Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Putu Wijaya di Mana-mana

Seratus monolog karya Putu Wijaya dipentaskan secara maraton di Bali sepanjang tahun ini.

26 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA panggung begitu mencekam. Gelap dan sepi. Di sekelilingnya, tampak titik-titik cahaya dari puluhan dupa menyala yang terpasang di dahan pohon-pohon jepun. Asapnya yang harum beterbangan di atas panggung 5 x 4 meter itu. Tak lama berselang, muncul seorang pria. Dia berdiri tegak, lalu memecah keheningan dengan suaranya yang lantang. "Ketika tangan dan kakiku lumpuh, dan tubuhku tak mampu lagi melontarkan seluruh kobaran batin yang bergelora di kepala," katanya. "Aku menatap ke langit yang tiba-tiba berbicara: anakku, jangan sesali apa yang kamu miliki."

Pria itu Putu Satria Kusuma, dramawan kelompok teater Kampung Seni Banyuning, Bali. Pada Rabu akhir Maret lalu itu, dia bermonolog dengan energetik di hadapan puluhan penonton di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Bali. Dari panggung, dia memanjat pohon jepun, mencabuti dupa, membuangnya, lalu berdiri di batang pohon. "Jangan pernah merasa segala hambatan menentangmu," ujarnya. "Kelemahan, kekurangan, bahkan kekalahan sekalipun adalah peluang terbaik untuk menang."

Pertunjukan 15 menit itu membuka Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya. Festival itu mementaskan monolog-monolog karya sastrawan Putu Wijaya secara maraton di seantero Bali pada Maret-Desember tahun ini. Penampilnya bukan hanya dramawan. Ada juga perupa dan dalang.

Ide festival bermula pada Januari lalu, ketika Putu Satria menerima buku 100 Monolog Karya Putu Wijaya. Buku berisi lebih dari 100 naskah monolog itu dikirim langsung oleh Putu Wijaya. Dari situ, Putu Satria tergerak mementaskannya. Selain untuk menghormati sang pengarang, festival ditujukan buat menghidupkan lagi semangat pementasan teater di Bali. "Ini pembangkit gairah teater modern di Bali," ucap Putu Satria. "Pementasan jangan lagi menunggu acara pemerintah."

Putu Wijaya setuju. Dia juga menganggap pementasan drama minim belakangan ini. Menurut Putu, pementasan selalu terhambat biaya dan tak ada sponsor. Monolog, kata dia, bisa menjadi solusi atas segala kesulitan untuk mementaskan drama. "Dalam pementasan monolog, memang tak hanya satu orang yang terlibat, tapi biayanya pasti jauh lebih murah," ujar Putu, Rabu terakhir Mei lalu.

Putu Wijaya menuangkan pandangan atas kondisi teater itu dalam teks orasi budaya yang dibawakan secara monolog oleh Putu Satria di pembukaan festival. Teks berisi pesan agar tak mudah menyerah meski hambatan dan tantangan menghadang. Melalui teks itu, Putu Wijaya juga mencoba menggunakan sudut pandang lain dalam pementasan drama: menganggap kelemahan dan kekurangan sebagai kekuatan. "Segala kendala dalam teater bukan hambatan, tapi peluang," ujarnya.

Teks orasi tanpa judul itu sebenarnya juga dilatarbelakangi kondisi kesehatan Putu Wijaya. Sejak akhir 2012, tangan dan kaki kirinya tak bisa bergerak lantaran stroke. Putu juga menderita gangguan penglihatan. Akibatnya, dia kesulitan menulis di layar komputer. Tapi kondisi itu tak membuat Putu berhenti berkarya. Dia tetap bisa menulis ratusan monolog dan cerita pendek serta novel. "Dengan mobilitas yang terbatas, saya justru lebih mobile dalam berimajinasi," ucap Putu.

Monolog Putu Satria disusul penampilan serupa oleh sejumlah dramawan muda Bali. Julio Saputra, 21 tahun, memainkan Kemerdekaan. Selama 22 menit pria dari Komunitas Mahima itu membawakan monolog yang disutradarai Kadek Sonia Piscayanti. Setelah itu, ada Ayu Sri Darmayanti, 23 tahun, dari Kampung Seni Banyuning. Dia membawakan Ih selama kurang-lebih satu jam. Monolog itu berisi kritik atas penegakan hukum di Indonesia.

Dari Singaraja, festival dilanjutkan di Denpasar. Pada Sabtu ketiga Mei lalu, pementasan digelar di Padepokan Sandhi Murti, Denpasar. Di situ, seniman serba bisa Cok Sawitri memainkan monolog Indonesia. Perempuan asal Bali itu membawakan monolog dengan gaya Arja Siki, opera khas Bali. Beberapa bagian naskah dia ucapkan sambil bernyanyi.

Cok berperan sebagai laki-laki. Dia berpakaian Mantri Gambuh lengkap dengan keris di punggungnya. Kumis palsu pun menempel di atas bibirnya. "Suatu hari saya ditanya apakah bangga menjadi orang Indonesia," ujar Cok sambil menembangkan naskah monolog itu. "Dengan lugas tegas saya jawab, tidak. Aku jawab lebih pasti, tidak."

Cok tampil luwes. Beberapa kali dia berimprovisasi, meski tetap berpedoman pada naskah. Selama 95 menit kritik dan jenaka dilontarkan bergantian sambil diiringi alunan musik gamelan Geguntangan. Tokoh utama "Aku" dalam naskah Indonesia memang tanpa nama. Tapi Cok memaknainya sebagai Pan Balang Tamak, tokoh dalam cerita rakyat Bali. "Dia tokoh kontroversial yang selalu mengaposisi kekuasaan dengan gaya satire," ucap Cok.

Cok memilih naskah Indonesia karena susunan ceritanya menarik. Menurut dia, di awal naskah ada semacam teror atas orang yang tidak bangga dengan Indonesia. Sedangkan bagian akhir, kata dia, "Isinya otokritik tentang Indonesia." Adapun secara umum, naskah Indonesia menceritakan gejolak dalam diri manusia: seseorang yang memandang Indonesia penuh korupsi, manipulasi, kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, ketimpangan, dan kecurangan.

Untuk menguatkan penampilannya, Cok mencoba berimprovisasi dengan menyinggung kekuasaan rezim Orde Baru di bawah Soeharto. Dia mencontohkan penggunaan jargon "NKRI harga mati" yang selalu digembar-gemborkan pada masa itu. Padahal jargon itu kental dengan militerisme. "Kalian harus berpikir dan bernalar untuk membuka cangkang Orde Baru yang fasisme," ujar Cok.

Putu Wijaya memang kerap membahas kondisi Indonesia dalam karya-karyanya. Menurut Benny Yohanes, lewat karya-karya itu sebenarnya Putu sedang mencari jawaban tentang bagaimana menjadi Indonesia. Dengan cara itu, kata Benny, Putu terus-menerus bermigrasi mencari jati diri. "Dia adalah seniman yang memperoleh identitas keindonesiaan lewat proses migrasi," kata pegiat teater dari Institut Seni Budaya Indonesia Bandung itu.

Putu tak memungkiri banyak karyanya yang menyoroti kondisi Indonesia. Sebab, penulisannya banyak terinspirasi dari peristiwa yang diberitakan media. "Berita di media massa adalah makanan saya untuk mencari ide," ujarnya. Tak semua berita yang dia jadikan ide cerita. Putu hanya memilih yang menarik dan lucu. "Saya ambil apa yang dilupakan dan diabaikan orang."

Dari 100 pementasan monolog Putu Wijaya, 62 akan diadakan di Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali. Menurut Putu Satria, Buleleng dipilih menjadi lokasi mayoritas pertunjukan lantaran merupakan tempat Putu Wijaya mengenal teater modern. Adapun penutupan festival bakal dilakukan di Kabupaten Tabanan. Di sanalah Putu Wijaya lahir 73 tahun lalu.

Prihandoko (Jakarta), Bram Setiawan (Denpasar)


Menurut Benny Yohanes, lewat karya-karya itu sebenarnya Putu Wijaya sedang mencari jawaban tentang bagaimana menjadi Indonesia. Dengan cara itu, kata Benny, Putu terus-menerus bermigrasi mencari jati diri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus