimpin mendapat giliran pertama untuk memanjat kayu ke atas kapal. Setibanya di atas kapal, ia melempar tali di kapal ke perahu pancung dan tiga atau empat perompak lain naik ke kapal dengan menggunakan tali. Di perahu pancung seorang perompak lain bertugas khusus menjaga tali, yang sekaligus berfungsi untuk menyeret kapal. Di atas kapal, rombongan perompak tidak memencar. Mereka berjalan beriringan dengan jarak antarperompak sekitar satu meter. Jadi, jika bertemu dengan anak kapal, kekuatan perompak praktis unggul karena jarang sekali anak kapal pada tengah malam masih bergerombol. Paling mereka akan bertemu dengan anak kapal yang terjaga dari tidurnya atau yang memang sedang bertugas. Tujuan di atas kapal adalah brankas di kamar nakhoda, yang terletak di lantai enam atau tujuh kapal. Biasanya, jika melewati selat sempit yang ramai seperti di Selat Philips, nakhoda selalu on command di ruang kemudi kapal. Maksudnya, nakhoda langsung yang memimpin perjalanan kapal, tidak diserahkan kepada perwira mualim. Tidak ada persoalan kalau kamar nakhoda tidak terkunci. Perompak masuk, membuka brankas, dan menyambar barang-barang lain yang terdapat di kamar nakhoda. Kadang brankas tak bisa dibuka, dan perompak tak mau ambil pusing. Mereka bawa brankas turun ke perahu pancung, sambil berharap uang yang disimpan di dalam brankas cukup berharga. ''Karena didampingi iblis juga, makanya kami bisa memanggul brankas seberat 60 kg dari lantai tujuh ke perahu di bawah,'' kata Thamrin. Jika kamar nakhoda terkunci, perompak mengambil jalan pintas dengan minta uang langsung dari nakhoda. Namun, tak semua uang di dompet nakhoda dibawa. ''Kalau uang di dompet 200 dolar, perompak Indonesia hanya ambil 150 dolar,'' kisah Joni Rasmanto, yang kini meringkuk di dalam tahanan Angkatan Laut dengan tuduhan menyediakan peralatan perahu motor untuk merompak. ''Tidak seperti perompak Thailand yang sadistis.'' Anehnya, Joni mengaku tak pernah merompak, tapi teman-temannya sering merompak di Selat Philips. Aksi perompak hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit. Lewat dari waktu itu, berhasil atau tidak, perompak segera turun ke perahu pancung. Namun, biasanya, selalu saja ada hasilnya, entah sekadar untuk menutup biaya bensin motor tempel sekitar Rp 40.000. Umumnya nakhoda tak mau ambil risiko. Jadi, jika berhadapan dengan perompak yang mengacungkan golok sambil minta ''money, money, money,'' nakhoda tak keberatan merogoh dompetnya. Yang penting, dia selamat dan tak terjadi perkelahian di atas kapal yang bisa saja membawa korban. Jika gagal merampok satu kapal, perompak tak langsung menyerah. Mereka menjauh sedikit dari Selat Philips sambil menunggu kapal lain masuk. Begitu ada lagi kapal yang masuk selat, perahu pancung dipacu, dan operasi dilaksanakan kembali. ''Biasanya kalau sudah tiga kapal, mereka pasti dapat uang. Kalau belum capek, masih menunggu kapal lain lagi. Kalau sudah capek, yah, langsung pulang,'' tutur Joni. Ada beberapa peraturan tak tertulis yang dipatuhi para perompak di Kepulauan Riau. Peraturan pertama, tidak boleh mencelakakan orang di kapal. Konon, jika seorang perompak melukai orang di kapal, ia akan mendapat kecelakaan. Di atas kapal, jika ada anak kapal yang memergoki -- dan karena anak kapal itu sendirian -- biasanya ia hanya berteriak mengusir perompak. Itu saja sudah membuat perompak akan segera turun kembali ke perahu. Menghindari perkelahian adalah prinsip yang dipegang teguh perompak di Kepulauan Riau. Peraturan kedua adalah tidak boleh merompak kapal berbendera Indonesia. Tentu saja ada kemungkinan kapal berbendera asing yang punya anak kapal warga negara Indonesia. Itu tak jadi hambatan, tapi dijamin anak kapal orang Indonesia itu tidak akan dijamah. ''Bahkan, kalau di laci nakhoda ada uang rupiah dan rokok Gudang Garam, perompak Indonesia langsung saja turun dan menunggu kapal lain,'' kata Joni. Benar atau tidak, sulit dicek. Penghasilan para perompak tidak terlalu besar. Iwan Maryono, seorang perompak yang sekarang sudah meringkuk di tahanan Pangkalan TNI AL Tanjungpinang, menyebutkan pendapatan terbesarnya hanya sekitar Rp 600.000. Itu adalah hasil dari merompak dua kapal pada bulan November 1992. Yono dan kelompoknya gagal menggarap kapal pertama karena semua pintu terkunci. Baru ketika naik ke kapal kedua, seingatnya kapal Nassau, mereka berhasil menemukan uang di laci nakhoda. Iwan Maryono, yang sering dipanggil Yono, tak tahu pasti jumlah uang di laci itu karena hasil rompakan diurus oleh pemimpin kelompok. Sebagai salah seorang pemanjat, ia kebagian Rp 600.000. Pendapatan Yono dari perompakan lainnya tidak sebesar itu. Ada yang hanya Rp 300.000, dan ada juga perompakan yang sama sekali tak membuahkan hasil. ''Hasil perompakan itu hanya uang tambahan. Kalau untuk keperluan saya sehari-hari, dari menyewakan kapal,'' kata Yono. Uang tambahan dari merompak itu antara lain digunakan Yono untuk masuk ke Singapura. Di sana ia mencari kerja apa saja, dan setelah tabungan cukup, ia kembali lagi ke rumahnya di Belakang Padang. ''Masuk Singapura itu perlu uang. Bayar fiskal saja sudah 100 ribu, dan orang Singapura itu sudah seperti orang Indonesia, harus ada uang sogok,'' katanya. Umumnya uang haram seperti hasil rompakan itu tak panjang umurnya. Banyak perompak yang langsung menghamburkan uang hasil merompaknya di lokalisasi pelacuran yang banyak tersebar di Kepulauan Riau. Juga untuk bermabuk-mabukan dan main judi. ''Waktu saya masih jadi perompak, berjuta-juta uang di tangan saya, tapi semuanya habis untuk foya-foya,'' kata Thamrin. Foya-foya itu juga sekaligus sebagai pengumuman bahwa kelompok yang bersangkutan berhasil menjarah kapal. Dan itu akan menambah prestise kelompok tersebut. Namun, ada juga perompak yang sosial. Hasil merompaknya digunakan untuk kegiatan sosial di daerah permukimannya, misalnya membangun mesjid. Orang itu adalah Syaiful Rozi, perompak dari Pulau Lengkanak yang cukup terkenal. Syaiful sudah divonis dengan hukuman satu tahun sepuluh bulan (lihat Perompak yang Halus dan Ramah). Penghasilan utama perompak umumnya dari pekerjaan menyeberangkan orang antarpulau atau sebagai nelayan. Banyak perompak yang memiliki perahu yang, kalau sedang tidak digunakan menjarah kapal, disewakan sebagai angkutan antarpulau maupun menangkap ikan. Karena merompak hanyalah mencari uang tambahan, satu kelompok biasanya hanya turun merompak satu minggu dalam satu bulan, yaitu pada waktu bulan mati. Karena sifatnya pekerjaan sambilan, banyak perompak yang keberatan diajukan ke pengadilan. Apalagi, sejauh ini para awak kapal yang lewat Selat Philips juga tak segera meningkatkan keamanan kapalnya. Padahal gampang sekali mencegah perompakan itu. ''Kalau saja ada anjing-anjingan atau orang-orangan di pinggir kapal, perompak sudah tak berani naik. Mereka takut kalau itu anjing atau orang benaran,'' kata Joni. Soalnya, memang niat perompak semata-mata mengambil uang tanpa perlu melakukan tindak kekerasan. Jadi, di mata perompak ada kesan bahwa kapal-kapal yang lewat itu memang tak keberatan membayar upeti. Apalagi sebelum Operasi Kikis Baja dilancarkan, pihak Angkatan Laut sudah kenal betul modus operandi para perompak, tetapi tidak mengambil tindakan yang serius. ''Mereka sudah tahu, tapi pura-pura tidak tahu,'' kata seorang perompak yang tidak mau disebut namanya. Makanya, bagi para perompak, operasi penangkapan mereka hanya basa-basi. ''Kalau memang mau mengamankan selat, perompak Thailand yang harus ditangkap. Karena tak bisa menangkap perompak Thailand, mereka menangkap kami,'' kata perompak itu lagi. Perompak Thailand terkenal sadistis dan tak segan-segan melukai anak kapal maupun memerkosa wanita yang ada di atas kapal. Bahkan perompak Thailand, yang menggunakan topeng penutup muka, selalu membawa senjata api tiap merompak. ''Dan mereka sering merompak di daerah perairan Indonesia.'' Perompak tadi punya bukti. ''Setelah kami ditangkap semua, pada bulan Desember ada perompakan oleh orang Thailand. Saya dengar kapal Sea Trader habis dikuras,'' katanya. Sialnya, menurut perompak itu, karena TNI AL terlalu bersemangat dengan keberhasilan operasinya, dunia internasional justru jadi lebih mengenal perompak Indonesia -- yang sebenarnya masih punya kode etik -- dibanding perompak Thailand yang sadistis. ''Karena terlalu diangkat, orang di Singapura dan London jadi lebih kenal perompak Indonesia. Tak ada yang tahu perompak Thailand,'' katanya lagi. Perompak itu mungkin hanya sekadar memprotes. Tapi memang benar bahwa pihak TNI AL juga tidak melihat aksi para perompak di Kepulauan Riau itu sebagai tindak kriminalitas yang serius. ''Mereka sebenarnya tidak terlalu mengganggu karena betul-betul menghindari bentrokan fisik. Kalau ketahuan, pasti mereka lari. Kami melakukan operasi karena suara internasional,'' kata seorang perwira di Pangkalan TNI AL Tanjungpinang. Maksud perwira AL itu adalah sidang International Maritime Organization di London pada bulan April 1992. Dalam sidang itu, antara lain dibicarakan 33 kasus perompakan yang terjadi di kawasan Asia, sebanyak 19 berlangsung di Selat Malaka, dan 14 lainnya di perairan Indonesia. Dua bulan setelah sidang itu, pada bulan Juni 1992, segera dilancarkan Operasi Kikis Baja. Sebenarnya, itu bukan operasi khusus yang pertama untuk mengamankan perompak laut di Kepulauan Riau. Tahun 1991, misalnya, berlangsung operasi gabungan antara TNI AL dan Kepolisian RI. Hasilnya, 32 perompak diringkus dan setelah penangkapan itu tak ada lagi laporan perompakan. Namun, tahun 1992, sebelum sidang di London, laporan kasus-kasus perompakan yang terjadi di Selat Philips mulai masuk lagi ke Police Marine Singapura. Maka, pihak TNI AL kembali melancarkan operasi pemberantasan perompak. Tak benar pula jika TNI AL lalu menganggap sepi ulah para perompak. Sampai saat ini, walau keamanan di perairan sekitar Selat Malaka sudah lebih baik, tetap saja ada patroli terkoordinasi antara pihak Singapura dan Indonesia. Patroli yang dilakukan secara berkala itu bergerak di Selat Philips dan Selat Singapura. Kalau tak banyak hasilnya, itu karena memang tak mudah membekuk para perompak. Tidak mungkin menangkap basah perompak yang sedang beroperasi. ''Menangkap perompak ini susah, dari mana bisa tahu bahwa dia merompak walaupun kapal kami lewat di samping kapal mereka. Banyak yang pura-pura mancing, padahal mereka sedang menunggu,'' kata perwira AL itu. Apalagi peralatan yang mereka bawa, yaitu potongan papan dan parang, adalah peralatan yang biasa dibawa para nelayan. Itu sebabnya, untuk meringkus para perompak, dibutuhkan operasi intelijen di darat. Dan memang, hampir semua perompak ditangkap saat sedang berada di darat. Tak ada yang ditangkap ketika sedang beroperasi maupun yang sedang berada di atas perahu pancung sekalipun. Hal ini pula, agaknya, yang membuat operasi tak mampu menangkap perompak Thailand walaupun selama ini tak ada laporan resmi telah terjadi perompakan oleh orang-orang Thailand di wilayah Indonesia. Jika ingin mengamankan perompak Thailand, tentu dibutuhkan pula operasi intelijen di kawasan yang disinyalir jadi markas para perompak. Dan itu jelas bukan wewenang TNI AL. Joni Rosmanto, misalnya, ditangkap pada bulan Juni 1992 ketika sedang pulang ke kampungnya di Sabang, Pulau Weh. Malam itu ia bersama istri dan anaknya sedang berjalan-jalan mencari makan malam. ''Tiba-tiba datang dua orang berpakaian preman yang langsung membawa saya pergi,'' ujar Joni. Rupanya, ia dibawa ke Pangkalan TNI AL di Tanjungpinang. Di sana ia dipaksa mengaku telah membantu perompak yang memang teman-temannya juga. Joni, yang tamatan Pendidikan Perwira Pelayaran Besar (P3B) di Semarang, bekerja di kapal. Dari penghasilan di kapal sebesar $S 4.500 tiap bulan, ia menabung dan membeli dua perahu motor. Ternyata, menurut pihak TNI AL, salah satu perahu motor miliknya digunakan untuk merompak. ''Teman-teman saya minta dicarikan perahu motor dan saya pinjamkan. Saya dikasih uang Rp 100 ribu, ya sudah. Soal lain bukan urusan saya,'' begitu pengakuan Joni. Pinjam-meminjam perahu motor itu, menurut Joni, wajar saja karena bisa saja teman-temannya menggunakan perahunya untuk menyeberangkan orang ke pulau-pulau lain. Perompak lain, Iwan Maryono, malah ditangkap ketika sedang berada di Singapura oleh intelijen Singapura. Dari sana ia dikirim naik feri ke Pulau Batam. Anehnya, di Batam, tak ada petugas yang menunggu kedatangannya sehingga ia tenang saja pulang ke rumahnya di Pulau Belakang Padang. Di Belakang Padang, tetap saja tidak ada petugas yang mencarinya, sampai ia menyerahkan diri atas anjuran orang tuanya. Selama ditahan di Pangkalan TNI AL Tanjungpinang, ia mengaku memang pernah ikut merompak dua kali. ''Saya ikut merompak karena kepepet. Kalau mau kaya, bukan merompak caranya,'' tuturnya. Sialnya, Yono sempat ditahan delapan bulan tanpa alasan jelas sebelum diajukan ke pengadilan. Ia sempat berencana mengajukan tuntutan pada pihak TNI AL, tapi pengacaranya waktu itu, Marie Titiek P. Angesti, menolak gagasan praperadilan itu. Tak mudah memproses para perompak. Dalam setiap perompakan, selalu tidak ada saksi yang bisa dimintai keterangan. Bahkan, para korban yang dirugikan juga tidak bisa dihadirkan untuk membuktikan tindakan perompak yang bersangkutan. Hal ini yang membuat proses peradilan atas perompak jadi terkatung-katung. Paling-paling yang bisa dibawa dalam pemeriksaan terbatas pada barang bukti berupa perahu dan motor tempel saja, dan ini sebenarnya bukan barang bukti yang kuat karena banyak penduduk di Kepulauan Riau yang punya perahu dan motor tempel. Sering sekali berkas pemeriksaan dari jaksa ditolak oleh pihak pengadilan karena tak ada saksi dan barang bukti yang kuat. Jadi, yang paling mungkin adalah menarik pengakuan dari perompak yang bersangkutan. Yono, misalnya, mengatakan dipaksa mengakui tindakan yang tak pernah ia lakukan. ''AL maunya kami melakukan tindak kekerasan, padahal tidak pernah,'' kata Yono. Bahkan, nama kapal yang ia rompak diganti dari Nassau jadi Porto Kortes. Adapun pasal hukum yang digunakan untuk menjaring para perompak adalah pasal di KUHP yang mengatur pembajakan di perairan Indonesia. Namun, dalam pasal itu dengan jelas disebut adanya unsur kekerasan, yang tak pernah diakui oleh para perompak. Dan walaupun KUHAP mensyaratkan adanya saksi untuk membuktikan telah terjadi tindak kekerasan, pasal itu tetap berlaku untuk perompakan. ''Yang penting perbuatan itu ada, dan pasal yang didakwakan mendukung,'' kata Hakim K. Sormin, yang mengadili La Hasmi. Lagi pula, kata Sormin, tindakan perompak itu tergolong cukup berat karena dianggap mencemarkan nama baik bangsa dan pemerintah Indonesia. Dan, yang memberatkan lagi, tindakan itu dianggap merupakan mata pencarian karena dilakukan berkali- kali. Satu-satunya yang meringankan perompak adalah hampir semua perompak mengakui perbuatannya. Dengan pendekatan itu K. Sormin berhasil mengganjar La Hasmi, Abdul Rachman, Amir Faizal, dan Hasani dengan hukuman tiga tahun penjara. Karena lemahnya proses peradilan itu, empat perompak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, sedangkan Hasani pasrah saja menjalani sisa tahanannya. ''Saya hanya ikut satu kali, tapi kena tiga tahun juga. Saya menyesal,'' katanya. Padahal, waktu ditangkap ia sudah bertobat dan bekerja di kapal berbendera Singapura. Liston P. Siregar, Diah Purnomowati, Affan Bey Hutasuhut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus