Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAWOMATALUO, Nias Selatan, 15 tahun lampau. Iwan Fals mengunjungi desa yang terkenal dengan tradisi lompat batunya itu. Iwan menyusuri rumah-rumah kayu, menghirup suasana batu megalitik yang berserakan di sana-sini. Di suatu pojok, Iwan bertemu dengan seorang anak kecil yang sedang memainkan ukulele buatan sendiri. Anak kecil itu menyanyikan Bento. Iwan terperangah: ”Bagaimana bisa lagu saya dikenal di tempat terpencil?” Iwan mengingat.
Selama lima hari, pada 4-8 Juli, Iwan kembali ke Nias membawa kenangannya itu. Kali ini ia datang bersama kelompok dan kru produksinya menggelar konser bertajuk Nias Bangkit. ”Baru kali ini ada konser besar yang menghadirkan musisi Ibu Kota di Nias,” kata ketua panitia, Agus Mendrova.
Pertama kali datang pada 1995 itu Iwan juga terkesima melihat alat musik tradisional setempat bernama nduri danga. Saat itu alat ini dimainkan oleh seorang tua di tepi pantai. Iwan melihat alat yang terbuat dari bambu sepanjang 30 sentimeter itu dimainkan dengan cara memukulkannya pada lutut dalam posisi duduk.
Maka, Ahad sore pekan lalu, ketika menggelar konsernya di Lapangan Pelita, Gunung Sitoli, Iwan menghadirkan alat musik ini. Konsep pertunjukannya adalah menyajikan budaya tradisional Nias kemudian disambung pertunjukan Iwan dengan lagu-lagunya. Budaya Nias yang ditampilkan adalah tari tradisional seperti moyo, folaya, dan towu. Bahkan sesekali, ketika lagu berada pada posisi intro, Iwan melafalkan gerakan-gerakan tari moyo serupa burung elang.
Sepanjang sore, kawasan itu diguyur hujan lebat tak henti-henti. Sekitar 4.000 penonton tetap bertahan sampai akhir. Iwan mengeluarkan 11 lagunya. Dalam lagu berjudul Surat untuk Wakil Rakyat, Iwan menggabungkan aransemennya dengan musik tradisional Nias. ”Tanpa ada persiapan. Inilah potret rakyat yang sebenar-benarnya,” ujar Iwan. Alat musik etnik yang terlibat selain nduri danga adalah feta batu. Feta batu termasuk alat musik lithophone, yaitu menggunakan batu khusus, yang hanya terdapat di Pulau Nias. Batu-batu ini dipukul dengan kayu jenis nibung yang keras dan padat.
Iwan mempersilakan dua pemain alat musik etnik dari Sanggar Baluseda itu di sela-sela chorus. Saat itulah salah seorang pemain, Hikayat Manao, mencoba vokal etniknya mengikuti pola harmoni lagu modern Iwan sembari memasukkan beberapa karakter perkusif feta batu dan nduri danga. Hasilnya, ada kesamaan frekuensi meski suara hujan kadang terlalu keras mengalahkan bunyi instrumen itu.
”Saya hanya mendampingi teman-teman di sini. Musik tradisional mereka harus hidup,” kata Iwan. Seusai konser itu pun Iwan meminta drummer-nya bersedia mempelajari nduri danga. Karakter dan warna suara yang unik hingga bentuknya yang minimalis menjadi pertimbangan utama.
Iwan melihat tari perang yang dibawakan masyarakat perkampungan etnik Bawomataluo sangat luar biasa. Iramanya mengentak-entak, menjadi semacam penyemangat dan doa bagi mereka. Selain mengagumi musik, Iwan sangat mengagumi peninggalan megalitikum yang dimiliki Nias. Rangkaian lawatannya di Desa Sisobambowo, Nias Barat, sempat membikin Iwan terperangah melihat satu rumah adat yang berumur lebih dari 200 tahun. Bangunannya masih kukuh dan kayunya tak termakan rayap sedikit pun. ”Tiga perempat rumah adat maupun batu-batu itu sudah hilang dari pandangan saya sekarang ketika waktu pertama kali dulu ke sini,” ujarnya.
”Ole... ole-ole-ole...!” penonton menyambut Iwan dengan bebunyian yang mereka buat secara kompak. Dan Iwan pun larut. ”Mereka punya rumah dan harus kembali ke sana. Jangan sampai keragaman budaya hanya menjadi menara gading,” kata Iwan. Ya’ahowu!
Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo