Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nenek moyang sudah perompak

Perompakan di sekitar perairan kepulauan riau adalah kisah lama. bahkan, berabad-abad yang lalu, sejak abad ke-5. kasus di selat philips itu hanya dibesar-besarkan?

28 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perompak atau lanun tradisional yang beroperasi di Kepulauan Riau mungkin salah satu perompak yang tertua. Catatan seorang pengelana Cina, Fa-Hsien, menyebutkan bahwa pada tahun 41 Masehi Selat Malaka sudah diracuni oleh bajak laut. Siapa saja yang berjumpa dengan kelompok ini dipastikan akan mati. Perompak Sulu, menurut R. Hamzah Yunus, tercatat beroperasi pada abad ke-18. Yunus adalah ketua yayasan kebudayaan Indra Sakti yang bergerak dalam pemberian informasi mengenai sejarah dan kebudayaan Melayu. Yayasan ini punya sekitar 400 buah buku, di antaranya buku mengenai bajak laut seperti Prince of Pirates dan The Zulu Zone. Catatan mengenai aksi bajak laut ditegaskan pula oleh seorang kelana Cina lain bernama Wan Tay. Tay menulis, bila para pelaut sampai di Chi-li-man -- sekarang Pulau Karimun di Kepulauan Riau -- mereka terpaksa mengenakan perisai dari kulit yang dilapisi kapas untuk melindungi diri dari anak panah. Tindakan pengamanan ini diambil karena di daerah itu ada 200 sampai 300 perahu bajak laut yang sering muncul dan menyerang mereka selama beberapa hari. Kalau sedang apes, anak buah kapal dibunuh dan dagangan diambil. Sejak abad pertama Masehi, Selata Malaka memang merupakan daerah yang strategis untuk lalu lintas perdagangan Indonesia dengan Cina, India, maupun Arab. Menurut R. Hamzah Yunus, perompak di abad-abad silam terbagi dalam tiga ketegori, yaitu perompak tulen, kerahan, dan profesional. Lanun tulen punya latar belakang kriminal, misalnya pelarian politik yang ingin mencari keuntungan. Yang kerahan adalah rakyat biasa yang melakukan pembajakan atas perintah kepala pemerintahan tradisional (raja atau tumenggung). Lanun jenis yang terakhir adalah prajurit bayaran yang disewa raja khusus untuk menentang lawannya. Para lanun ini beroperasi menggunakan perahu khusus untuk berperang. Biasanya, modelnya panjang, ramping, dan ceper seperti jenis lancang atau jalur agar memudahkan masuk ke anak sungai yang dangkal. Perahu dengan satu atau dua layar ini dikayuh oleh 20-30 orang budak. Selain itu, perahu juga dimuati 30 prajurit yang bersenjatakan keris kelewang, tombak, dan beberapa senjata api. Biasanya, perahu perang ini dipersenjatai beberapa meriam. Ekspedisi pembajakan ini memerlukan modal besar karena sekali turun bisa mengerahkan lima sampai tujuh perahu. Semua perahu itu harus dilengkapi dengan perbekalan untuk beberapa bulan. Karena besarnya biaya yang dibutuhkan, hanya raja atau kaum bangsawan yang bisa menggerakkan ekspedisi. Menurut R. Hamzah Yunus, perompak waktu itu memang sengaja diorganisasi untuk kepentingan raja atau bangsawan di Kepulauan Riau. Soalnya, tahun 1819, pemerintah Inggris membuka pelabuhan di Singaprua. Rupanya, pembukaan pelabuhan dianggap saingan bandar tradisional di Kepulauan Riau, yaitu pelabuhan Riau dan Kuala Daik. Raja dan kaum bangsawan Riau marah, lalu lintas perdagangan ke Singapura pun diganggu oleh ulah para perompak, sedangkan perdagangan ke pelabuhan tradisional Riau aman-aman saja. Pemerintah Inggris curiga melihat gejala itu, dan yakin Sri Sultan Riau sengaja mengontrol pembajakan di wilayahnya untuk mengacau perdagangan di Singapura. Karena gagal membujuk Belanda, yang menjadi pelindung Sri Sultan Riau, untuk menekan Sri Sultan Riau agar membasmi perompakan, pada tahun 1836 pemerintah Inggris segera turun tangan langsung. Sebuah ekspedisi Inggris dengan menggunakan Andromache yang dikomandoi oleh Residen Bonham dari Singapura berlayar ke Riau. Mereka membumihanguskan pangkalan-pangkalan perompak di Galang, Bakung, dan Moro-Suli. Setelah serangan itu, baru terjadi perundingan antara Inggris, Belanda, dan Sri Sultan Riau. Inggris setuju membayar sejumlah uang setiap tahun sebagai biaya Sri Sultan Riau menangani masalah lanun di daerahnya. Sultan lalu memerintahkan kepala- kepala rantau menghentikan kegiatan rompak dan dengan uang pemberian dari Inggris itu masyarakat mendapat pekerjaan lain. Sejak saat itu, keluhan para pedagang yang ke Singapura berkurang. Perompakan memang masih terjadi, tapi dilakukan oleh perompak tulen yang tidak terorganisasi. Masalah politik juga berpengaruh terhadap kegiatan perompakan. Ini terjadi ketika Kerajaan Riau kalah dalam perang dengan Belanda pada tahun 1782-1784. Belanda segera menempatkan serdadunya di Riau. Untuk mengusir kekuatan Belanda itu, Sri Sultan Riau memanggil sepasukan lanun dari daerah yang sekarang jadi Kalimantan Utara. Pada tahun 1787, sepasukan bajak laut yang besar menyerang kedudukan serdadu dan residen Belanda di benteng Tanjungpinang. Walau seluruh garnisun Belanda dapat dihancurkan, Sultan Riau terpaksa menghindar dari perang terbuka dengan memindahkan pusat pemerintahan ke Daik-Lingga. Rakyat juga terpencar ke Bulang, Pahang, Trengganu, dan tempat-tempat lain. Akibat sarana kehidupan belum maju, aktivitas perompakan lalu muncul di mana-mana. Mulai dari perairan Malaka hingga ke Bangka, Belitung, bahkan sampai ke pantai utara Pulau Jawa yang dilakukan oleh perompak dari Lingga dan Singkep. Para perompak ini tidak pernah mengganggu lalu lintas perdagangan ke tempat kedudukan Sri Sultan Riau, tapi semua kapal yang tak berurusan dengan Sri Sultan Riau habis diserang. Belanda akhirnya kewalahan, dan kemudian mengadakan perdamaian dengan kerajaan Riau. Mereka mengizinkan Yang Dipertuan Muda Riau (Raja Ali Marhum Pulau Bayan) untuk kembali ke Riau. Sejak saat itu kemakmuran negeri berangsur-angsur pulih. Kegiatan perompakan di perairan Riau pun surut dengan pesat. Peranan perompak kerahan atau profesional mulai menyurut ketika pemakaian kapal api makin banyak. Soalnya, dengan modal perahu yang didayung, mereka tidak bisa mengejar kapal yang akan dibajak. Sebaliknya, justru para perompak yang mulai diburu. Kelompok perompak yang tetap hidup adalah perompak tulen yang sekadar mencari makan di laut. Sampai awal abad XX, mereka masih mengganggu perdagangan laut. Kasus-kasus itu tercatat dalam Kontrak Perjanjian antara residen Belanda dan Sultan Riau-Lingga tanggal 18 Mei 1905. Dalam pasal 22 kontrak ini dikatakan agar pemerintah kerajaan melarang pekerjaan perompak. Bila terdapat seorang perompak, hendaklah diserahkan pada Tuan Residen. Yang terjadi sekarang adalah perompakan tulen yang berunsur kriminal. Mereka umumnya adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan tetap yang memanfaatkan situasi dan kondisi temporal dalam operasinya. Perompak kambuhan seperti itu ada di mana saja dan kapan saja bila situasinya memungkinkan. ''Sekarang ini berita tentang perompakan kapal di Selat Philips dan Selat Malaka mendapat publisitas yang berlebihan, padahal kegiatannya hanya seujung jari,'' kata R. Hamzah Yunus, bekas pegawai Dinas Kebudayaan Riau. Diah Purnomowati (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus