Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK dua pekan lalu, Hotel Novotel di pinggiran Bogor, Jawa Barat, berubah menjadi ajang rapat politik. Tujuh belas anggota tim perumus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum pindah kantor ke sana. ”Setiap hari, kami rapat sampai hampir tengah malam,” kata Agus Purnomo, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Wajar jika para politikus anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu bekerja ekstrakeras. Ketika dibentuk pada Juni tahun lalu, Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan sempat sesumbar bahwa peraturan yang akan dijadikan dasar penyelenggaraan Pemilu 2009 ini bakal siap disahkan pada Desember 2007. Kini, tiga pekan sudah berlalu dari tenggat itu.
Karena molor inilah, banyak orang kini khawatir, kelancaran pelaksanaan pemilu tahun depan terancam. Apalagi—meski sudah dibahas intensif—sampai akhir pekan lalu naskah UU Pemilu masih jauh dari rampung. ”Dari 1.300 daftar inventarisasi masalah yang harus dibahas, kami baru sampai masalah nomor 420,” kata Andi Yuliani Paris, Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Amanat Nasional, pekan lalu.
Sebenarnya, akar kemacetannya masih yang itu-itu juga. Sejak awal, Panitia Khusus RUU Pemilu ini memang sudah terbelah menjadi dua kubu yang berseberangan. Kubu partai besar—PDI Perjuangan dan Partai Golkar—versus kubu partai papan tengah dan bawah. Hampir semua partai yang perolehan suaranya tak sebanyak dua partai raksasa tadi bergabung di kubu kedua.
Kedua kelompok ini berseteru setidaknya dalam enam isu: soal alokasi kursi per daerah pemilihan, mekanisme penentuan calon terpilih, penghitungan sisa suara, jumlah anggota DPR, penerapan batas minimal perolehan suara untuk partai yang berhak mengirimkan wakilnya ke Senayan (parliamentary threshold), dan model pemungutan suara.
Lebih dari sekadar soal prosedur teknis sistem pemilu belaka, enam medan pertarungan ini mewakili perang yang lebih besar: kelangsungan hidup partai-partai itu sendiri. Seperti kata Andi Yuliani, ”Ini soal survival.”
Sudah bukan rahasia lagi kalau PDIP dan Golkar ingin menyederhanakan sistem multipartai di Indonesia lewat Pemilu 2009. ”Idealnya hanya ada 7 hingga 8 partai saja,” kata Yasonna Laoly, Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu dari Fraksi PDIP. Menurut dia, banyaknya jumlah partai saat ini tidak sejalan dengan penguatan sistem pemerintahan presidensial. ”Gagasan ini juga sejalan dengan draft RUU Pemilu versi pemerintah,” ujar Yasonna.
Untuk mencapai tujuan itu, kata Yasonna, partainya ingin jumlah kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan dikurangi. Jadi, kursi yang diperebutkan semula 3 hingga 12 kursi, menjadi hanya 3 sampai 6 kursi. Otomatis peluang partai kecil meraih kursi akan berkurang drastis.
Jika lolos dari situ, partai kecil belum bisa melenggang. Masih ada satu rintangan lagi: PDIP mengusulkan agar hanya partai politik yang meraih suara di atas tiga persen dari total suara yang duduk di Senayan. ”Di banyak negara lain, aturan parliamentary threshold semacam ini lazim diterapkan,” katanya.
Tak mengherankan jika partai menengah dan kecil kebakaran jenggot. Tapi kubu mereka kini punya jawaban jitu. ”Merombak komposisi daerah pemilihan akan membuka kotak pandora,” kata Andi Yuliani. Dia yakin, banyak kabupaten dan kota akan mempersoalkan pola penggabungan wilayahnya menjadi daerah-daerah pemilihan baru. Komisi Pemilihan Umum pun bakal kerepotan. ”Kita tidak punya waktu untuk itu,” katanya.
Setiap kali perdebatan menemui jalan buntu, pemimpin rapat di Novotel akan meminta staf ahli parlemen melakukan simulasi penghitungan suara pemilu dengan opsi-opsi yang tersedia. Dengan demikian, partai yang diuntungkan dan dirugikan oleh setiap opsi menjadi jelas. ”Kalau masih juga buntu, biasanya pasal itu kita lewati dulu,” kata Andi Yuliani.
Diburu waktu, ancaman buntu, dan dikepung tumpukan pekerjaan yang masih menggunung, tak mengherankan jika sempat muncul skenario potong kompas: voting saja. Apalagi pembahasan UU Pemilu lima tahun lalu juga menggunakan cara ini.
Pada 18 Februari 2003, Sidang Paripurna DPR yang membahas RUU Pemilu memang berakhir dramatis. Panitia Khusus RUU Pemilu yang sudah bekerja tujuh bulan penuh gagal merampungkan naskah peraturan ini. Ada sedikitnya sembilan isu krusial yang belum disepakati sampai detik-detik terakhir.
Sama seperti sekarang, para politikus Senayan saat itu terbelah menjadi dua kubu. Bedanya, dulu Golkar yang berhadap-hadapan dengan PDIP. Fraksi Partai Beringin ngotot meminta usul PDIP tentang larangan menjadi calon legislatif bagi terdakwa dihapus. Maklumlah, ketika itu Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung masih terjerat perkara korupsi dana Bulog. PDIP ganti digencet dengan aturan pejabat publik tidak boleh berkampanye. Partai Banteng bisa memble kalau Megawati Soekarnoputri, yang kala itu menjadi Presiden RI, dilarang tebar pesona.
Sidang paripurna lalu diskors untuk menggelar lobi antar-pimpinan fraksi. Negosiasi molor sampai berjam-jam. Sampai akhirnya, pada akhir rapat, sejumlah isu terpaksa diselesaikan dengan pemungutan suara.
Akankah skenario yang sama terulang? ”Kami menghindari voting,” kata Yasonna. Pemungutan suara, menurut dia, mengesankan bahwa partai hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Andi Yuliani sepakat.
Usaha mencari jalan tengah sebenarnya bukan tidak ada. Selain tim perumus yang berkutat di Bogor itu, Panitia Khusus RUU Pemilu membentuk tim lain yang khusus berikhtiar mencari kompromi. Keputusan ini diambil dalam rapat antarfraksi di Hotel Sultan, Jakarta, awal Januari lalu. ”Pimpinan fraksi dan pimpinan partai ada di tim lobi ini,” kata Lukman Hakim Saefuddin, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di DPR.
Tim lobi inilah yang bertemu setiap pekan, seinci demi seinci, mendekatkan posisi politik kedua kubu. Terakhir mereka bertemu di Hotel Le Meridien, Jakarta, akhir pekan lalu. ”Dibandingkan sebelumnya, sekarang hubungan kami sudah jauh lebih cair,” kata Lukman. Atmosfer curiga dan prasangka berkurang. ”Dulu kami masih menebak-nebak ada motif apa di balik usul A atau usul B,” katanya. Sekarang, semua partai sudah blak-blakan. ”Semua kartu sudah dibuka di atas meja,” kata Lukman lagi.
Karena itu, dia yakin, voting tak akan terjadi. ”Kalaupun ada, tidak akan sebanyak lima tahun lalu,” katanya. Lukman mengakui ada satu dua pasal yang mungkin tidak akan disepakati bulat-bulat. Tapi pelbagai tawaran kompromi kini sudah mulai dibicarakan.
Sebut saja soal pengurangan alokasi kursi per daerah pemilihan. PDIP kabarnya siap mundur selangkah. Syaratnya, usul mereka tentang mekanisme penghitungan sisa suara disetujui kubu seterunya.
Selama ini, partai-partai besar merasa dirugikan karena sisa suaranya sering terbuang percuma. Dalam pemilu 2004, misalnya, sejumlah partai kecil bisa mendapat kursi karena perolehan suaranya lebih besar dari sisa suara partai besar yang sudah habis terbagi bilangan pembagi pemilih (BPP). ”Ini tidak adil dan harus diubah,” kata Yasonna.
Kompromi lain yang mengemuka adalah soal penerapan parliamentary threshold sebesar 2 hingga 3 persen pada 2009 dan mekanisme penentuan calon terpilih. Hampir semua fraksi sepakat menggunakan sistem proporsional terbuka terbatas. Ambang jumlah suara yang harus dipenuhi calon terpilih diturunkan menjadi 25 persen dari BPP. ”Tapi semua masih bisa berubah,” kata sumber Tempo di tim perumus. Kesepakatan final akan diambil dalam pertemuan tim lobi berikutnya pekan ini.
Seandainya kompromi itu tidak berubah, perubahan sistem Pemilu 2009 tidak akan seradikal yang dibayangkan. ”Berdasarkan hasil Pemilu 2004, hanya 28,2 persen anggota DPR yang memperoleh suara 25 persen dari BPP,” kata Hadar Gumay, Direktur Centre for Electoral Reform. Artinya, sebagian besar anggota parlemen masih akan terpilih berdasarkan nomor urut daftar calon legislator yang dibuat partai politiknya.
Hadar khawatir akan ada banyak keputusan ”jalan tengah” dalam RUU Pemilu yang tidak memuaskan publik. ”Masalahnya, kalau semua diputuskan dalam forum tertutup, bagaimana publik bisa mengawasi?” katanya.
Wahyu Dhyatmika, Kurniasih Budi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo