Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA tamu bertandang ke kediaman Sahrul Hidayat pada Selasa sore dua pekan lalu. Mereka menyerahkan surat dalam amplop yang tak tersegel. Waktu itu, Sahrul juga baru tiba di rumahnya di Kelurahan Pari, Kepulauan Seribu Selatan, Jakarta. "Mereka kayak sudah mengamati, saya di rumah atau enggak," kata Sahrul, Kamis dua pekan lalu.
Kedua tamu itu adalah petugas keamanan PT Bumiraya Griyanusa Group. Di depan mereka, Sahrul langsung membaca layang yang baru dia terima. Isinya ternyata somasi dari Tan Tonny Octo Saputra. Pegawai PT Bumiraya itu menegur Sahrul karena dianggap menyerobot lahan perusahaan. "Tapi isi suratnya banyak kesalahan," ujar Sahrul. Cacat itu antara lain alamat rumah Sahrul disebut di RT 4. Padahal Sahrul tinggal di RT 2/RW 4. Ejaan nama Sahrul pun tak tepat, yakni "Syahrul" saja.
Sahrul tidak terlalu kaget dengan surat peringatan itu. Sebab, dua warga Kelurahan Pari lainnya, Edi Priadi dan Khatur alias Sulaiman, juga pernah mendapat somasi serupa dari PT Bumiraya. Bedanya, dulu somasinya atas nama perusahaan. Kini somasi dikirim atas nama perorangan.
Buntut dari dua somasi terdahulu, Edi dan Khatur dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penyerobotan lahan. Edi divonis empat bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Februari lalu. Sebab, pria 62 tahun itu ngotot tak mau angkat kaki dari lahan yang belakangan diklaim milik Pintarso Adijanto, pengusaha pada era Orde Baru. Adapun Khatur, kasusnya masih tahap penyidikan di Kepolisian Resor Kepulauan Seribu. "Kami yang vokal-vokal dilaporkan ke polisi," kata Sahrul.
Konflik warga Pulau Pari dengan PT Bumiraya meletup-letup sejak 2015. Kala itu, perusahaan yang berkantor pusat di Jalan Pembangunan I Nomor 3, Jakarta Pusat, tersebut mengeluarkan rencana induk untuk pengembangan pariwisata Pulau Pari. Hampir seluruh lahan permukiman warga akan dijadikan resor, gedung pertemuan, dan wahana wisata. Pengembang mengklaim memegang 80 lembar sertifikat hak guna bangunan dan hak milik atas lahan di Pulau Pari. Puluhan sertifikat itu terbit pada 2014-2015.
Warga Pulau Pari menentang rencana PT Bumiraya karena merasa sudah lama menetap di sana. Sahrul, misalnya, tinggal di pulau itu sejak lahir pada 1979. Awalnya, kakek-nenek Sahrul yang menempati lahan berjarak 20 meter dari rumah sang cucu saat ini. Sahrul bercerita, warga pulau dulu bebas membuka lahan tak bertuan, asalkan seizin ketua rukun tetangga dan rukun warga. Pada 2007, Sahrul mendirikan rumah sekaligus warung di lahan yang belakangan diklaim bersertifikat hak guna bangunan nomor 210 atas nama PT Bumiraya.
Adapun Khatur menempati lahan di Pulau Pari dengan cara berbeda. Ketua RW 4 Kelurahan Pari Selatan itu kini tinggal di lahan yang telah disulap menjadi penginapan rumahan (homestay). Khatur membeli lahan 200 meter persegi dari ahli waris Mat Lebar pada 2010. Lahan dibayar Khatur Rp 115 ribu per meter, berpatungan dengan kawannya bernama Nurdin. Khatur juga mengantongi akta jual-beli tanah itu. Namun belakangan PT Bumiraya mengklaim lahan itu dengan sertifikat hak guna bangunan nomor 210.
Ahli waris Mat Lebar, Edi Mulyono, membenarkan Khatur dan Nurdin membeli tanah kakeknya. Menurut dia, sang kakek awalnya punya lahan sekitar 7.800 meter persegi. Sebagian dijual ke warga pulau, selebihnya ditempati anak-cucu. Mat Lebar sedari awal tak mau menjual lahannya ke PT Bumiraya.
Pada 1992, menurut Edi Mulyono, memang ada 16 keluarga di wilayah RT 3 yang sepakat tukar guling lahannya dengan PT Bumiraya. Mereka dijanjikan sebidang lahan dan rumah di Pulau Tidung plus lampu petromaks serta uang Rp 1 juta. "Kami, anak-cucu Mat Lebar, tak mau keluar dari Pari," kata Edi, 34 tahun.
Anehnya, menurut Edi, lahan warisan yang dijual ke Khatur dan tanah yang ia tempati kini diklaim PT Bumiraya. "Mereka mengaku punya sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional," ujar Edi. Kalaupun sertifikat itu benar adanya, Edi mempertanyakan proses penerbitannya. Sebab, setahu dia, tak pernah ada jual-beli dan pengukuran lahan atau kesaksian pengurus RT/RW setempat.
Masalahnya, ahli waris Mat Lebar pun tak memiliki bukti kepemilikan lahan sekelas sertifikat. Bahkan surat girik pun tak mereka pegang. Soalnya, menurut Edi, kurang-lebih pada 1989, petugas kelurahan meminta girik semua warga Pulau Pari. Alasannya, girik akan diganti dengan yang baru. "Tapi sampai sekarang tak ada kejelasan," kata Edi. Karena kurang paham urusan tanah, menurut Edi, waktu itu warga Pulau Pari tak meminta bukti penarikan girik.
PT Bumiraya tiga kali mengajak berunding warga Pulau Pari yang tak mau pindah. Mediasi difasilitasi Bupati Pulau Seribu. Dalam mediasi itu, menurut Edi, PT Bumiraya menawarkan tujuh poin penyelesaian. Salah satunya, warga bisa menetap di lahan perusahaan dengan perjanjian sewa-menyewa. Tarifnya senilai pajak bumi dan bangunan per tahun. Tapi, jika sewaktu-waktu perusahaan mengakhiri perjanjian sewa, warga tak bisa menuntut ganti rugi apa pun. "Itu sama dengan kami menyerahkan rumah dan tanah ke mereka," ujar Edi, yang menolak tawaran itu.
Didampingi Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), warga Pulau Pari mengadukan masalah mereka ke Ombudsman Republik Indonesia pada Maret lalu. "Perusahaan sudah kelewatan dengan mengklaim kepemilikan hampir seluruh pulau," kata pengacara publik dari KNTI, Tigor Hutapea. Pulau Pari seluas 41,3 hektare kini dihuni sekitar 1.900 orang dari 350-an keluarga.
Tigor juga menilai ganjil penerbitan sertifikat tanpa pengukuran lahan di lapangan. Andai ada pengukuran, menurut dia, Warga Pulau Pari akan tahu lebih awal bahwa lahannya diambil perusahaan. "Ombudsman berwenang memeriksa administrasi yang cacat dalam penerbitan sertifikat," ujar Tigor.
Tigor dan kawan-kawan meminta Ombudsman RI mengeluarkan rekomendasi tentang pencabutan sertifikat lahan dan penghentian kriminalisasi atas penduduk Pulau Pari.
Selain ada yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penyerobotan lahan, tiga warga Pulau Pari ditangkap aparat karena dianggap melakukan pungutan liar. Cerita awalnya, menurut Tigor, PT Bumiraya mengajak beberapa warga Pulau Pari bekerja sama mengelola Pantai Perawan. Namun warga menolak ajakan itu. Alih-alih bekerja sama dengan perusahaan, warga pulau memilih "mengelola" sendiri pantai itu.
Pada 11 Maret lalu, tim dari Kepolisian Resor Kepulauan Seribu menggelar "operasi tangkap tangan". Polisi menahan tiga warga Pulau Pari. Mereka adalah Bahrudin, Mastono, dan Mustaqfirin. Menurut polisi, Bahrudin dkk memungut uang secara liar kepada pengunjung Pantai Perawan. Setiap pengunjung, menurut polisi, dipungut Rp 5.000. Pengunjung yang menginap dengan memasang tenda dipungut Rp 15 ribu per malam. "Kami menduga itu bagian dari kriminalisasi," kata Tigor.
Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan lembaganya sudah memanggil Badan Pertanahan Jakarta Utara. Dari keterangan BPN diketahui sudah diterbitkan sertifikat hak guna bangunan atas lahan seluas 2,7 hektare untuk PT Bumiraya. Adapun puluhan sertifikat hak milik lainnya masih atas nama individu. "Warga mengaku tidak mengenal nama-nama pemilik sertifikat itu." Selanjutnya, kata Alamsyah, Ombudsman akan mengecek keabsahan sertifikat melalui warkah atau riwayat jual-beli lahan.
Kepala BPN Jakarta Utara Firdaus mengatakan lahan yang dikuasai PT Bumiraya merupakan gabungan dari 80 sertifikat yang berhimpun dalam sebuah konsorsium. Sebanyak 62 di antaranya milik perorangan. "Sisanya dikuasai Bumiraya," kata Firdaus.
Juru bicara PT Bumiraya, Endang Sofyan, membenarkan perusahaannya melaporkan warga yang tak mau diajak bekerja sama ke polisi. Endang meminta warga Pulau Pari mengakui hak dan surat-surat tanah dimiliki PT Bumiraya. Namun dia tak menjelaskan dengan rinci riwayat dan harga pembelian lahan. "Kami belinya dari orang Tidung," katanya singkat. Endang pun menolak menjelaskan pengurusan sertifikat baru tanpa pengukuran lahan di lapangan. "Semua prosedur sudah benar. Tanah dari dulu sudah diukur," ujar Endang.
PT Bumiraya juga mengklaim bahwa awalnya ada warga Pulau Pari yang menerima tawaran kerja sama mengelola kawasan wisata. Namun belakangan warga mulai berani melawan. "Ada oknum yang mengacaukan sehingga jadi begini," kata Endang. "Sudahlah, kerja sama saja. Kami juga tidak mau menyusahkan."
Meski konflik belum terpecahkan, rencana perusahaan terus berjalan. PT Bumiraya kini mengajukan izin pendirian hotel di Pulau Pari. "Sudah dapat rekomendasi bupati. Tinggal gubernur," ujar Endang.
Bupati Kepulauan Seribu Budi Utomo mengatakan pemerintah tak akan mencampuri proses negosiasi warga dan perusahaan. "Itu urusan perdata," kata Budi. "Tapi kami berkomitmen tidak ada penggusuran."
Linda Trianita, Avit Hidayat
Selain ada yang dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penyerobotan lahan, tiga warga Pulau Pari ditangkap aparat karena dianggap melakukan pungutan liar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo