Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terendah Setelah Krisis Moneter

Pengeluaran konsumsi rumah tangga tumbuh minus selama kuartal II 2020.

6 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga berbelanja kebutuhan pokok di Lotte shopping Avenue, Jakarta, 4 Juni 2020. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertumbuhan ekonomi nasional selama kuartal II 2020 ambles ke level minus 5,32 persen.

  • Angka tersebut tercatat paling buruk dalam 21 tahun terakhir sejak kuartal I 1999

  • Pemerintah menyiapkan program stimulus

JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi nasional selama kuartal II 2020 ambles ke level minus 5,32 persen akibat wabah virus corona. Angka itu tercatat paling buruk dalam 21 tahun terakhir sejak kuartal I 1999. Saat itu, krisis moneter dan ekonomi Indonesia tercatat minus 6,13 persen. “Dampak pembatasan sosial hingga lockdown (karantina), hampir seluruh sektor produksi tumbuh minus,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, kemarin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BPS mencatat 10 sektor menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi negatif selama kuartal II. Di antaranya, transportasi dan pergudangan, makanan dan minuman, perdagangan, industri pengolahan, industri alat angkutan, industri tekstil dan pakaian, serta industri pengolahan tembakau. Sedangkan sektor yang tumbuh minus, seperti industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan besar, menyumbang 43 persen komponen PDB dari sisi suplai.

 

Adapun dari sisi produksi, konsumsi rumah tangga, yang selama ini berkontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi, minus 5,51 persen. “Konsumsi rumah tangga menjadi sumber kontraksi tertinggi selama triwulan II,” kata Suhariyanto.

 

Berdasarkan struktur PDB, konsumsi rumah tangga masih dominan sebagai penyumbang terbesar ekonomi hingga 57,85 persen, diikuti pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 30,61 persen, dan ekspor 15,69 persen.

 

Suhariyanto mengatakan lesunya kinerja konsumsi terlihat dari penjualan eceran yang mengalami kontraksi pada seluruh kelompok penjualan, antara lain makanan, minuman, dan tembakau, yang minus 0,71 persen.

 

Kelompok pengeluaran lainnya yang juga mengalami kontraksi adalah PMTB, yang merupakan komponen investasi, dengan tumbuh negatif 8,61 persen. "Komponen pembentuk PMTB, seperti bangunan, mesin dan perlengkapan, kendaraan, perlengkapan lainnya, serta CBR, semuanya mengalami pertumbuhan negatif pada triwulan II 2020," kata Suhariyanto.

 

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memprediksi pertumbuhan retail pada tahun ini minus 3 persen. Ketua Aprindo, Roy Mandey, mengatakan anjloknya bisnis retail disebabkan oleh daya beli masyarakat yang merosot dan perkantoran melakukan efisiensi karena pembatasan aktivitas. “Orang bisa belanja ke mal karena punya pekerjaan. Tapi banyak yang pendapatannya menurun karena bisnis atau kantornya juga terganggu,” ujarnya.

 

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah bakal berupaya agar pertumbuhan ekonomi pada kuartal III kembali positif dan terhindar dari resesi. Komite Percepatan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional akan membuka akses perekonomian tanpa melanggar protokol kesehatan. “Kesehatan itu ibarat rem, ekonomi itu gasnya,” kata dia.

 

Untuk mendorong pertumbuhan, pemerintah menyiapkan beragam program stimulus ekonomi senilai Rp 607,7 triliun. Anggaran jumbo itu, salah satunya, adalah pemberian bantuan sosial dalam bentuk tunai dan kebutuhan pokok. Selain itu, pemerintah bakal mengucurkan bantuan Rp 500 ribu kepada pekerja berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan. “PHK memang tak terhindarkan. Makanya para korban PHK akan kami carikan solusi, seperti masuk program Kartu Prakerja,” ujar Airlangga.

 

Namun, hingga kemarin, realisasi seluruh insentif tersebut baru di kisaran 22 persen atau sekitar Rp 110 triliun. Ekonom senior Faisal Basri meminta pemerintah tetap mawas diri terhadap aspek kesehatan. Terlalu fokus ke pertumbuhan ekonomi berisiko jadi bumerang yang berujung pada timbulnya second wave atau gelombang kedua pandemi. “Resesi memang jelek. Tapi situasi saat ini tidak apa-apalah kalau resesi, asalkan hati-hati dan tidak melupakan aspek kesehatan,” ujarnya.

 

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan pemerintah harus mewaspadai dan segera membuat berbagai terobosan baru untuk memulihkan perekonomian. “Situasi ini perlu diwaspadai karena semakin susah keluar dari ancaman krisis pada triwulan III karena sudah memasuki bulan kedua. Ini effort-nya besar sekali,” kata dia. Menurut dia, ukuran resesi bukan hanya dilihat dari PDB resmi, tapi juga bisa melalui banyaknya industri yang tutup, PHK, angka kemiskinan, dan sektor keuangan. “Penting menyiapkan kebijakan baru yang extraordinary. Jangan sampai terlambat.”

 

HENDARTYO HANGGI | ANDI IBNU


Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus