Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASRIYAH Amva punya kegiatan rutin saban pekan. Perempuan 55 tahun itu selalu memberikan ceramah kepada sekitar 1.200 santri laki-laki dan perempuan di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Desa Babakan, Cirebon, Jawa Barat. Hari ceramah memang kerap berubah, tapi tema yang diangkat tetap sama: seputar persoalan kesetaraan gender dan emansipasi wanita.
Lewat ceramah, Masriyah berharap semangat saling menghargai bisa terus tumbuh di lingkungan pesantren yang dia pimpin itu. Dia ingin para santri bisa menerima segala bentuk perbedaan di masyarakat. "Dengan begitu, kedamaian akan tercipta," kata Masriyah pada pertengahan Mei lalu.
Masalah kesetaraan gender dan emansipasi wanita memang bersinggungan dengan hidup Masriyah. Dia lahir dan tumbuh di tengah budaya pesantren tradisional yang nyaris menafikan peran perempuan sebagai pemimpin. Ayahnya, Amrin Khanan, pemimpin Pondok Pesantren Asy-Syuhada, Ciwaringin, sekaligus ulama yang disegani di Cirebon. Ibunya, Fariatul Aini, seorang pendakwah.
Kelahiran Masriyah dan empat adik perempuannya sempat memunculkan keraguan mengenai kelanjutan pesantren. Sebab, masih tabu jika perempuan memimpin pesantren. Perempuan dianggap tak perlu terlalu banyak berperan lantaran hanya akan menjadi pendamping laki-laki.
Beruntung orang tua Masriyah masih memberi kesempatan anak-anaknya bersekolah. Masriyah menjalani pendidikan dasar dan menengah di Pesantren Babakan Ciwaringin serta madrasah aliyah di Pesantren Al-Muayyad, Solo, dan Pesantren Al-Badiiyah, Pati, Jawa Tengah. Ia juga sempat belajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Cirebon meski tidak tamat.
Nasib menjadi pendamping laki-laki terbukti ketika Masriyah menikah. Dia menikah dengan Syakur Yasin dan menetap di Tunisia. Tapi usia pernikahan mereka hanya delapan tahun. Masriyah kemudian menikah dengan Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Kebon Melati, yang belakangan menjadi Pondok Pesantren Kebon Jambu. Kala itu, tak ada peran yang dijalankan Masriyah selain sebagai seorang istri dan ibu bagi tujuh anaknya.
Situasi berubah ketika Muhammad meninggal pada akhir 2006. Tanggung jawab mengurus lebih dari 1.000 santri putra dan putri di pesantren suaminya seperti pindah ke pundak Masriyah. Keadaan menjadi kian berat lantaran sebagian besar orang tua santri memutuskan membawa pulang anak mereka hingga hanya tersisa sekitar 350 santri di pesantren. "Terjadi krisis kepercayaan di pesantren," ujarnya.
Masriyah gamang. Dia bingung mencari cara untuk mempertahankan keberlangsungan pesantren peninggalan suaminya. Masriyah kemudian menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah, memohon petunjuk atas segala masalah yang dia hadapi.
Dari situ, Masriyah seperti mendapatkan pencerahan. Dia kemudian mengumpulkan para santri, orang tua santri, dan para pengajar di pesantren. Di hadapan mereka, sambil menonjolkan kepemimpinan Allah, Masriyah menyatakan siap memimpin pesantren. "Allah yang membuat saya berani mengambil keputusan itu," ucapnya.
Di kalangan santri, keraguan terhadap Masriyah bukannya tak muncul. Tapi kepercayaan diri Masriyah dalam memimpin pesantren perlahan-lahan memupus penilaian itu. Seiring dengan berjalannya waktu, Pesantren Kebon Jambu pun semakin maju di tangan Masriyah. Bangunan yang semula terbuat dari kayu dan bambu berubah menjadi permanen. Bahkan kini sudah ada masjid bertingkat di dalam pesantren.
Pengalaman memimpin pesantren menjadi pelajaran berharga buat Masriyah. Dia yakin perempuan juga mampu mengambil peran penting di masyarakat. Ini membuktikan semua manusia sama posisinya di hadapan Allah. Menurut dia, segala perbedaan semestinya memunculkan sikap saling menghargai karena dengan itu kedamaian bisa tercipta. "Dengan kedamaian, kehidupan akan menjadi lebih tenteram," katanya.
Masriyah kemudian dikenal sebagai pemimpin pesantren yang menghormati keberagaman dalam kehidupan. Dia tak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan latar belakang suku, agama, ras, atau gender. Selain lewat ceramah, sikap itu dia tularkan kepada para santri dalam tindakan nyata. "Mereka bisa melihat bagaimana saya memperlakukan tamu dengan baik. Siapa pun itu," ujarnya.
Sejak itu, Masriyah banyak menuliskan pikiran dan ceritanya tentang pluralisme, kesetaraan gender, dan emansipasi wanita. Tercatat ada 16 buku yang sudah dia tulis. Salah satunya Bangkit dari Terpuruk. Buku itu menceritakan pengalaman hidup Masriyah sebagai seorang perempuan yang semula hanya bertugas sebagai istri tapi kemudian harus berjuang membesarkan pesantren peninggalan suami. Kiprah Masriyah sebagai ulama perempuan pun kian mendapat pengakuan.
Di Sumatera Barat, upaya memperjuangkan peran perempuan juga dilakukan Fauziah Fauzan El Muhammadiy. Perempuan 46 tahun itu memutuskan menerima tanggung jawab mengelola Perguruan Diniyyah Puteri, Padang Panjang, Sumatera Barat, karena terinspirasi pemikiran nenek buyutnya yang juga pendiri pesantren khusus perempuan tersebut, Rahmah El Yunusiyyah.
Pada 1923, Rahmah mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri lantaran saat itu banyak perempuan yang tak bisa mengenyam pendidikan. Perempuan hanya dianggap sebagai pendamping laki-laki sehingga tak terlalu penting untuk bersekolah. Padahal Rahmah menganggap posisi perempuan dan laki-laki setara. "Panggilan jiwa membuat saya ingin melanjutkan perjuangan ini," ujar Fauziah pada pertengahan Juni lalu.
Menurut Fauziah, persamaan antara laki-laki dan perempuan sudah diatur dalam Al-Quran. Islam menjunjung tinggi kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam Islam, kata Fauziah, tak ada satu pun larangan bagi perempuan untuk tampil memegang peran penting, misalnya menjadi presiden, menteri, atau diplomat. "Atas dasar itu, saya ingin ikut membangun bangsa melalui pendidikan, khususnya untuk perempuan," ujarnya.
Prihandoko, Ivansyah (Cirebon), Andri El Faruqi (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo