Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pers dan Pisau Dapur

Pembredelan itu diduga terkait dengan perseteruan politik Malari.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sore itu, 21 Januari 1974, redaktur penyunting harian Indonesia Raya, Soekarya, menerima telepon dari wartawan harian Abadi dan KAMI yang memberitahukan bahwa surat izin cetak (SIC) mereka dicabut. Soekarya pun mengetiknya menjadi berita. Redaktur Kepala Victor Sihite memberi saran agar informasinya dicek dulu ke Pelaksana Khusus (Laksus) Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Daerah, sekaligus untuk "minta keterangan tambahan".

Soekarya berhasil mendapatkan konfirmasi. Tapi informasi tambahan yang didapatkannya di luar dugaan. "Petugas Laksus menambahkan, ia akan menelepon bahwa SIC Indonesia Raya juga dicabut," kata Atmakusumah Astraatmadja, Redaktur Pelaksana Indonesia Raya saat itu, mengenang peristiwa 40 tahun silam, Kamis dua pekan lalu. Sikap "galak" terhadap pemerintah oleh surat kabar yang dipimpin Mochtar Lubis itu membuat Atmakusumah, kini 75 tahun, mengaku tak terlalu terkejut mendengar kabar tersebut. "Kami merasa setiap saat bisa dibredel."

Seperti Abadi dan KAMI, Indonesia Raya adalah surat kabar yang menjadi korban badai politik Malari, yang dianggap sebagai "ekor" dari perseteruan asisten pribadi Soeharto, Ali Moertopo, dan Panglima Kopkamtib Soemitro.

Pembredelan, yang dilakukan dengan cara mencabut SIC oleh Kopkamtib dan surat izin terbit (SIT) oleh Kementerian Penerangan, terjadi setelah peristiwa itu: harian Nusantara pada 16 Januari; harian Suluh Berita di Surabaya 19 Januari; mingguan dari Bandung, Mahasiswa Indonesia, 20 Januari; harian KAMI, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, serta mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia 21 Januari; harian Pedoman serta mingguan Ekspres 24 Januari; dan harian Indonesia Pos di Makassar pada 2 Februari.

Alasan pembredelan, seperti termuat dalam surat kepada Indonesia Raya, adalah surat kabar itu "memuat tulisan yang dapat merusak kewibawaan nasional dan kepercayaan kepemimpinan nasional", "dianggap menghasut rakyat", dan "mengadu domba antara pimpinan".

Menurut Pemimpin Redaksi Mahasiswa Indonesia Rum Aly dalam buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (2004), salah satu alasan pembredelan adalah media memuat foto-foto kerusuhan saat Malari. Dari informasi yang dimilikinya, mingguan Tempo salah satu yang lolos dari pembredelan karena diberi tahu wartawan lain agar tak memuat konten berbahaya itu.

Penanggung Jawab Tempo saat itu, Goenawan Mohamad, mengaku tak mendapat pemberitahuan tersebut. Tempo, yang berumur tiga tahun, menulis kasus Malari dalam sebelas halaman di edisi 26 Januari, dengan sampul depan berjudul "Huru- Hara di Jakarta". Terbit 52 halaman, sama dengan ketebalan edisi sebelum Malari, Tempo tak menulis lebih banyak, kata Goenawan, "Karena enggak ada naskah aja."

Goenawan menilai pembredelan itu terkait dengan perseteruan Ali dan Soemitro. Sejumlah media dianggap dekat ke Soemitro meski tak berarti satu kubu. Menurut Atmakusumah, saat itu sejumlah media sering memberitakan Soemitro mungkin karena dia dianggap lebih dekat dengan mahasiswa.

Selain yang tertulis, tak begitu jelas alasan persis pembredelan. Ada yang menganggap karena sikap kritisnya. Ada juga yang merasa dianggap sekubu dengan Soemitro, pihak yang lebih terpukul dalam perseteruan politik Malari. Tapi media yang disebut penyokong Ali Moertopo juga kena bredel, yaitu Ekspres.

Soal Ekspres, Atmakusumah mengatakan ini mungkin agar terlihat pembredelan itu tak pandang bulu. Kata Goenawan, bisa jadi itu karena aksi saling balas dua kubu. "Tempo tak dibredel mungkin karena tak jelas di pihak mana," ujar Goenawan, 72 tahun, Jumat tiga pekan lalu.

Persatuan Wartawan Indonesia berharap pembredelan itu "bersifat sementara". Kenyataan mengatakan sebaliknya. Media-media itu tak pernah hidup lagi. Pemerintah hanya memberi izin terbit untuk Pelita, sebagai pengganti Abadi, dan Indonesia Times sebagai pengganti Jakarta Times.

Menteri Penerangan Mashuri, saat berbicara di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat awal Februari 1974, mengibaratkan pers dan mahasiswa sebagai pisau dapur. "Selama berfungsi sebagai pisau dapur, tetap dapat dipakai. Tapi, kalau digunakan untuk membunuh, lebih baik disimpan atau dibuang saja," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus