Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN orang berkumpul di aula Perguruan Diniyyah Puteri, Padang Panjang, Sumatera Barat, pada Sabtu pekan kedua Mei lalu. Terdiri atas santri perempuan dan perwakilan keluarga masing-masing, mereka tampak takzim menyaksikan tayangan di layar yang terpasang di aula berkapasitas 600 orang itu.
Tayangan tersebut menampilkan mimpi dan cita-cita satu per satu dari para santri. Gebi Emira, misalnya, bercita-cita menjadi ahli pariwisata dan mendirikan lembaga swadaya masyarakat. Santri kelas IX--setara dengan kelas III sekolah menengah pertama--itu juga punya keinginan lain yang diharapkan terwujud pada 2037. "Saya ingin menjadi duta besar Indonesia untuk Inggris," kata Gebi.
Tepuk tangan langsung bergemuruh setelah keinginan Gebi ditayangkan. Begitu juga ketika pemaparan yang berisi mimpi santri lain selesai. Acara syukuran kelas IX Madrasah Tsanawiyah Diniyah Menengah Pertama di pesantren khusus perempuan itu pun terasa begitu meriah.
Tayangan tentang cita-cita para santri sebenarnya bersumber dari arsip Perguruan Diniyyah Puteri. Salah satu arsip berupa data mengenai potret masa depan santri perempuan. Data yang ditulis saat santri masuk ke pesantren itu berisi target yang ingin mereka capai. Misalnya kapan tamat sekolah di pesantren, kapan menikah, negara mana yang akan mereka kunjungi, dan ingin bekerja di bidang apa mereka nantinya.
Perguruan Diniyyah Puteri sudah menerapkan model pendataan itu sejak 2008. Mereka menyebutnya program My Big Dream. Kepala pesantren Fauziah Fauzan El Muhammadiy mengatakan pendataan mimpi para santri bertujuan menyiapkan generasi masa depan. "Ini membuat santriwati mengetahui tujuan mereka ke depan," kata Fauziah.
Menurut dia, cara itu secara tidak langsung memberikan pesan kepada para santri bahwa mereka bisa menjadi apa saja yang mereka mau. Tak ada yang bisa menghalangi keinginan itu meski mereka terlahir sebagai perempuan. "Tidak ada batasan untuk mereka berkarya," ujar Fauziah.
Usaha menonjolkan peran perempuan bukan pertama kali dilakukan Perguruan Diniyyah Puteri. Sejak berdiri pada 1923, pesantren itu sudah berupaya menjadi wadah bagi para perempuan memperoleh kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sebab, di masa itu perempuan hanya dianggap sebagai pendamping laki-laki, sehingga tak perlu bersekolah tinggi. Pandangan itulah yang didobrak pesantren tersebut. "Ini perjuangan perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki," ucap Fauziah.
Kesetaraan gender kemudian menjadi salah satu materi wajib di Perguruan Diniyyah Puteri. Melalui kurikulum berbasis Al-Quran dan hadis, pesantren itu mengajarkan materi tersebut kepada lebih dari 1.000 santrinya. Menurut Fauziah, pengajaran materi itu berpedoman pada Al-Quran, khususnya Surat An-Nahl ayat 97. Ayat itu menjelaskan setiap orang yang berbuat kebaikan, laki-laki atau perempuan, akan diganjar pahala dan kehidupan lebih baik. "Itu menjelaskan perempuan dan laki-laki sama kedudukannya di hadapan Allah," kata dia.
Perjuangan untuk menyejajarkan kedudukan perempuan juga berlangsung di sejumlah pesantren di Jawa. Di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 1, Desa Sambirejo, Ngawi, Jawa Timur, lebih dari 3.000 santri setingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas diwajibkan mengikuti pelajaran tentang kewanitaan yang diberikan selama 45 menit di dalam kelas setiap pekan. Mata pelajaran itu disebut An-Nisaiyyat. Isinya tentang kesetaraan gender dan emansipasi wanita.
Guru Pesantren Gontor Putri, Asif Trisnani, mengatakan pengajaran An-Nisaiyyat bertujuan supaya para santri perempuan mengerti mereka memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Misalnya, perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan tinggi. Sebab, dengan itu, martabat perempuan bisa kian terangkat. "Kami merujuk pada sikap Rasul yang memperlakukan perempuan dengan baik," kata pria 40 tahun itu.
Kendati terus menanamkan nilai-nilai kesetaraan gender, pesantren itu tak ingin santrinya lupa terhadap kodrat sebagai perempuan. Karena itu, pesantren ini juga membekali anak didik dengan pengetahuan tentang tugas perempuan sebagai istri dan ibu. "Kesetaraan gender bagi kami adalah meletakkan semuanya menurut posisi, tugas, dan kewajibannya," ujar Asif.
Atas dasar itu, pondok yang merupakan pengembangan Pesantren Gontor Putra ini mengajarkan sejumlah keterampilan kepada santri wanita, misalnya memasak, menjahit, dan berdandan. "Tujuannya supaya kodrat perempuan tak tercabut," ucap Asif. Menurut dia, melalui pemberian materi dan keterampilan itu diharapkan muncul perempuan yang tangguh. "Akan tercipta nyai-nyai yang hebat."
Rahmadyan Syirat Zahra, santri kelas V atau setara dengan kelas II sekolah menengah atas, mengatakan materi tentang perempuan yang diajarkan di Pesantren Gontor Putri telah membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik. "Saya merasa lebih mandiri," kata gadis asal Riau ini. Dia juga menjadi lebih berani mengemukakan pendapat di depan umum.
Pondok Pesantren Putri Al-Khoirot, Malang, juga mendukung pengembangan diri santrinya. Pesantren di Desa Karangsuko itu menganjurkan setiap santri yang lulus agar terus bersekolah. Ada dua cara lulus dari pesantren itu. Pertama, melalui pendidikan formal setingkat madrasah tsanawiah dan madrasah aliyah atau SMP dan SMA. Kedua, pendidikan agama selama enam tahun yang disebut madrasah diniyah. "Kami mendorong santri terus bersekolah," kata Ahmad Ali Mahfud, pengasuh pesantren.
Bahkan pesantren mewujudkan dukungan itu dengan menentang pernikahan perempuan di usia dini. Menurut Ahmad, pernikahan usia dini bisa memupus harapan perempuan menempuh pendidikan tinggi. Sebab, setelah menikah, mereka akan disibukkan oleh segala urusan rumah tangga. "Semestinya tidak begitu. Setiap muslim harus mengenyam pendidikan setinggi mungkin," ujarnya.
Sikap pesantren itu tak lepas dari pandangan Ahmad, yang menganggap pernikahan usia dini terjadi lantaran desakan ekonomi dan rendahnya pendidikan orang tua. Menurut dia, orang tua ingin melepaskan tanggung jawab mengurus anak perempuannya kepada calon suami yang bakal menikahinya. "Kalau pendidikan orang tua mereka tinggi, pasti anak perempuannya tak boleh melakukan pernikahan dini," ucap Ahmad.
Upaya memperjuangkan kesetaraan gender dan emansipasi wanita juga dilakukan di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Desa Babakan, Cirebon, Jawa Barat. Setiap pekan, pemimpin pesantren itu, Masriyah Amva, selalu mengajarkan materi tentang kesetaraan gender kepada lebih dari 1.000 santri laki-laki dan perempuan setingkat madrasah tsanawiah dan aliyah.
Sebagian besar materi pengajaran diambil dari kisah hidup Masriyah sendiri. Sebelum memimpin pesantren, dia memang hanya bertugas sebagai istri dan ibu. Tapi peran itu berubah ketika suaminya meninggal. Dia harus meneruskan kelanjutan pesantren. Meski awalnya muncul keraguan dari para santri, Masriyah bisa membuktikan perempuan sanggup berperan sebagai pemimpin.
Langkah Masriyah mengajarkan nilai-nilai kesetaraan gender kemudian membuatnya ditunjuk untuk mengurusi pertemuan antar-ulama perempuan se-Indonesia. Pada 25-27 April lalu, Pesantren Kebon Jambu menjadi tuan rumah Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Kongres yang baru pertama digelar di Indonesia dan dunia itu dihadiri lebih dari 500 ulama perempuan, termasuk dari negara lain, seperti Malaysia, Pakistan, dan Afganistan.
Kongres menyepakati tiga hal, yakni mencegah pernikahan usia anak karena dianggap membawa banyak kerugian, mencegah kerusakan lingkungan, dan membantu perempuan korban kekerasan seksual, terutama korban pemerkosaan, yang sering mendapat stigma melakukan zina. Kongres itu dianggap penting karena membawa suara perempuan ke arus utama tafsir agama, yang selama ini lebih didominasi interpretasi ulama laki-laki.
Selain mengajarkan kesetaraan gender dan emansipasi, pesantren-pesantren perempuan menanamkan sikap menghargai perbedaan kepada para santrinya. Di Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Masriyah Amva menularkan sikap itu kepada anak didiknya lewat tindakannya yang tidak pernah membedakan orang berdasarkan suku, agama, ras, atau gender. Misalnya, saat menerima tamu yang berkunjung ke pesantrennya, Masriyah tak pernah membedakan latar belakang mereka.
Masriyah juga memberikan materi tentang fikih kontemporer kepada para santrinya. Isinya anjuran agar santri mempelajari mazhab selain yang mereka yakini. "Dengan cara itu, mereka bisa tahu mazhab lain," kata Masriyah. Harapannya, para santri tak mengklaim mazhabnya paling benar. "Jangan sampai sesama muslim berkelahi karena perbedaan mazhab."
Pesantren Gontor Putri juga mengajarkan pluralisme dan sikap saling menghargai kepada para santrinya selama 45 menit setiap pekan. Salah satu yang menjadi pembahasan juga soal mazhab dalam Islam. Menurut Asif Trisnani, pemberian materi itu agar para santri bisa menghargai keberagaman pemikiran dalam Islam. "Setiap mazhab tentu memiliki argumentasi masing-masing," ujarnya.
Asif mengatakan, karena mempunyai tujuan penting, pihaknya kemudian memasukkan materi tentang keberagaman itu ke kurikulum khusus Pesantren Gontor Putri. Tujuannya tentu agar para santri bisa hidup berdampingan dengan segala perbedaan di masyarakat. "Islam kan mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan," ucapnya.
Pondok Pesantren Putri Al-Khoirot menerapkan cara berbeda dalam menumbuhkan sikap menghargai perbedaan. Pesantren itu mengharuskan santri mengutamakan kesederhanaan hidup. Contohnya mewajibkan mereka memakai pakaian yang sederhana. "Hanya diperbolehkan membawa lima pakaian dari rumah," kata Ahmad Ali Mahfud.
Menurut dia, kebijakan itu akan menghindarkan santri dari gaya hidup mewah. Dengan begitu, mereka diharapkan bisa menghargai segala bentuk perbedaan di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan status sosial. "Sehingga tak ada jarak yang memisahkan si kaya dan si miskin," ujar Ahmad.
Aktivis perempuan Alissa Wahid mengatakan pengajaran segala materi itu di pesantren perempuan merupakan upaya positif dalam mencapai kesetaraan gender. Sebab, usaha mencapai kesetaraan, khususnya di ranah agama, masih berlangsung dan belum selesai.
Padahal, dia menambahkan, Al-Quran telah menjelaskan kedudukan laki-laki dan perempuan sama. Hanya ketakwaan kepada Allah yang membedakan. "Pemberian materi itu di pesantren perempuan membuat upaya menuju kesetaraan gender menjadi lebih masif dan menyeluruh," kata putri sulung Abdurrahman Wahid itu.
Menurut Alissa, untuk mencapai kesetaraan gender dan emansipasi tentu ada tantangan. Misalnya, penolakan sejumlah pihak yang menganggap perempuan tak semestinya berperan lebih dari laki-laki. Pandangan itu, kata Alissa, merupakan bentuk tafsir ajaran agama yang masih bisa diperdebatkan. "Kesetaraan gender sebenarnya menjadi ruang eksplorasi dalam agama," ujarnya. "Apakah yang selama ini dianggap keniscayaan itu benar? Atau jangan-jangan hanya interpretasi sejarah?"
Prihandoko, Andri El Faruqi (Padang), Nofika Dian Nugroho (Ngawi), Ivansyah (Cirebon), Eko Widianto (Malang)
Ragam Pesantren Putri
SEJUMLAH pondok pesantren membuka kesempatan bagi para perempuan untuk mempelajari ilmu agama dan ilmu umum sekaligus. Mereka mengkombinasikan konsep pendidikan pesantren tradisional--biasa disebut pesantren salaf--dan konsep pesantren modern.
Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy
» Lokasi: Desa Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat
» Berdiri: 1993
» Pendiri: Muhammad dan Masriyah Amva
» Pemimpin: Masriyah Amva
» Pendidikan formal: Madrasah tsanawiyah-madrasah aliyah
» Jumlah santri: 1.200 orang pria dan wanita
» Metode pengajaran: Bandongan (kuliah ceramah) dan sorogan (kuliah privat)
» Materi pelajaran: Al-Quran, hadis, kitab kuning, tafsir, dan fikih
» Ekstrakurikuler: Seni dakwah, qiraat Al-Quran, kaligrafi, rebana, dan bela diri
» Biaya pendidikan: Seikhlasnya
Perguruan Diniyyah Puteri
» Lokasi: Jalan Abdul Hakim Nomor 30, Padang Panjang, Sumatera Barat
» Berdiri: 1923
» Pendiri: Rahmah El Yunusiyyah
» Pemimpin: Fauziah Fauzan El Muhammadiy
» Pendidikan formal: Pendidikan usia dini-sekolah tinggi
» Santri: 1.080 orang
» Metode pengajaran: Parenting dan pendekatan multiple intelligence
» Materi pelajaran: Al-Quran, hadis, kitab kuning, fikih, tafsir, dan bahasa Arab
» Ekstrakurikuler:
- Akademik: Biologi, ekonomi, English club, fikih amaliyah, jurnalistik, kimia, dan matematika
- Non-akademik: Lukis dan kaligrafi, muslimah care beauty, nasyid, fotografi, tata boga, dan tata busana
- Public speaking: Master of ceremony, pidato, dan pembaca berita
» Biaya pendidikan:
- Madrasah Tsanawiyah
› Uang pembangunan Rp 10 juta
› Iuran tahunan Rp 5,05 juta
› Iuran perlengkapan Rp 1,8 juta
› Iuran bulanan Rp 1,36 juta
- Madrasah Aliyah
› Uang pembangunan Rp 10 juta
› Iuran tahunan Rp 5,25 juta
› Iuran perlengkapan Rp 1,8 juta
› Biaya bulanan Rp 1,36 juta
Pesantren Putri Al-Khoirot
» Lokasi: Jalan KH Syuhud Zayyadi Nomor 01, Desa Karangsuko, Malang, Jawa Timur
» Berdiri: 1964
» Pendiri: Masluhah Muzakki
» Pengasuh harian: Luthfiyah Syuhud dkk
» Pendidikan formal: Madrasah tsanawiyah-madrasah aliyah
» Jumlah santri: 500 orang
» Metode pengajaran: Bandongan dan sorogan dipadu sistem madrasah diniyah
» Materi pelajaran: Al-Quran, hadis, kitab kuning, fikih, tasawuf, dan bahasa Arab
» Ekstrakurikuler: Tata busana, tata boga, jurnalistik, organisasi siswa intra-sekolah, dan olahraga
» Biaya pendidikan:
- Madrasah Tsanawiyah
› Iuran pendidikan formal Rp 255 ribu
› Iuran pesantren Rp 485 ribu
› Iuran sekolah diniyah Rp 165 ribu
› Iuran rutin bulanan Rp 75 ribu
› Iuran seragam Rp 475 ribu
- Madrasah Aliyah
› Iuran pendidikan formal Rp 285 ribu
› Iuran pesantren Rp 485 ribu
› Iuran sekolah diniyah Rp 165 ribu
› Iuran rutin bulanan Rp 100 ribu
› Iuran seragam Rp 475 ribu
- Santri Tak Mengikuti Sekolah Formal
› Iuran pesantren Rp 485 ribu
› Iuran sekolah diniyah Rp 165 ribu
› Iuran rutin bulanan Rp 195 ribu
Pesantren Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 1
» Lokasi: Desa Sambirejo, Mantingan, Ngawi, Jawa Timur
» Berdiri: 1990
» Pendiri: Usul kiai-kiai alumnus Pesantren Gontor
» Pemimpin: Fairuz Subakir
» Jenjang pendidikan formal: Kulliyatul muallimat al-islamiyah (sekolah pendidikan guru Islam)/setara dengan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas
» Jumlah santri: 3.450 orang
» Metode pengajaran: Berbasis komunitas (seluruh kehidupan di pondok menjadi pelajaran)
» Materi pelajaran: Ilmu agama, bahasa Arab, keguruan, bahasa Inggris, ilmu pasti, ilmu sosial, dan kewarganegaraan
» Program ekstrakurikuler: Pramuka, olahraga, kesenian, latihan pidato, dan jurnalistik
» Biaya pendidikan:
- Uang pendaftaran Rp 5,36 juta
- Iuran makan per bulan Rp 310 ribu
- Iuran sekolah dan asrama per bulan Rp 300 ribu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo