Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Ahmadiyah</font><br />Mendung Gerimis di Manis Lor

Perbedaan keyakinan membuat anyep hubungan keluarga. Dibawa seorang penceramah, 54 tahun silam.

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAYUNG-PAYUNG basah itu terkembang aneka warna, ditaruh sekenanya di depan beranda sebuah rumah permanen di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada Selasa menjelang gelap dengan renyai gerimis itu, seorang lelaki berperawakan kurus duduk merokok, sendirian di situ. Namanya Totok, 30-an tahun.

”Pak Kulman ada di sana,” katanya, mengibaskan wajah ke satu arah. Sambil mengantar Tempo ke ”sana” itu, ia bercerita: payung-payung basah itu milik warga desa yang sedang melakukan salat magrib berjemaah di rumahnya, setelah beberapa masjid Ahmadiyah di desa ini disegel pemerintah setempat menjelang akhir tahun.

Bergerak perlahan, kadang berjinjit, menyusuri gang-gang lecah di antara rumah penduduk dan pepohonan, Totok turun ke bagian desa yang lebih rendah. Di sana, di beranda sebuah rumah, tampak lagi payung warna-warni berlamparan.

Dari jendela ruang tamu rumah itu menyembul seraut wajah perempuan, memandang keluar setelah menyibak gorden. Seorang perempuan lainnya, masih mengenakan mukena putih, keluar dari pintu depan yang tadinya rapat terkatup. Berbicara sejenak dengan Totok, perempuan ini kembali masuk.

Sejenak lagi, seorang lelaki paruh baya muncul dari pintu samping, mengajak Tempo ke dalam rumah. Totok balik kanan. Di rumah tembok yang dinding depannya berlapis keramik ini, duduk bersimpuh paling depan, menghadap kiblat, Kulman Tisnaprawira. Bekas kepala desa berusia 57 tahun ini adalah sesepuh Ahmadiyah di desa itu.

Ruang itu seperti kamar dengan pintu terbuka. Di belakangnya, di ruangan yang lebih besar seperti ruang tengah, sekitar 15 lelaki berumur duduk berjajar, khusyuk. Ada juga tiga bocah lanang. Ambal bermotif kubah menutupi lantai. Jemaah perempuan berada di bagian depan rumah, terpisah lewat pintu yang hanya tertutup tirai.

Kulman satu-satunya yang mengenakan peci putih. Di belakangnya, hampir semua anggota jemaah berkopiah hitam. Bersarung warna gelap, baju koko hijau tua yang dikenakan Kulman terlihat paling necis. Salah seorang putranya, yang tadi mengajak Tempo masuk, mengenakan koko hijau muda, sama dengan warna sarungnya.

Anggota jemaah lain ada yang berkemeja atau mengenakan jaket untuk melawan hawa dingin Gunung Ciremai, 3.000-an meter, tepat di sisi desa. Seusai salat isya, beberapa menit kemudian, jemaah bersalaman dan pulang ke rumah masing-masing.

Dalam perjalanan ke rumahnya, Kulman mengatakan kegiatan pengajian sekarang dilakukan di sekitar 15 rumah penduduk yang ditunjuk. Ia pun mengimami salat dari satu tempat ke tempat lain untuk memenuhi permintaan jemaah. ”Banyak yang minta,” katanya. ”Sekalian kontrol juga.” Beberapa anggota jemaah perempuan yang berpapasan menyapanya dengan salam, namun tidak dibalas.

Rumahnya bercat warna-warni—tipikal rumah penduduk di sana—dan terletak persis di pinggir jalan desa yang beraspal mulus memanjang naik ke arah gunung. Kulman mengatakan masalah keyakinan Ahmadiyah bukan cuma berdampak soal peribadatan, melainkan juga berimbas pada hubungan keluarga.

Misalnya hubungannya dengan kemenakannya yang bukan penganut ajaran dari Pakistan itu. ”Sudah lama saya tidak bertegur sapa dengan Nasrudin,” kata lelaki bertubuh pendek berkulit sawo matang dengan rambut yang menipis ke belakang itu.

Sekitar 50 meter dari rumah Kulman, menurun ke arah jalan masuk desa, tepat di tepi jalan raya Kuningan-Cirebon, terletak rumah Nasrudin Sadilla. Lantai keramik dan dindingnya bernuansa hijau. Selembar papan bertulisan ”Gerah”, singkatan dari Gerakan Anti-Ahmadiyah, terpancang di halaman rumah.

”Gerah” dideklarasikan lelaki tinggi besar itu lima tahun lalu. Ayah lima anak berusia 47 tahun ini juga Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Al-Huda, yang berdiri di seberang rumahnya.

Kepada Tempo, Nasrudin membenarkan, hubungannya dengan paman dari garis keturunan ibu itu sudah lama tak mesra. ”Persisnya kapan, saya sudah tak ingat,” katanya. Padahal keduanya pernah masuk kepengurusan desa. Warga nahdliyin ini mengurusi bidang pernikahan hingga Kulman lengser dari posisi kuwu pada 1999.

Ketika itu, Nasrudin, yang sempat aktif sebagai kader Partai Kebangkitan Bangsa setempat, mengurus proses pernikahan baik warga desa yang menganut Ahmadiyah maupun muslim lainnya. Begitu juga di Kantor Urusan Agama Kabupaten Kuningan. Peran ini masih dipegangnya, meski sekarang ia terbatas melayani warga desa yang bukan pemeluk Ahmadiyah.

Menurut Nasrudin, sekitar 50 persen warga desa yang rata-rata petani dan pedagang itu masih memiliki garis kekerabatan dengan dirinya dan Kulman. Sukrono, salah satu tetua desa yang masuk Ahmadiyah pada awal-awal kedatangan ajaran itu, juga terbilang masih uwaknya.

Menurut cerita Kulman, Ahmadiyah masuk Desa Manis Lor dibawa seorang penceramah bernama Basyari Hasan pada 1954. Ketika itu, semua penduduk rame-rame memeluk ajaran ini. ”Sebelumnya, masyarakat banyak melakukan praktek perdukunan dan ilmu hitam,” tutur Kulman. ”Termasuk memiliki jimat.”

Masuknya Ahmadiyah menggeser keyakinan lokal. Beberapa waktu kemudian, sejumlah warga desa yang merantau ke Jakarta pulang kampung. Dari mereka, warga mendapat informasi, ajaran Ahmadiyah berbeda dengan ajaran Islam yang mereka kenal. ”Akibatnya, sebagian yang sudah masuk Ahmadiyah lalu keluar.”

Saat ini, dari 4.500-an penduduk desa, 70-75 persen masih memeluk Ahmadiyah. Mereka ini dari generasi kedua dan ketiga. Kulman mengatakan Ahmadiyah di Manis Lor merupakan cabang terbesar. Mereka punya tujuh masjid, satu sekolah menengah pertama, satu gedung olahraga berukuran sekitar tiga kali lapangan voli, satu rumah tamu, dan satu mobil Kijang untuk transportasi organisasi.

Menurut Abdul Syukur, ketua Ahmadiyah di sini, mereka biasa menyetor Rp 10-13 juta ke kantor pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jakarta. ”Tapi masjid yang kami bangun pakai uang sendiri,” katanya.

Jika dirunut ke belakang, kata Kulman, warga desa ini masih nyambung dengan seorang keturunan Prabu Siliwangi yang bernama Rama Eyang Buyut Manis Ratu Galuh Pakuan Menak Pajajaran. Ia memiliki dua keturunan, yaitu Mbah Kuwu Indra Madura dan Mbah Kuwu Wisa Prana, yang tinggal di Desa Manis pada 1835.

Desa lalu ”dibelah” menjadi utara (lor) dan selatan (kidul). Kulman mengklaim masih keturunan murni Mbah Kuwu Wisa Prana, yang mendapat ”jatah” desa bagian utara. Saat ini, Kulman masih bekerja sebagai kontraktor kecil-kecilan untuk pembangunan jalan dan jembatan dari pemerintah setempat.

Tak jarang proyek diperebutkan ratusan kontraktor. ”Akibatnya, ya, dibagi-bagi,” katanya seraya tertawa. Adapun Nasrudin, sebelum sepenuhnya mengurusi kegiatan masjid, pernah bekerja di pabrik rokok.

Baik Kulman maupun Nasrudin mengakui mereka tak lagi saling mengundang jika menggelar acara. Misalnya ketika menikahkan anak. Keduanya baru bertemu jika menghadiri acara tetangga. Itu pun cukup hanya saling melihat dari jauh.

Pemandangan unik justru terlihat di salah satu deret rumah di desa itu. Dua warung kelontong berdiri berdampingan. Yang lebih besar merupakan milik seorang warga Ahmadiyah. Ica, mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Cirebon, yang keluarganya bukan penganut Ahmadiyah, mengatakan tidak ada masalah dengan tetangganya yang mayoritas Ahmadiyah. ”Mereka tetap beli, kok,” katanya.

Adapun ”kompetitor”-nya, Iin, penganut Ahmadiyah, mengaku serupa. Meski warungnya berukuran sekitar dua kali lebih besar, perempuan berjilbab ini mengatakan warga Ahmadiyah tidak membeda-bedakan saat berbelanja. Ia juga berjualan minyak tanah, yang harganya dinaikkan karena suplai berkurang. Sedangkan warung Ica berjualan bensin.

Menurut Ucin Sanusi, 30-an tahun, guru olahraga di SD 03 Manis Lor, masyarakat desa penganut dan bukan penganut Ahmadiyah cenderung membaur dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya sekolah dasar tempatnya mengajar. ”Murid-muridnya ada juga yang bukan Ahmadiyah,” katanya. Kegiatan belajar-mengajar, kata pengurus kepemudaan Ahmadiyah di desa itu, tetap lancar meski sempat muncul ketegangan menjelang pergantian tahun.

Menurut pembina desa dari Komando Rayon Militer Jalaksana, Sersan Dua Bambang K., salah satu upaya untuk menekan konflik adalah mengubah status desa menjadi kelurahan. Selama ini, kepala desa selalu dijabat warga Ahmadiyah, sehingga menimbulkan kecemburuan warga lain.

Apalagi desa ini memiliki ”tanah bengkok” sekitar 48 hektare. Dengan status kelurahan, kata Bambang, pejabatnya akan ditunjuk oleh struktur pemerintahan di atasnya. ”Sehingga netralitasnya lebih terjaga,” kata Bambang.

Budi Riza, Ivansyah (Manis Lor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus