Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pondok pesantren Ath Thaariq mengawinkan pengajaran Islam dengan ekologi pertanian.
Kearifan budaya setempat dipertahankan untuk mencegah bencana datang.
“SELAIN ngaji, saya diajari bertani di pesantren ini. Sekarang saya sedang membuat pupuk alami dari jerami.” Itu adalah kesaksian Ruhimat, bocah santri Ath Thaariq, tujuh tahun lalu, di depan kamera video yang menyorotnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam tahun lalu, ketika pertama kali datang ke pesantren itu, Romo Gregorius Soetomo SJ juga melihat santri-santri lain beraktivitas seperti Ruhimat. Hari-hari di Pondok Pesantren Ekologi Ath Thaariq di Kampung Cimurugul, Kelurahan Sukagalih, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat, dimulai dengan sembahyang dan pengajian subuh. Sepanjang tengah pekan, setiap pagi anak-anak itu belajar di sekolah yang berada di luar pesantren.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepulang sekolah, barulah mereka berkebun, berladang, mengolah hasil panen tanaman pangan, atau membuat pupuk alami. “Pada dasarnya, tempat itu bukan sekolah. Mereka tidak menyelenggarakan pendidikan formal,” kata Romo Greg, yang pernah dua kali memboyong rombongan frater Yesuit Wisma Dewanto (Komunitas Kolese Hermanum, Jakarta) ke Ath Thaariq, ketika dihubungi pada Selasa, 26 April lalu.
Nissa Saadah Wargadipura, pendidik dan pimpinan dari Pondok Pesantren Ekologi Ath Thaariq di Sukagalih, Garut, Jawa Barat, 24 April 2022. TEMPO/Prima mulia
Pernah bolak-balik live in di Pesantren Ciganjur (Jakarta Selatan), Edi Mancoro (Kabupaten Semarang), dan Tebuireng (Jombang, Jawa Timur), Romo Greg langsung menangkap perbedaan mencolok Pesantren Ath Thaariq. Dua pengasuh Ath Thaariq, suami-istri Ibang Lukman Nurdin dan Nissa Saadah Wargadipura, memang menjalankan pakem pengajaran di pesantren, seperti mendaraskan kitab-kitab kuning. Tapi, di luar waktu pengajian, para santri diajari bagaimana hidup seimbang dengan alam. “Saya tidak tahu ada ekstrakurikuler ekologi begitu di Tebuireng atau lainnya,” tutur Romo Greg. “Mereka hanya berfokus mengaji keislaman. Kalaupun ada keterampilan sekuler, tidak mencolok.”
•••
PADA hari ke-23 Ramadan tahun ini, sudah tidak banyak lagi santri yang tersisa di Ath Thaariq. Ahad pagi, 24 April lalu, enam santri telah bersiap mudik ke kampung halaman mereka. Sebagian di antaranya berasal dari daerah di sekitar Garut, seperti Pameungpeuk, kecamatan di pesisir Garut, menentang Samudra Hindia.
Ada tiga bangunan di kompleks pondok pesantren seluas 1 hektare tersebut. Satu bangunan utama berfungsi sebagai tempat tinggal pengasuh dan santri putri, juga tempat menyimpan hasil panen. Satu bangunan berada di seberangnya menjadi kobong putra. Satu bangunan lagi sudah berdiri tapi belum berfungsi, baru berupa struktur lengkap dengan dinding, tanpa kosen, pintu, dan lantai.
Ketiga bangunan itu harus mengalah kepada sawah, kebun, dan ladang yang mendominasi area pesantren. Hari itu, sawah pesantren yang ditanami padi sudah dipanen. Masih ada serai yang belum dipanen. Pepohonan mengelilingi Ath Thaariq, menambah ayem suasana Garut yang sudah adem.
Tidak ada masjid di pesantren yang berdiri pada 2008 tersebut. Hanya ada satu musala untuk salat berjemaah. Adapun pengajaran agama dan lingkungan bisa berlangsung di mana saja: teras bangunan utama, dapur, dan ladang. “Saya dan Kiai Ibang saling bantu,” ujar Nissa Wargadipura. “Kiai (Ibang) di bidang keagamaan, saya lingkungan.”
Ibang dan Nissa sebetulnya sama-sama mantan aktivis lingkungan. Nissa pernah belasan tahun menjadi aktivis agraria, ketika membentuk Serikat Petani Pasundan pada 1994 sampai mundur dan mendirikan Ath Thaariq pada 2008. Adapun Ibang adalah aktivis Yayasan Pembangunan Masyarakat Sorkam. Dua-duanya organisasi sosial di Garut. Dua organisasi sipil inilah yang mendampingi penduduk kampung Benjang dan Cinengah di Garut ketika belasan rumah petani di dua kampung itu dibakar preman dalam konflik lahan dengan PT Perkebunan Nusantara VIII Bunisari Lendra pada 2006.
Keduanya juga memulai aktivisme sejak duduk di sekolah menengah atas, ketika bergabung dalam Forum Pelajar Mahasiswa Garut di era Presiden Soeharto. Tapi, jika dirunut dari garis keturunan, hanya Ibang yang berasal dari keluarga pesantren. “Saya dari keluarga petani. Ayah, ibu, paman, petani semua,” ucap Nissa.
Sementara Nissa tampak telah menarik diri dan berfokus mengajar para santri, Ibang masih sesekali turun ke jalan. Ibang, misalnya, masih sempat memimpin demonstrasi di depan Markas Kepolisian Resor Garut menuntut pengusutan penembakan enam anggota Front Pembela Islam di jalan tol Jakarta-Cikampek Kilometer 50 oleh anggota Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya.
Ketika mulai mendirikan Pesantren Ath Thaariq, Nissa dan Ibang menyewa lahan milik PT Kereta Api Indonesia seluas 6.000 meter persegi yang menganggur. Tarifnya Rp 600 per meter. Luasnya kini mencapai 1 hektare dan sudah mereka miliki sendiri. “Lahannya kami bagi per zona,” tutur Nissa. Ada zona sawah, kebun, ladang, dan hunian.
Lahan seluas 1 hektare itu kemudian dikelola pesantren dengan prinsip-prinsip ekologi pertanian. Prinsip ini bukannya menentang penuh teknologi dalam pertanian, tapi mengendalikan sistem produksi yang produktif, stabil, berlanjut, dan setara. Nissa bersama Ibang mengartikan prinsip tersebut sebagai anti-revolusi hijau yang monokultur. “Di sini dibalikkan. Dari monokultur menjadi polikultur. Pertanian keluarga,” ujar Nissa.
Nissa benar-benar menerapkan konsep pertanian keluarga di Ath Thaariq. Jumlah santri tidak boleh lebih dari 30. Mereka menanam aneka macam tanaman di satu lahan yang telah dibagi-bagi zonanya, memenuhi kebutuhan pokok dari tanaman pangan tersebut, hingga menjual tanaman pangan itu jika masih ada sisa setelah dikonsumsi sendiri. Yang dijual pun tanaman yang telah diolah. “Kalau santrinya lebih dari 30, akan kacau-balau (pemenuhan kebutuhannya).”
Ath Thaariq menerapkan prinsip pertanian keluarga tersebut dengan menyerap budaya Sunda, yang memiliki konsep buruan bumi dan kebun talun. Konsep ini adalah suatu lanskap dari satu keluarga Sunda yang biasanya memiliki pekarangan luas, paling tidak 0,25 hektare, yang ditanami aneka tanaman pangan dalam satu hamparan. “Jawa punya sistem kebun pekarangan juga,” kata Nissa.
Dalam area yang lebih luas, Nissa menambahkan, kultur Sunda juga mengenal leuweung talun alias kebun hutan. Di hutan yang juga berfungsi sebagai kebun itu ada bahan sandang, pangan, dan papan masyarakat. Semua anggota masyarakat menjaga kebun tersebut agar tetap asri dan produktif. “Sehingga dulu jarang sekali terjadi musibah. Karena ekosistem itu dijaga,” ujar Nissa. “Ini evaluasi saya sendiri. Banjir bandang Cimanuk (Februari 2022) itu hulunya sudah rusak sekali.”
Dari konsep pertanian keluarga dan kebun talun yang bertalian dengan prinsip ekologi pertanian itulah Ibang dan Nissa mengemas pengajaran di Ath Thaariq. Maka tak mengherankan, seusai pengajian-pengajian yang dipimpin Kiai Ibang, para santri langsung belajar membuat pupuk alami, menanam bibit lokal yang lebih tahan banting, serta menanam sejumlah tanaman pangan, dari emes alias gambas atau oyong, sorgum, buah-buahan, hingga tanaman obat-obatan.
Nissa Saadah Wargadipura, pendidik dan pimpinan dari Pondok Pesantren Ekologi Ath Thaariq bersama sejumlah santri mengkaji isi Al Quran di Desa Sukagalih, Garut, Jawa Barat, 24 April 2022./TEMPO/Prima mulia
Setelah itu, mereka diajari cara memanen dan mengelolanya. Hasilnya harus cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan baru bisa dijual jika berlebih. “Kebanyakan pembelajaran yang ada saat ini mengajarkan murid untuk pergi dari desa,” ucap Nissa. “Di sini kami belajar mengelola organisasi wiraswasta hijau, cara bertani mudah, dan pascapanen dari kebun pekarangan yang ada.”
Di bangunan utama, pada Ahad, 24 April lalu, terlihat tumpukan tanaman yang telah dikeringkan. Ada serai dan telang ungu serta bunga-bunga lain. Itu adalah tanaman yang siap dikemas dan dijual.
Menerima santri untuk mengaji dan mempelajari ekologi pertanian, Nissa sadar tidak bisa memberi mereka pelajaran formal. Karena itu, Nissa dan Ibang mempersilakan para santri menempuh pendidikan formal di sekolah-sekolah di sekitar pesantren. “Mereka sekolah dari jenjang sekolah menengah pertama sampai perguruan tinggi,” ujar Nissa.
Seorang santri putri berusia remaja yang telah siap mudik ke kampungnya di Pameungpeuk mengaku baru mengetahui seluk-beluk tanaman setelah nyantri di Ath Thaariq. Santri ini juga ingin menerapkan prinsip-prinsip konservasi yang diajarkan Ath Thaariq buat hutan dan perbukitan di kampungnya yang sudah nyaris gundul diterjang tambang galian.
Bagi Romo Greg, yang sudah dua kali mengajak frater Yesuit ke sana untuk mengenal Islam dalam perspektif ekologi, Ath Thaariq tentu saja bukan proyek ambisius yang ingin mengoreksi kapitalisme atau modernisme. “Itu terlampau besar,” katanya. “Tapi sebagai sebuah kritik, kita bisa, lho, hidup tanpa harus mengikuti kebudayaan kapitalis dalam pertanian.”
Tantangannya: manusia saat ini adalah manusia yang dibentuk oleh kultur masuk ke mal, belanja ke toko, hidup serba praktis, dan tak segan merusak alam. “Ath Thaariq menawarkan cara berpikir alternatif.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo