Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMUA berlomba dengan waktu. Hampir semua orang di lantai lima Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, menyangka Soeharto segera berpulang, Jumat malam dua pekan lalu. Kondisi penguasa Orde Baru itu, yang dirawat di kamar 536 sejak sepekan sebelumnya, sangat kritis.
Dua pesawat telah disiapkan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Jika Soeharto mangkat malam itu, jenazahnya segera diterbangkan ke Solo, Jawa Tengah, Sabtu pagi pukul enam. ”Pak Try bahkan sudah mengajak saya sepesawat dengan beliau,” kata seorang bekas menteri, menyebut Try Sutrisno, mantan wakil presiden yang terus berada di rumah sakit pada malam gawat itu.
Menjelang tengah malam 11 Januari itu, Soeharto semakin kritis. Sejumlah mantan pembantunya terus bertahan di rumah sakit. Selain Try, di sana ada antara lain mantan Panglima ABRI Jenderal (Purn.) Wiranto, mantan Menteri Koperasi Subiakto Tjakrawerdaya, mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier, dan mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Haryono Suyono.
Try mengambil inisiatif. Ia menelepon Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang baru saja meninggalkan rumah sakit. ”Saya mohon dapat dicarikan penyelesaian yang cepat dan baik terhadap kasus Pak Harto. Mohon disampaikan kepada Bapak Presiden,” kata Try, Kamis pekan lalu.
Menurut Try, Jusuf Kalla menjawab, ”Baik, Pak.” Kalla lalu menghubungi Jaksa Agung Hendarman Supandji. Ia bertanya apakah ada kemungkinan menyelesaikan kasus hukum secara cepat. Menurut seorang di lingkaran dekat Jusuf Kalla, Hendarman menjawab ada: penyelesaian di luar pengadilan untuk kasus perdata.
Pemerintah kini sedang menggugat Yayasan Supersemar, dengan Soeharto sebagai ketua dewan pembina. Yayasan itu dituduh mengumpulkan dana secara tak sah sejak 1976 hingga Soeharto mundur, 22 tahun kemudian. Kasusnya kini sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Jusuf Kalla lalu menelepon Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sedang berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia melaporkan permintaan Try Sutrisno dan menyampaikan penjelasan Hendarman. Menurut Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Presiden segera menghubungi Jaksa Agung.
”Presiden setengah terkejut karena diminta menyelesaikan kasus Pak Harto malam itu,” kata Sudi Silalahi. ”Presiden lalu memerintahkan Jaksa Agung bertemu dengan keluarga Pak Harto untuk menanyakan maksudnya.”
Selepas tengah malam, Hendarman tiba di rumah sakit. Ia diantar ke kamar 537, bilik di seberang kamar perawatan Soeharto, yang diubah menjadi ruang tunggu keluarga. Anak-anak Soeharto menyambut: Siti Hardijanti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hedianti Harijadi (Titiek), Siti Hutami Adiningsih (Mamiek), dan Hutomo Mandala Putra (Tommy).
Kepada tamunya, Tutut bertanya apakah keberatan bila Try Sutrisno ikut mendampingi keluarganya. ”Monggo, silakan,” kata Hendarman Supandji seperti ditirukan seorang sumber yang saat itu juga berada di rumah sakit.
Jaksa Agung mengatakan diutus Presiden Yudhoyono untuk mengambil ”langkah cepat yang sesuai dengan koridor hukum”. Caranya, merundingkan penyelesaian gugatan perdata Yayasan Supersemar di luar pengadilan. ”Kita perlu bermusyawarah untuk mencapai mufakat,” kata Hendarman seperti ditirukan sumber yang sama.
Dari luar ruangan, sejumlah tokoh melihat pertemuan itu berlangsung dingin. Teh dalam cangkir-cangkir berlogo Istana Presiden, yang diangkut khusus dari rumah keluarga Soeharto, tak disentuh. Hendarman, kata sumber itu, lalu mengajukan konsep penyelesaian di luar pengadilan. Di antaranya, keluarga Soeharto harus membayar Rp 4 triliun kepada negara. Ini sepertiga dari tuntutan pemerintah, yakni US$ 420 juta dan Rp 185 miliar plus ganti rugi imaterial Rp 10 triliun atas Yayasan Supersemar.
Baik Hendarman maupun Try Sutrisno menolak memberikan konfirmasi tentang penyebutan angka itu. ”Solusi yang ditawarkan saya tidak mengikuti, saya lupa,” kata Try Sutrisno. Adapun Hendarman mengatakan, ”Saya tidak berani ngomong apa yang disampaikan.”
Dalam pertemuan malam itu, Tutut dan adik-adiknya diam mendengar angka yang disebutkan Hendarman. Menurut seorang mantan menteri, Tutut kemudian menjawab, ”Pak Hendarman, ini soal yayasan. Yang berwenang membuat keputusan itu pembina. Kebetulan, ketua pembinanya masih ayah saya, yang sekarang sedang kritis, dan saya tidak bisa berkomunikasi. Jadi, kami belum bisa mengambil keputusan apa-apa.”
Try Sutrisno mengambil alih pembicaraan. Ia mengatakan pertemuan malam itu tidak bisa menghasilkan keputusan. ”Kita lanjutkan dalam pertemuan berikutnya saja,” kata mantan wakil presiden ini. Hendarman mengangguk. Sabtu pagi sudah menjelang. Ia berpamitan. Fuad Bawazier mencatat, pertemuan berlangsung hanya sekitar setengah jam.
SEMUA berlomba dengan waktu. Presiden tiba di Jakarta dari Kuala Lumpur, Sabtu pagi pukul 10.30. Ia langsung menerima penjelasan dari tim dokter yang merawat Soeharto. Segera setelah itu, ia menggelar rapat terbatas dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri. Jaksa Agung hadir memberikan laporan tentang pertemuan malam sebelumnya.
Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, melalui Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, berusaha menemui Yudhoyono. Tapi tak ada waktu untuknya. Pengacara senior ini pun mengirimkan pesan ke telepon seluler Presiden. ”Baru kali ini nasihat dari anggota Dewan Pertimbangan dikirim melalui SMS,” kata Buyung. ”Saya terpaksa.”
Ada dua butir usul Buyung dalam pesan lebih dari 1.200 karakter itu. Pertama, agar digelar pengadilan pidana kilat atas Soeharto yang didasarkan pada berita acara pemeriksaan. Di situ Soeharto dinyatakan bersalah dan dihukum dengan hukuman ringan: 24 jam. Baru setelah itu Presiden Yudhoyono memberikan grasi.
Usul kedua, untuk kasus perdata Yayasan Supersemar, harus dicari jalan perdamaian. Untuk itu, perlu ditunjuk auditor internasional yang disepakati kedua pihak guna menentukan jumlah kekayaan Soeharto. Baru setelah itu ditentukan bagian yang harus dikembalikan ke negara.
Menurut Buyung, Presiden Yudhoyono tidak bisa mengampuni Soeharto tanpa pengadilan. ”Presiden bisa di-impeach jika melakukannya, karena itu artinya melanggar konstitusi dan Ketetapan MPR tentang pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme,” katanya kepada Tempo.
Presiden akhirnya menerima Buyung satu jam, Senin pekan lalu. Menurut Buyung, Presiden memakai masukannya untuk mengambil keputusan. ”Meski tidak bisa segera menerima Abang, percayalah, saya menjadikan masukan Abang sebagai pertimbangan,” kata Yudhoyono, ditirukan Buyung.
Desakan agar Soeharto diampuni banyak disuarakan, termasuk dari Amien Rais, mantan Ketua MPR yang kerap disebut sebagai ”lokomotif reformasi”. Penasihat hukum Keluarga Cendana pun dua kali mengirim surat ke Presiden Yudhoyono, meminta pencabutan gugatan perdata atas Soeharto dan Yayasan Supersemar. Yang pertama dikirim pada 5 Januari, ditandatangani enam pengacara. Berikutnya dilayangkan pada 14 Januari, yang hanya diteken pengacara O.C. Kaligis.
Harapan Keluarga Cendana juga disampaikan langsung kepada Presiden Yudhoyono, yang menjenguk Soeharto pada Sabtu tiga pekan lalu. Dua jam sebelum Yudhoyono datang, T.B. Silalahi, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, lebih dulu tiba. Sejumlah tokoh meminta mantan mentor Yudhoyono di Akademi Militer itu mendesak Yudhoyono segera menyelesaikan kasus Soeharto.
Melihat kondisi Soeharto, yang dililit selang dan terhubung dengan sejumlah mesin, Yudhoyono pun menunjukkan simpati. Menurut seorang yang dekat dengan Keluarga Cendana, Presiden dengan sungguh-sungguh lalu berkata, ”Inilah saatnya bangsa ini mengambil keputusan penting.” Titiek Soeharto langsung menyalami Presiden sambil berkata, ”Terima kasih, Pak Presiden, alhamdulillah, akhirnya.…”
Di depan anak-anak Soeharto, kata sumber yang sama, Presiden menelepon Jaksa Agung dan sejumlah menteri untuk mengajak rapat di Istana, saat itu juga. Setelah itu ia berpamitan. ”Kami tak sabar saat itu, menunggu hasil rapat di Istana,” kata sumber yang mantan menteri itu.
Kabar itu datang hampir pukul dua siang. Dari televisi, Tutut dan adik-adiknya mengikuti konferensi pers Presiden. Ternyata, Yudhoyono yang didampingi Jusuf Kalla hanya mengatakan, ”Setelah menjenguk kondisi Pak Harto, saya mendapat laporan dari tim dokter bahwa beliau dalam keadaan kritis.” ”Keputusan penting” yang ditunggu itu tak pernah ada.
SEMUA berlomba dengan waktu. Tapi itu setelah 10 tahun kesempatan mengadili Soeharto disia-siakan. Presiden B.J. Habibie tak berdaya mengirim pendahulunya itu ke pengadilan. Pada 9 Desember 1998, kejaksaan empat jam memeriksa sang Jenderal Besar yang dituduh menyelewengkan duit negara melalui sejumlah yayasan, program Mobil Nasional, serta perkebunan dan peternakan Tapos.
Menjelang akhir pemerintahannya, pada 11 Oktober 1999 Habibie menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti. Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Surat perintah itu dicabut dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid, pengganti Habibie, melalui Jaksa Agung Marzuki Darusman.
Kejaksaan menyatakan Soeharto sebagai tersangka dan dikenai tahanan rumah, Mei 2000. Kasusnya diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Persidangan dibuka di gedung Departemen Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan. Tapi Soeharto tak pernah didudukkan di kursi pesakitan dengan alasan kesehatan. Hakim pun memutuskan penuntutan atas Soeharto tak bisa diterima. Mahkamah Agung menguatkan putusan itu karena menganggap Soeharto ”sakit permanen”.
Pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Soeharto pun tak tersentuh. Jaksa Agung M.A. Rachman tak melakukan apa pun untuk menyelesaikan kasus ini. Soeharto acap tampil di muka umum, termasuk berziarah ke makam istrinya di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.
Yudhoyono memimpin sejak Oktober 2004. Pada 11 Mei 2006, kejaksaan mengeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan atas Soeharto. Sebagai gantinya, kejaksaan mengajukan gugatan perdata atas Soeharto dan Yayasan Supersemar. Melalui yayasan yang didirikan pada 16 Mei 1974 itu, Soeharto dituduh merugikan negara Rp 191,8 miliar dan US$ 418,6 juta—total setara dengan Rp 4 triliun lebih.
Sabtu dua pekan lalu, setelah memimpin rapat kabinet terbatas di kediamannya, Puri Cikeas Indah, Presiden mengatakan, ”Soal isu perdata, tidak tepat membicarakannya dalam keadaan mantan presiden Soeharto sekarang ini.” Ia melanjutkan, ”Karena itu pemerintah berpendapat tidak tepat dan bukan prioritas pada hari-hari sekarang ini.”
Budi Setyarso dan Dwi Riyanto Agustiar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo