Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daniel Dhakidae
Mantan aktivis Malari UGM, Yogyakarta. Kini Pemimpin Redaksi Prisma, Jakarta.
Ketika nama "Malari" diberikan dan menjadi populer, yang dimaksudkan di sini adalah suatu epitaph-lirik, lagu, atau salam kematian di atas "kuburan gerakan mahasiswa". Dan bukan epiteth, yang memang hendak dilekatkan pada gerakan itu sebagai "pembawa malapetaka", dengan pelesetan kuat ke arah penyakit malaria.
Apa yang terjadi pada 15 Januari 1974 adalah puncak dari seluruh rentetan gerakan mahasiswa yang berawal dari dan disebabkan oleh kematian mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Rene Coenrad, di Bandung pada 1970. Itulah awal yang mengibarkan rentetan protes besar terhadap militer dan Orde Baru, yang sambung-menyambung dengan berbagai gerakan dengan bermacam-ragam isu menuju Januari 1974.
Suatu kilas balik perlu dikemukakan di sini. Sejarah juga seolah-olah menjadi saksi baru bagi pengulangan peristiwa lama dalam suatu koinsidensi aneh. Seperti ratusan tahun penjajahan Belanda yang disusul oleh penjajahan Jepang yang hanya berumur setahun jagung, semuanya seolah-olah diulangi kembali pada 1973 dan awal 1974.
Karl Marx selalu menjadi referensi utama bila seseorang mempersoalkan pengulangan sejarah dengan ucapannya yang termasyhur: kalau sejarah berulang, pengulangannya selalu dalam dua kategori. Pengulangan pertama adalah lelucon dan pengulangan kedua tragedi. Meski demikian, Marx sama sekali tidak mengatakan bahwa "lelucon/farce" sama dengan main-main, karena sesungguhnya yang bermain di sana adalah compulsory repetition (Kojin Karatani, 2012)-pengulangan yang harus terjadi karena berlangsung dalam suatu teater kenegaraan dengan tokoh-tokoh berbeda yang mengambil posisi berbeda pula: lelucon getir.
Pada November 1973, seorang ekonom muda berumur 33 tahun-binaan profesor Belanda, Jan Tinbergen, peraih Nobel Ekonomi 1969-menteri termuda Belanda sejak 1815, Jan Pieter Pronk, mengunjungi Indonesia dalam perannya sebagai menteri kerja sama ekonomi Belanda dari kabinet Den Uyl dari Partai Buruh, Partij van de Arbeid. Ini bukan sekadar kunjungan seorang menteri. Dia mewakili Belanda yang menjadi Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia, sekumpulan negara Barat yang membantu Indonesia membangun kembali ekonominya.
Ketika mendarat di Halim, Pronk diterima utusan Grup Diskusi Universitas Indonesia, yang menjadi tulang punggung kritik ekonomi yang dilancarkan terhadap Orde Baru. Seluruh strategi ekonomi Orde Baru tak hanya dipersoalkan, tapi juga dituntut diganti karena sistem yang mengejar pertumbuhan sudah dinyatakan sebagai strategi gagal dalam menghasilkan kemakmuran berkeadilan sosial. Sistem ekonomi pengejar pertumbuhan selalu mencari mitranya modal dan pemodal asing, yang di ujungnya lebih mementingkan keuntungan daripada kemakmuran di tempat modalnya ditanam.
Contoh terbaik untuk ini adalah proses penjarahan Kalimantan, ketika hutan-hutan tropis mulai dirangsek dan tanah-tanahnya dibagi-bagi kepada "pemilik" hak pengelolaan hutan yang dimiliki kaum pemodal Jakarta. Semua ini menjadi inti kritik mahasiswa pada tahun-tahun itu. Apalagi Koes Plus, kelompok musik pop yang sedang populer, tiba-tiba menjadi "revolusioner" karena lagu-lagunya, antara lain Kolam Susu, menjadi pengilham kritik ekonomi-politik: Orang bilang tanah kita tanah surga/Tongkat kayu dan batu jadi tanaman….
Dalam pandangan mahasiswa, tanah kita bukan lagi "tanah surga", melainkan "tanah neraka", yang baru terbukti, puluhan tahun berselang, ketika pada musim kemarau hutan-hutan tidak lagi menjadi "kolam susu", tapi "lautan api" yang menghasilkan asap penyumbat saluran napas negara tetangga. "Tongkat kayu tidak lagi menjadi tanaman", tapi dolar yang terbang entah ke mana dan "batu tidak lagi menjadi tanaman", tapi bunga bank yang dibawa kabur ke empat penjuru angin di luar tanah tempat berpijak.
Ide mahasiswa tidak berbeda jauh dari paham Pronk. Dia aktivis Nieuw Links, New Left (Kiri Baru versi Belanda) yang menjadi menteri kerja sama pembangunan, Minister voor Ontwikkelingssamenwerking. Ide besarnya adalah bantuan pembangunan harus bertujuan agar negara yang dibantu pada saat tertentu mampu berdiri di atas kakinya sendiri, help for self-help, tanpa pengisapan modal asing-menjadi lelucon karena itulah gema sayup-sayup dari berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, versi Bung Karno, yang dijatuhkan Orde Baru.
Semuanya memikat mahasiswa; sebegitu rupa terpukaunya pada kekirian idenya, kebeliaan, dan keberhasilan Pronk, maka sang menteri dielu-elukan di kampus-kampus penting Indonesia pada masa itu. Dalam serial kunjungan itu, Pronk diundang berdiskusi/berceramah di Universitas Gadjah Mada dalam pertemuan tertutup bagi para profesor dan dosen lain di ruang senat gedung pusat Bulak Sumur.
Dengan bantuan seorang sahabat guru besar, penulis kolom ini menginterupsi pertemuan eksklusif itu untuk membaca memorandum antimodal asing-berbahasa Inggris, atas nama mahasiswa Yogyakarta-di depan Jan Pieter Pronk dan para profesor UGM. Peristiwa itu diterima dengan amarah-mulut berbusa sang rektor, Profesor Doktor Soekadji Ranoewihardjo, yang merasa dipermalukan di depan tamu agung negara.
Dan, persis seperti sejarah bangsa ini, berlangsunglah peristiwa ini dalam urutan sempurna: setelah Belanda, datanglah Jepang. Berita tentang kedatangan Perdana Menteri Kakuei Tanaka dari Partai Liberal Jepang sudah beredar lama. Kedatangan Pronk menjadi persiapan intelektual-akademis yang nyaris sempurna bagi gerakan mahasiswa untuk menyambut kedatangannya.
Tidak ada hubungan istimewa antara Soeharto dan Tanaka kecuali bahwa kalau sekiranya Tanaka dalam sepak terjang politiknya di Jepang diberi gelar shadow shogun, shogun bayangan, pertemuan di Jakarta menjadi "reuni" antara perwira hasil pelatihan militer Jepang di Peta, Jenderal Soeharto, dan sang shogun yang datang untuk membicarakan hubungan dagang/bantuan investasi Jepang di Indonesia.
Sementara di atas sudah dikatakan mahasiswa menolak investasi asing, kini investasi asing mengerucut ke Jepang, yang lantas memusatkan diri pada ujung tombak investasi Jepang dalam industri otomotif. Dalam persiapan menyambut kedatangan Perdana Menteri Tanaka, mobil-mobil Jepang dibakar di jalan-jalan dan iklan Toyota di Wisma Antara, gedung tertinggi pada waktu itu, diturunkan mahasiswa.
Maka terjadilah apa yang harus terjadi pada 15 Januari 1974. Rombongan demonstrasi mahasiswa bergerak menuju Istana yang dijaga ketat. Namun dalam perjalanan pulang, di Pasar Senen, kompleks pertokoan dan pusat belanja terbesar pada 1974, berkobar api dan menjadi sasaran penjarahan dan perampokan. Mahasiswa dituduh membakar untuk makar.
Sebagaimana sudah terjadi, pembakaran Pasar Senen lebih menjadi coup de grâce yang memberi pukulan terakhir pada malapetaka yang sudah disiapkan sebelumnya oleh operasi intelijen dan para hidung belang politik-Pecenongan dan Pasar Baru terbakar lebih dulu. Pada sore hari, Blora jadi sasaran api dan Sudirman jadi sasaran perampokan.
Akibatnya, puluhan bahkan ratusan mahasiswa, wartawan, dosen, dan profesor ditangkap. Belasan surat kabar harian dan mingguan diberangus. Akhirnya pemimpin semua gerakan itu, Hariman Siregar dan Sjahrir dari UI serta Mohammad Aini Chalid dari UGM, ditangkap dan kelak diadili untuk menanggung semua dosa itu. Mahasiswa mati langkah dan harus memikul beban dosa sejarah sepanjang masa.
Malari hanya berjarak 10 tahun dari tahun Orwellian, 1984. Itulah krisis politik pertama dan terbesar Orde Baru setelah peristiwa 1 Oktober 1965. Namun apa yang disebut Malari hanyalah tip of the iceberg, puncak gunung es. Pertikaian-pertikaian berbagai kelompok ekonomi-politik di perut gunung yang disebut Orde Baru digulung satu per satu oleh Soeharto.
Malari "mengajar" Soeharto bagaimana beroperasi sebagai diktator dengan menggusur kekuatan di luar dirinya. Dia berhasil, dan semuanya terlaksana pada tahun Orwellian di sekitar 1984.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo