Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Peradilan yang Penuh Kejanggalan

Banyak saksi menarik keterangan dalam persidangan Hariman Siregar, Sjahrir, dan Aini Chalid karena mengaku dipaksa. Dianggap kelalaian seperti membeli arloji di pinggir jalan.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETENGAH jam berlalu sejak jaksa Ph. Rompas mulai membacakan dakwaan kepada Hariman Siregar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mendadak, ketua majelis hakim B.H. Siburian bertanya kepada terdakwa, "Saudara mengerti tuduhan yang baru saja dibacakan?" Hariman menjawab bahwa dia tak paham dan, karena itu, minta sidang ditunda hingga paling tidak sebulan kemudian. Alasannya, sampai sidang perdana itu digelar pada Kamis pagi, 1 Agustus 1974, ia belum pernah bertemu dengan empat pengacaranya.

"Sewaktu saya ditangkap, istilahnya diamankan, tidak disebut-sebut untuk dibawa ke pengadilan," Hariman bercerita tentang situasi itu pada Desember lalu. Salah satu pengacaranya, Suardi Tasrif, menyayangkan tak diberikannya kesempatan bagi Hariman untuk menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum, yang semestinya menjadi haknya. Sidang pun ditunda hingga sebelas hari kemudian.

Buntut peristiwa demo rusuh pada 15 Januari 1974, polisi dan tentara menangkap banyak orang-700-an di antaranya ditahan. Kepala Penerangan Departemen Pertahanan dan Keamanan Brigadir Jenderal Sumrahadi saat itu mengatakan pemerintah terpaksa menahan orang-orang yang dicurigai sebagai penggerak peristiwa Malari. Pemerintah menuding ke berbagai arah. Sejumlah aktivis mantan anggota Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi dicurigai ada di balik para mahasiswa dan pelajar yang bergerak. "Namun tidak berarti sisa-sisa G-30-S/PKI dan golongan-golongan lainnya tidak ikut mendalangi," kata Sumrahadi seperti dikutip majalah Tempo edisi 2 Februari 1974.

Angka 700-an tahanan itu terus menyusut dari waktu ke waktu. Selang beberapa pekan masih 500, lalu pada pekan ketiga Februari tinggal 300-an, dan belakangan cuma tersisa puluhan orang. Kebanyakan bebas karena kurang bukti. Pengacara Yap Thiam Hien dan wartawan Mochtar Lubis dilepas setelah setahun ditahan. Pengacara Adnan Buyung Nasution dibebaskan pada Oktober 1975, bersama sebelas mahasiswa, di antaranya Judilherry Justam, Theo Sambuaga, Bambang Sulistomo, Eko Jatmiko, Jesie A. Monintja, dan Remy Leimena.

Hanya Hariman dan Sjahrir dari Universitas Indonesia serta Aini Chalid dari Universitas Gadjah Mada yang disidangkan ke pengadilan. Mereka dituduh melakukan perbuatan subversi dan makar. Jaksa menggunakan pernyataan Hariman dan Sjahrir dalam sejumlah pertemuan Dewan Mahasiswa UI dan Gerakan Diskusi UI untuk menjerat keduanya sebagai koordinator lapangan dan otak peristiwa itu.

Namun sejumlah saksi menarik keterangannya di berita acara pemeriksaan. Ada yang mengaku tak sadar dan merasa terancam saat memberikan kesaksian. Beberapa yang lain tak tahu keterangannya digunakan untuk menjerat Hariman dan Sjahrir. Jaksa akhirnya bergantung pada informasi intelijen Operasi Khusus.

Meski tak cukup bukti menggerakkan kerusuhan, Hariman dijatuhi hukuman enam setengah tahun penjara pada 21 Desember 1974. Hakim menganggap kelalaiannya telah berujung pada aksi pembakaran dan perusakan. "Kelalaian ini sama seperti kelalaian seseorang yang membeli arloji di pinggir jalan, padahal tahu di Jakarta sering ada penjambretan," kata Siburian seperti dikutip majalah Tempo edisi 28 Desember 1974. Kamis malam, 12 Juni 1975, majelis hakim yang dipimpin Anton Abdurrahman Putera juga menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara buat Sjahrir. Sedangkan Aini divonis 2 tahun 2 bulan.

Hariman hanya dibui kurang dari tiga tahun, sedangkan Sjahrir empat tahun. Ketua Mahkamah Agung Oemar Seno Adji memutuskan penahanan atas Hariman dihentikan atas permohonan Sarbini Sumawinata, koleganya dulu di Universitas Indonesia. Sarbini, mertua Hariman, minta Hariman diperbolehkan mendampingi istrinya, Sriyanti, yang sakit.

Ketika pada 2 November 1983, sembilan tahun setelah peristiwa Malari, Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas Hariman dan Sjahrir, keduanya tak pernah masuk penjara lagi. Jaksa Agung Ismail Saleh menggunakan hak oportunitas untuk mengesampingkan perkara dengan alasan demi kepentingan umum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus