Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keluarga pemilik Pesantren Nurulhuda Garut membangun Komunitas Mawar.
Sejumlah suami menentang komunitas itu dan melarang istrinya bergabung.
Pesantren Nurulhuda menggandeng pihak luar untuk melawan kekerasan seksual.
KEPUTUSAN Pondok Pesantren Nurulhuda—berdiri pada 1968—mengadopsi pendidikan kesehatan reproduksi dan kekerasan seksual memiliki perjalanan panjang. Semua berawal dari berdirinya Komunitas Mawaddah Wa Rahmah atau Mawar yang digagas Ai Sadidah, putri ketiga pemilik pondok itu, Kiai Haji Muhammad Nuh Addawami, pada 2004.
Sadidah berkisah, komunitas itu awalnya beranggota ibu-ibu sekitar pesantren. Satu bulan sekali, selama dua jam, mereka belajar tentang hak-hak perempuan. Sisa waktu digunakan untuk mempelajari berbagai keterampilan yang bisa menambah penghasilan emak-emak. “Kegiatan ini jadi daya tarik saat awal Komunitas Mawar berdiri,” ujar Sadidah, Jumat, 22 April lalu.
Menurut Sadidah, sebagian besar peserta adalah tenaga kerja Indonesia yang tak bisa berangkat lagi ke luar negeri karena pemerintah sempat melarang pengiriman pekerja migran. Banyaknya perempuan yang tinggal di rumah membuat angka kasus kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian meningkat.
Komunitas Mawar ikut mendampingi para korban kekerasan itu. Para pengajar di komunitas itu juga memberikan materi kesetaraan gender. Sadidah mengatakan banyak laki-laki sempat menentang dan melarang istri mereka bergabung dengan komunitas tersebut.
Ernawati Siti Syaja’ah, pengajar di Komunitas Mawar, bercerita, ada suami yang tak setuju terhadap materi kesetaraan gender. “Dia menganggap istrinya jadi sering melawan,” ucap Erna—panggilan Ernawati. Padahal, kata Erna, istrinya hanya meminta pembagian tugas rumah tangga seperti menyapu dan mengepel rumah.
Gejolak ini menjadi bahan evaluasi oleh Sadidah, Erna, dan anggota keluarga pemilik Pesantren Nurulhuda lain. Pengajar di Mawar lantas mengubah materi agar lebih diterima peserta komunitas dan keluarga mereka. Contohnya, ketika mengajarkan kesetaraan gender, Erna menyisipkan Surat Al-Hujurat ayat 13 yang intinya mengajarkan kesetaraan di mata Tuhan.
Penjelasan itu lebih diterima. Para suami yang tak mau berbagi tugas dalam rumah tangga perlahan berubah. “Ada yang sekarang mau menyapu,” tutur Ernawati. Kini kegiatan Komunitas Mawar layu karena penggagasnya memiliki kegiatan masing-masing. Karena itu, Sadidah meminta anggota Komunitas Mawar bergabung dengan organisasi lain.
Misalnya, remaja diminta ikut dalam Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama, perempuan produktif masuk ke Fatayat Nahdlatul Ulama, dan perempuan berusia lanjut bergabung dengan Muslimat Nahdlatul Ulama. Imbasnya, laki-laki di Cibojong tak mau kalah. Mereka bergabung dengan Nahdlatul Ulama ataupun Gerakan Pemuda Ansor.
Dalam keluarga Muhammad Nuh Addawami, pemilik pesantren, kesetaraan gender telah lama dipraktikkan. Ai Sadidah, misalnya, pernah lima tahun menjadi Kepala Madrasah Tsanawiyah Nurulhuda. Ia menjadi perempuan pertama yang mengasuh pesantren tersebut. “Abah mendukung saya supaya berani memimpin,” ujar Sadidah.
Setelah itu, jabatan kepala sekolah selalu dipegang perempuan dalam keluarga Addawami. Pada 2012, posisi itu diemban Erna, ipar Sadidah. Enam tahun kemudian, putri kelima Addawami, Himas Gatidah, menggantikan Erna.
Saat aktif mengajar, Sadidah memberanikan diri meminta ayahnya mengizinkan materi kesetaraan gender dan pengetahuan reproduksi diajarkan kepada para santri. Addawami langsung menyetujui usulan tersebut. “Saya melibatkan petugas puskesmas untuk mengajarkan kesehatan reproduksi,” ucap Sadidah.
Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia Garut Risnawati Priatno mengaku kerap diajak mengkampanyekan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan oleh pengelola Pesantren Nurulhuda. Mereka beberapa kali menggelar roadshow ke berbagai pesantren. “Sosialisasi ini menjadi pintu masuk untuk mengkampanyekan pencegahan kekerasan seksual,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo