Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akademikus: Penundaan Pemilu Penyimpangan Konstitusi

Akademikus menilai wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 telah digiring ke ranah diskusi teknis. Menyalahi semangat reformasi.  

28 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo saat diambil sumpah jabatannya dalam acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2019. Joko Widodo dan Ma'ruf Amin resmi menjabat Presiden dan Wakil Presiden masa jabatan 2019-2024. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pakar hukum menilai usul penundaan pemilu merupakan penyimpangan konstitusi.

  • Tidak ada urgensi menunda pemilu.

  • Perubahan kembali konstitusi dapat menghilangkan kepercayaan publik pada institusi negara.

JAKARTA - Sejumlah pakar hukum menilai penundaan Pemilu 2024 merupakan penyimpangan konstitusi. Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitra Arsil, mengatakan pemilihan umum, juga pemilihan presiden, merupakan komitmen bangsa untuk bergulir lima tahunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Penyimpangan seperti ini jangan dianggap ringan dan ditanggapi lewat diskusi teknis," kata Fitra kepala Tempo, kemarin. "Sehingga kita lupa bahwa usulan ini merusak pikiran bangsa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga partai politik secara terbuka mendukung perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo lewat penundaan pemilu dan pemilihan presiden 2024. Pernyataan politik itu disampaikan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Dalihnya macam-macam, dari soal perbaikan ekonomi hingga klaim tingginya angka kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi.

Menurut Fitra Arsil, sejak pertama diomongkan oleh Muhaimin Iskandar pada pekan lalu, ide perpanjangan masa jabatan presiden bergerak ke ranah diskusi teknis. Seperti dalam surat terbuka yang dibuat mantan menteri hukum yang juga pengacara kondang, Yusril Ihza Mahendra, rencana itu bisa terwujud di antaranya lewat perubahan konstitusi dan deklarasi negara dalam keadaan darurat. Pembahasan kemungkinan terlaksananya wacana tersebut bergulir tanpa ada pembahasan alasan perpanjangan masa jabatan presiden dan DPR.

Fitra Arsil meminta para elite politik kembali mengingat semangat reformasi 1998. Satu agenda utamanya adalah mengubah aturan masa jabatan presiden agar terbebas dari keinginan untuk terus terpilih kembali atau possibility of re-election, setelah Presiden Soeharto terpilih hingga enam kali. PAN dan PKB lahir di awal era pembaruan politik Indonesia tersebut.

Suasana sidang uji materi Pasal 222 UU Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 17 Januari 2022. ANTARA/Hafidz Mubarak A

"Tidak adanya pembatasan masa jabatan merupakan satu problem utama mengapa kita terjerumus ke otoritarianisme," kata dia. "Maka, Pasal 7 UUD 1945 mengatur hal tersebut dalam kesempatan pertama." Menurut dia, perubahan kembali konstitusi sebagai hukum tertinggi akan menimbulkan instabilitas dan krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan tidak ada kegentingan untuk memperpanjang masa jabatan presiden dan DPR. "Alasan yang diungkapkan delusional," kata dia.

Bivitri mencontohkan lemahnya dalih Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar yang didasari perhitungan ekonomi. Sebab, di tengah kesulitan keuangan saat ini, pemerintah terus melanjutkan mimpi pembangunan ibu kota baru yang membutuhkan hampir Rp 500 triliun. "Sekarang harus memperpanjang masa jabatan presiden dengan alasan penghematan," ujar Bivitri. "Itu kan tak masuk akal."

Dengan kekuatan politik yang besar, dia melanjutkan, pemerintah bisa tetap memaksakan rencana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 sepanjang Majelis Permusyawaratan Rakyat mau memprosesnya. "Dengan koalisi seperti ini, bisa saja, meski seharusnya sama sekali tidak perlu dilakukan."

Menurut Bivitri, politik bukan cuma soal negosiasi dan pendistribusian kekuasaan, tapi juga etika. "Sama sekali tidak ada etika politik di kalangan politikus kita sekarang," katanya.

IMAM HAMDI | EGI ADYATAMA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus