Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gelora Literasi dari Perpustakaan Pribadi

Sejumlah orang berbagi ilmu dan pengetahuan dengan membuka perpustakaan pribadi untuk publik.

17 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengunjung membaca buku di OMAH Library, Meruya, Tangerang, Banten, 14 September 2023. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah perpustakaan milik pribadi kini dibuka untuk publik.

  • Arsitektur menawan dan desain interior yang nyaman menjadi daya pikat perpustakaan milik pribadi.

  • Koleksi buku yang lebih spesifik membuat pembaca mendapat alternatif bacaan.

Duduk bersila di atas karpet berkelir putih abu-abu, Hana Kamila tampak khusyuk membaca novel berjudul Migrations karya Charlotte McConaghy di sudut ruangan perpustakaan Foreword Library, Jakarta Selatan, Kamis lalu. Sesekali Hana menutup buku bergambar sampul ombak laut dan kawanan burung laut itu untuk meneguk air putih dari botol minumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan berusia 21 tahun itu memang suka membaca buku bertema fiksi. “Terutama yang berbahasa Inggris, ya,” kata Hana kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi dia, bukan perkara mudah mencari perpustakaan atau tempat baca yang menyediakan buku bertema fiksi dan fantasi berbahasa Inggris. Paling mudah, ia harus membeli sendiri buku yang ia maksudkan dan tentu harganya tidak murah. 

Beruntung, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu bisa menemukan Foreword Library, perpustakaan milik perorangan yang memiliki cukup banyak koleksi buku fiksi berbahasa Inggris. Selain koleksi buku ciamik, suasana Foreword Library sangat nyaman dengan tema desain interior khas anak muda. 

“Nyaman banget. Meski ramai pengunjung, suasananya tetap sepi. Tenang sekali untuk baca.”

Perpustakaan itu berada di Jalan Cilandak Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 300-400 meter dari kompleks permakaman Jeruk Purut. Dari luar, bangunan perpustakaan ini tampak seperti bangunan minimalis modern berlantai dua. 

Adapun ruangan perpustakaan Foreword terbagi menjadi dua kamar, yakni General Reading Room dan Kids Reading Room. Sesuai dengan namanya, General Reading Room menyediakan koleksi buku untuk usia dewasa. Adapun Kids Reading Room menyimpan koleksi buku untuk anak dan remaja yang didominasi buku fiksi petualangan dan fantasi, seperti seri buku Percy Jackson and the Olympians. 

Pendiri Foreword Library, Nihlah Assegaf di Cilandak, Pasar Minggu, Jakarta, 14 September 2023. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Interior kedua kamar itu memang memukau. Untuk ruang baca dewasa berukuran sekitar 5 x 10 meter. Adapun ruang baca anak dan remaja lebih luas, sekitar 7 x 10 meter. General Reading Room memiliki beberapa rak buku yang kebanyakan berkelir putih dengan beberapa sofa, kursi kayu, dan karpet untuk pembaca duduk. 

Sementara itu, di ruangan Kids Reading Room, penataannya lebih ceria lagi. Selain menyediakan sofa, pengelola memberikan sejumlah bean bag dan karpet untuk pengunjung menikmati buku. 

Hana sudah sebulan ini menjadi anggota perpustakaan Foreword. Setidaknya ia sudah meminjam tiga novel untuk dibaca di rumah. “Senang ya bisa membawa pulang buku-buku yang susah dicari dan mahal harganya,” kata dia. 

Foreword Library sejatinya baru buka untuk publik pada Juni lalu. Perpustakaan cantik ini diinisiasi oleh dua bersaudara, Nihlah Assegaf dan Nishrin Assegaf. Keduanya masih sangat belia. Nihlah berusia 17 tahun dan Nishrin 21 tahun. 

Bagi mereka, membuka perpustakaan pribadi untuk umum merupakan sebuah mimpi. Keduanya memang punya hobi membaca buku sejak bangku taman kanak-kanak. Sejak saat itu pula kakak-adik ini mengoleksi buku hingga kini jumlahnya mencapai ratusan buku. 

Singkat kata, membuka perpustakaan merupakan cara terbaik keduanya mengumpulkan dan menata buku-buku mereka yang selama ini sempat tercecer di beberapa tempat. Adapun untuk penataan interior perpustakaan, Nihlah dan Nishrin sepakat mengutamakan kenyamanan.

“Kami ingin bikin nyaman seperti di rumah. Karena itu, kami bawa banyak furnitur dari rumah kami untuk ditaruh di sini. Biar nyaman,” tutur Nihlah. 

Perempuan yang masih duduk di bangku kelas XII di salah satu SMA swasta di Jakarta itu menerapkan aturan lebih longgar untuk pengunjung Foreword. Ia memperbolehkan pengunjung membawa minum saat membaca di perpustakaan. Menurut dia, membaca sambil bebas minum merupakan hal yang menyenangkan. 

“Karena itu, saya sengaja membawa sofa kesayangan yang ada cup holder-nya ke sini,” kata Nihlah. 

Sementara itu, Nishrin mengaku tak percaya perpustakaannya bisa semakin diterima oleh pembaca. Menurut catatannya, saat ini Foreword Library punya hampir 200 anggota berlangganan. Kebahagiaan lain, saat ia melihat pengunjung memamerkan buku dan perpustakaan Foreword ke media sosial

Nishrin mengatakan, sampai saat ini, koleksi buku di perpustakaannya mencapai 700 buku. Sebagian besar merupakan koleksinya dan adiknya yang sebanyak 500 buah. Sementara itu, sisanya merupakan donasi dari keluarga besar, kawan, hingga anggota perpustakaannya. 

Perempuan yang sedang menempuh pendidikan di University of Melbourne, Australia, itu sempat dilema mengizinkan anggota perpustakaan meminjam buku koleksinya. Di satu sisi, ia sangat senang jika bisa meminjam buku baru dari kawan atau perpustakaan. Namun, di sisi lain, ia khawatir ada orang yang tidak bertanggung jawab saat meminjam buku hingga hilang atau rusak. 

“Ternyata banyak sekali anggota kami yang bertanggung jawab dengan mengembalikan buku, bahkan ikut berdonasi,” kata Nishrin melalui sambungan telepon. 

Nishrin pun berharap semakin banyak orang bisa menikmati koleksi buku di Foreword Library. Ia yakin kekuatan media sosial dan informasi mulut ke mulut menjadi kolaborasi yang bagus untuk mempopulerkan Foreword Library. 

“Ke depan, kami harap bisa melengkapi koleksi buku dalam bahasa Indonesia agar semakin menarik,” kata Nishrin. 

Pendiri OMAH Library, Realrich Sjarief di Meruya, Tangerang, Banten, 14 September 2023. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Sekitar 20 kilometer ke arah barat laut dari Foreword Library, terdapat perpustakaan pribadi lain yang dibuka untuk umum. Perpustakaan tersebut bernama OMAH Library, yang beralamat di Taman Vila Meruya, Kecamatan Kembangan, Kota Tangerang. OMAH, yang merupakan singkatan dari On Meeting Architecture Hub, adalah perpustakaan milik seorang arsitek, pengajar, dan penulis Realrich Sjarief. 

Bangunan perpustakaan tersebut menjadi satu dengan kantor arsitektur dan penerbitan buku, juga rumah tinggal Realrich. OMAH Library menyuguhkan gaya arsitektur yang menawan. Betapa tidak, salah satu ruang utama penyimpanan buku dibuat dengan lantai kaca. Ruangan yang memiliki luas sekitar 7 x 10 meter itu seperti dikelilingi rak buku dengan sejumlah sofa di bagian tengah. 

Uniknya, dari ruangan tengah berlantai kaca itu, pengunjung bisa menengok lantai bawah yang dipenuhi sofa lain. Ruangan tersebut menjadi ruang baca yang indah dengan pencahayaan yang pas dan udara sejuk dari penyejuk udara. Masih di lantai bawah, Realrich menempelkan ribuan potongan kertas berisi testimoni pengunjung. Potongan kertas tersebut justru menjadi hiasan yang unik. 

Karena keelokan bangunannya, tak mengherankan OMAH Library menjadi target kunjungan anak muda. Selain koleksi buku yang menarik, keunikan bangunan menjadi daya tarik obyek swafoto untuk diunggah di media sosial. Uniknya, Realrich menegaskan, sejak awal tak ada niatan dirinya sengaja menjadikan OMAH Library sebagai perpustakaan khusus yang menyajikan keindahan arsitektur. 

“Karena bangunan ini awalnya memang untuk kami pakai sendiri, keluarga saya, dan tim kerja saya,” kata pria yang biasa disapa Rich itu, Kamis lalu. 

Lagi pula, OMAH Library sejatinya sudah cukup lama berdiri, tepatnya sejak 2015. Saat itu, ia membuat ruangan kecil berukuran 6 x 2,5 meter di kediaman orang tuanya di Permata Buana, Kembangan Utara, Jakarta Barat. Selain dijadikan tempat menyimpan koleksi buku, ruangan mungil itu disulap menjadi ruang temu dengan kawan dan mahasiswanya. “Ruangan kecil itu bisa didatangi 50 orang kalau Sabtu dan Minggu,” kata dia. 

Setahun kemudian, Rich pindah ke rumah pribadinya di Kembangan. Dari kediaman inilah proses kreatif Rich dan tim berkembang, dari kantor arsitektur sampai penerbitan buku. Begitu pula dengan OMAH Library yang mengalami penyegaran secara berkala, baik dari sisi penataan ruang maupun penambahan jumlah koleksi buku. 

Menurut Rich, saat ini OMAH Library memiliki lebih dari 20 ribu buku, yang mayoritas bertema arsitektur. Penambahan jumlah koleksi buku juga didapat dari produksi buku milik Rich. Terhitung setidaknya pada 2019-2020 saja, penerbitan buku miliknya mampu menghasilkan 40 buku. 

Bicara tentang koleksi buku, Rich mengaku buku-buku miliknya punya nilai yang kompleks. Sebab, mayoritas buku bertema arsitektur itu dibeli dari luar Indonesia. Walhasil, harganya selangit. Ia memberikan contoh, satu buku arsitektur cetakan luar negeri bisa ditebus senilai Rp 5 juta per eksemplar di Indonesia.

Meski begitu, Rich tak sayang jika buku-bukunya yang berharga bisa diakses oleh pengunjung. Menurut dia, keputusan untuk membagikan pengetahuan lewat buku-buku koleksinya kepada orang lain merupakan hal positif dan bisa menjadi ladang berkah. Satu hal yang ia yakini, tak ada ruginya berbagi ilmu dengan orang lain. 

Namun tetap saja ia memberlakukan aturan ketat bagi pengunjung, khususnya menyangkut buku-buku koleksinya yang berharga dan langka. Untuk buku-buku tersebut, pengunjung hanya dibolehkan membacanya di OMAH Library. Pengunjung dibolehkan meminjam buku dengan catatan hanya buku-buku yang dibuat dan dicetak oleh kantor Rich. 

“Buku itu lebih menarik kalau dipakai. Kalau sobek, saya bisa maklum. Yang penting teksnya masih ada, jadi tinggal difotokopi dan ditempel saja. Enggak apa-apa,” kata pria lulusan arsitektur Institut Teknologi Bandung itu. 

Meski koleksi bukunya berfokus pada bidang arsitektur, pengunjung OMAH Library justru lebih banyak dari masyarakat umum ketimbang yang berkecimpung di dunia arsitektur. Pengunjung yang datang pun beragam, dari kalangan mahasiswa, karyawan, ibu rumah tangga, hingga artis.

Rich pun heran banyak pengunjung yang datang ke OMAH Library karena konten di media sosial TikTok. Sebab, OMAH Library tak punya akun Tiktok. “Kalau orang awam yang datang ke sini jadi suka dengan arsitektur, tentu saya senang juga, ya,” ujar Rich. 

Pengunjung diwajibkan melakukan reservasi melalui tautan yang tersedia di akun Instagram OMAH Library. Musababnya, Rich memang memberlakukan pembatasan jumlah pengunjung saban hari. Selain itu, Rich mempersilakan pengunjung memasukkan donasi untuk OMAH Library. Menurut dia, sistem donasi ini akan menciptakan ekosistem saling memberi dan menerima yang baik untuk perpustakaannya. 

Kembali ke Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan Tebet Barat Dalam Raya, Tebet, terdapat satu perpustakaan milik pribadi yang juga dibuka untuk umum. Perpustakaan itu bernama Baca Di Tebet. Perpustakaan yang menjadi satu bangunan dengan restoran Makan Di Tebet itu merupakan hasil kolaborasi dua pegiat literasi, Wien Muldian dan Kanti W. Janis

Perpustakaan yang berada di lantai dua itu menyuguhkan kenyamanan luar biasa layaknya di rumah. Meja, kursi, dan ornamen yang mayoritas terbuat dari kayu membuat suasana perpustakaan lebih tenteram dan rileks. 

Pendiri perpustakaan Baca Di Tebet, Kanti W Janis di Jakarta, 15 September 2023. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Wien dan Kanti mengatakan keinginan mewujudkan sebuah perpustakaan untuk umum sudah bergejolak di benak keduanya sejak 2018. Keinginan itu muncul sebagai respons atas masih minimnya perpustakaan yang bisa dijadikan titik temu orang yang tertarik membaca buku. 

Barulah niat itu semakin bulat saat masyarakat Indonesia terpukul hebat oleh pandemi Covid-19. Kanti ingat betul saat itu ia, bahkan kebanyakan orang, merasa takut hingga pasrah atas risiko kematian yang diakibatkan jangkitan penyakit yang bermula dari Wuhan, Cina, itu. 

“Kebetulan bangunan ini milik keluarga saya. Saat itu penyewa tidak kuat (melanjutkan sewa) karena kondisi berat pandemi. Akhirnya, saya ambil alih sendiri dan buka pada 20 Februari 2020,” kata Kanti. 

Singkat cerita, Kanti yang menyediakan bangunan perpustakaan, sedangkan Wien menyiapkan ribuan buku. Beruntung, masih banyak orang yang membantu niat baik pembukaan perpustakaan dengan mendonasikan ribuan buku, uang, hingga benda yang bisa digunakan untuk keperluan Baca Di Tebet. 

Keduanya sepakat mengangkat tema unik, yakni bersatu dengan restoran. Walhasil, pengunjung diperbolehkan membeli makanan dan minuman sembari menikmati buku. Selain itu, keberadaan restoran bisa menjadi penopang kebutuhan operasional perpustakaan.

Beruntung, Baca Di Tebet sejak awal memang dibangun dengan luwes. Maksudnya, perpustakaan ini bukan sekadar tempat membaca buku. Baca Di Tebet bisa disewakan untuk gelaran berbagai acara, dari diskusi, rilis buku, acara musik, hingga lokasi foto pra-pernikahan, juga ruang pertemuan direksi sebuah perusahaan swasta.

“Bahkan ada yang menyewa buat bimbingan tesis,” kata Kanti sambil tertawa. 

Adapun jumlah koleksi buku saat ini mencapai 26 ribu. Menariknya, koleksi buku-buku tersebut mengalami perombakan dalam jangka waktu tertentu. Setidaknya Win mencatat sudah ada 40 ribu perputaran buku dalam daftar koleksi Baca Di Tebet.

Pembaruan koleksi buku, salah satunya, berasal dari donasi kawan-kawan dekat hingga anggota perpustakaan tersebut. “Ada koleksi ayahnya kawan yang meninggal, koleksi saudara atau sahabat yang sudah meninggal juga, kami rawat di sini,” kata Wien. 

Sementara itu, jumlah pengunjung yang datang saban hari ke Baca Di Tebet bisa mencapai puluhan orang. Menurut catatan mereka, mayoritas pengunjung perpustakaan berusia 20-34 tahun. Adapun buku yang paling banyak dicari adalah buku bertema fiksi, seperti novel, hingga buku motivasi pengembangan diri. 

Wien dan Kanti berharap Baca Di Tebet tidak hanya menjadi ruang untuk membaca buku. Mereka berharap perpustakaan ini bisa menjadi wadah bertemunya orang-orang hingga menghasilkan jejaring dan karya baru. Harapan mereka, kata Kanti, “Interaksi bukan cuma sastra, melainkan semua hobi dan minat bisa bertemu di sini menjadi ruang temu buta belajar bareng.”

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus