Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA tahun terakhir, produksi kopi Indonesia bertahan di angka 600 ribu ton per tahun. Padahal luas kebun kopi cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Gairah menanam kopi terus tumbuh, terdorong oleh permintaan kopi arabika kelas spesialti. Sentra kopi baru bermunculan dari ujung barat hingga timur Indonesia. Wilayah yang semula tak diperhitungkan menunjukkan potensi.
Resep Rahasia dari Hulu Sumatera
Perawatan tanaman menjadi kunci menjaga produktivitas kebun kopi. Belum semua petani mengetahui dan mempraktikkannya.
TAK cuma menjadi simbol bagi dataran tinggi Gayo, Bur ni Geureudong telah memberikan berkah bagi jutaan jiwa penduduk yang tinggal di sekitar sana. Di sekitar gunung setinggi 2.885 meter itulah-tertinggi kelima di Aceh-salah satu sumber kopi arabika terbaik Indonesia berasal. Posisinya di sebelah barat laut Bandar Udara Rembele, Kabupaten Bener Meriah. Deretan kebun sayur dan kopi terbentang di kiri-kanan jalan, tak jauh setelah keluar dari kompleks bandara.
Daerah yang terletak di jantung Provinsi Aceh ini penyumbang lahan kopi arabika terbesar di Indonesia. Kebun Percobaan Gayo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh mencatat, luas kebun kopi di sana mencapai 101.316 hektare, atau 31,5 persen dari total luas kebun kopi arabika di Tanah Air. Kabupaten Bener Meriah menempati posisi pertama, dengan luas 48.000 hektare. Luas lahan kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Gayo Lues mencapai 46.000 dan 7.000 hektare.
Varietas kopi di sana berlimpah. Kepala Kebun Percobaan Gayo, Khalid Baramsyah, mengatakan setidaknya ada 200 varietas kopi arabika ditanam para petani. Paling banyak adalah varietas Gayo 1, Gayo 2, P-88, Ateng, Bergendal, Sigarar Utang, dan Tipika.
Varietas Gayo 1 dan 2, kata Khalid, disukai petani karena hasil panennya melimpah dan "bandel" menghadapi cuaca serta penyakit. Varietas yang banyak ini salah satu penyebab kebun-kebun kopi di Gayo diburu petani dari daerah lain sebagai sumber bibit. "Mayoritas perkebunan kopi di Indonesia pakai bibit dari Aceh," ujar Khalid.
Seluruh perkebunan kopi yang berada di dataran tinggi Gayo merupakan milik rakyat. Kebun-kebun itu terletak di pekarangan atau belakang rumah. Rata-rata luasnya 1-2 hektare. Salah satunya milik Maisir Aman Al, 68 tahun, yang berlokasi di Jongok Meluem, Pondok Baru, Bener Meriah.
Kebun milik pria yang akrab disapa Al itu dianggap sebagai salah satu yang terbaik di Aceh. Dua organisasi asal Amerika Serikat, Save the Children dan Green Mountain Coffee, menetapkan lahan milik Al sebagai lokasi percontohan produksi arabika Gayo organik. Di sini Al menanam varietas kopi Gayo 1 (dikenal dengan nama Timtim) dan Gayo 2 (Bourbon, yang disebut petani sebagai Borbor).
Al sebetulnya sudah menanam kopi sejak 1975, tapi baru pada 2004 dia mulai mempraktikkan perkebunan organik. Sejak saat itu, produksi kopinya melimpah. Produktivitasnya jauh lebih tinggi ketimbang produktivitas rata-rata kebun kopi lain di Gayo.
Khalid Baramsyah mengatakan rata-rata produksi kopi di Gayo per tahun tak lebih dari 2 ton per hektare. Jika asumsi 1 hektare lahan bisa ditanami 2.500 batang pohon kopi, produktivitas rata-rata setiap tanaman di satu kebun hanya sekitar 1,2 kilogram. Sementara itu, produktivitas setiap tanaman di kebun Al bisa lebih banyak. Sepanjang tahun lalu, misalnya, Al mampu menghasilkan sekitar 5,6 ton kopi dari kebunnya yang seluas 20 rantai (sekitar 1,6 hektare). Bahkan, tiga tahun lalu, Al masih memanen kopi di atas 6 ton dalam satu tahun.
Resepnya sederhana. Ia merawat tanaman dengan cara pemangkasan berkala. Ada beberapa jenis pemangkasan yang ia lakukan, antara lain nyeding atau menyeleksi tunas-tunas baru yang tumbuh; nyerlak atau memangkas cabang-cabang yang tua, tidak produktif, dan mengganggu pertumbuhan; ngompres atau memotong cabang yang tumbuh di bagian atas pohon; dan mumangkas alias melakukan pemangkasan berat untuk meremajakan tanaman berusia tua.
Dengan cara ini, kata Al, pertumbuhan pohon dan tunas baru bisa lebih maksimal. Pertumbuhan buah menjadi berkesinambungan sehingga kopi bisa dipanen lebih dari dua kali dalam satu tahun. Al tak menetapkan waktu perawatan pohon. Tapi setiap tanaman diamati benar pertumbuhannya.
Kepada Tempo, Al mendemonstrasikan cara perawatan itu. Bersenjatakan gunting dan gergaji khusus untuk memangkas batang, ia berkeliling di kebunnya mencari pohon yang produktivitasnya menurun. Dia menunjuk sebuah pohon kopi yang terlihat rimbun dan berdaun lebat. "Di mata awam, pohon seperti ini dianggap sehat, padahal produktivitasnya sudah turun."
Ketika diamati, tak banyak buah yang tumbuh di pohon itu. Kalaupun ada, ukurannya kecil-kecil. Jika dibandingkan dengan pohon yang terawat, tampak setiap ranting dipenuhi buah seukuran kelereng berwarna hijau. Kopi siap dipanen jika warna buah berubah menjadi merah.
Dengan cekatan Al memilah ranting dan dahan pohon yang rimbun. Tak... tak... tak.... Dia mulai beraksi dengan guntingnya. Satu per satu ranting berjatuhan ke tanah. "Saya menyisakan 10 cabang di pohon ini agar pertumbuhan lebih maksimal." Pohon yang tadinya rimbun akhirnya terlihat lebih ceking.
Tak cuma memangkas, Al menggosok batang pohon untuk merontokkan lumut-lumut yang menempel pada batang. Lumut, kata dia, menjadi penghambat pertumbuhan batang baru. Dia lalu menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekitar akar pohon. "Supaya akar bisa bernapas," ucapnya.
Faktor lain yang tak kalah penting untuk menjaga pertumbuhan kopi adalah keberadaan tanaman penaung. Menurut Al, pohon kopi cukup sensitif, tidak boleh kepanasan, tapi juga tidak boleh kekurangan sinar matahari.
Rata-rata kebun kopi di Gayo sudah menggunakan tanaman penaung. Idealnya, menurut Khalid Baramsyah, ada 100 pohon penaung dalam 1 hektare lahan sehingga intensitas cahaya yang diterima pohon kopi mencapai 70-80 persen. Jenis pohon penaung bermacam-macam, bisa petai cina, lamtoro, atau tanaman lain yang dapat menangkap unsur hara nitrogen pada tanah.
Cara perawatan tanaman seperti yang dijalankan Al merupakan warisan generasi sebelumnya. Tapi tidak semua petani di Gayo menerapkan hal itu. Keahlian ini membuat Al jadi sosok yang dituakan oleh sesama petani. Di rumahnya terdapat buku berisi daftar tamu yang pernah berkunjung menimba ilmu. Mereka berasal dari Korea Selatan, Jepang, dan Australia.
Gairah menanam arabika di Tanah Air terus tumbuh dalam lima belas tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas lahan arabika pada 2001 hanya 82.807 hektare. Pada 2016, luasnya mencapai 321.158 hektare atau meningkat 287 persen. Pada periode yang sama, lahan robusta menyusut 26 persen menjadi 912.135 hektare dari 1,23 juta hektare.
Ini yang menyebabkan hasil produksinya terus naik meskipun secara kuantitas masih di bawah robusta. Pada 2001, angkanya masih di bawah 20 ribu ton. Lima tahun kemudian, perkebunan arabika menghasilkan 173.900 ton atau sekitar 27 persen dari total produksi kopi Indonesia. Dari jumlah itu, sekitar 23 persennya disumbangkan Gayo.
Melimpahnya kopi Gayo tak hanya karena ditunjang ilmu perawatan ala petani. Praktik perkebunan secara organik juga membuat kualitas kopi di sana dinilai baik dan potensial untuk dijadikan kopi spesialti. Salah satu petani Gayo yang mulai berfokus mengolah kopi kualitas istimewa ini adalah Aoda Syaefudin, 48 tahun. Petani yang memiliki lahan sekitar 2 hektare ini mengolah hasil kebunnya menjadi kopi spesialti sejak 2015. Dengan pengolahan spesialti, nilai jual kopinya meningkat drastis.
Sebelum mengembangkan pengolahan kopi dengan proses basah (fully-washed), honey, dan natural, Aoda mengaku terbiasa mengolah kopi secara semi basah (semi-washed) atau proses biru (blue process). Proses ini lazim dilakukan para petani kopi di wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Namun, sejak tren kopi spesialti merebak di Indonesia pada 2010, para petani mulai belajar proses pascapanen lain. "Dengan proses berbeda, cita rasa kopi jadi semakin kaya, harganya juga semakin bagus," ujar Aoda.
Upaya itu mendatangkan berkah bagi Aoda. Juni 2016, kopi olahannya menjadi juara kedua dalam kompetisi yang digelar Badan Valorisasi Produk Pertanian (L’Agence por la Valorisation des Produits Agricoles/AVPA) di Paris, Prancis. Pemenang pertama dan ketiga dalam lomba tersebut adalah kopi arabika Java Preanger dari Malabar Mountain Coffee, Pangalengan, Jawa Barat.
Kopi-kopi ini bisa ikut kompetisi berkat nilai tinggi pada uji cicip (cupping test) tingkat nasional. Aoda bercerita, kopi yang dia proses secara basah mendapatkan nilai 86 dalam cupping test yang digelar Masyarakat Perlindungan Kopi Gayo serta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Jawa Timur.
Berkat gelar itu, kopi Aoda yang berlabel arabika Gayo Kelitu Sintep-nama desa lokasi kebun milik Aoda-populer di banyak kota besar di Indonesia. Saat ini, setidaknya ada 20 pembeli reguler dari dalam dan luar negeri. Paling banyak kafe dan rumah sangrai di Jakarta dan Bandung. Dia juga punya konsumen loyal dari Kanada dengan volume tak kurang dari 1 ton setiap kali pemesanan.
Membeludaknya permintaan membuat Aoda kewalahan. Kebun miliknya hanya mampu berproduksi sekitar 1,2 ton buah kopi dalam setahun. Dia sampai harus menyerap buah kopi dari petani di sekitar tempat tinggalnya. Kerja keras itu terbayar. Sebelumnya, kata Aoda, jika menjual kopi proses semi basah, dia hanya memperoleh pendapatan sekitar Rp 3 juta per bulan. Dengan proses pascapanen yang beragam, pendapatannya bisa naik dua-tiga kali lipat.
Kondisi perkebunan kopi di dataran tinggi Gayo yang relatif maju tak diikuti oleh wilayah lain di sekitarnya. Sepuluh jam perjalanan darat dari Takengon, tepatnya di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, para petani kopi belum mengoptimalkan hasil kebunnya. Di sini, kopi justru ditanam jika harga sedang tinggi, menggantikan komoditas perkebunan lain yang harganya anjlok.
Wilayah Dairi sebetulnya punya nama besar di kancah kopi nasional. Pada 1990-an, daerah ini dikenal sebagai penghasil kopi robusta dengan nama populer kopi Sidikalang. Nama mentereng itu meredup ketika harga kopi terjun bebas pada 1998. Saat itu, menurut Ketua Koperasi Petani Organik Dairi, Samuel Sihombing, banyak petani beralih menanam jeruk dan sayur-mayur.
Pada 2012, harga jeruk justru sempoyongan. Di sinilah titik balik kopi Dairi. Petani menanam kopi arabika karena harganya sedang bagus. Ini membuat kebanyakan tanaman kopi di Dairi masih berusia muda. Adapun varietas yang banyak ditanam adalah Sigarar Utang, P-88, dan Ateng.
Tanah Dairi juga punya varietas khas, yakni Lasuna, yang disebut-sebut sebagai varietas kopi asli Sumatera Utara. Tempo sempat menemukan satu pohon Lasuna yang usianya ditaksir sudah di atas 50 tahun. Pohon setinggi hampir 3 meter dengan ukuran batang sebesar paha pria dewasa ini tumbuh di lahan milik Herlina Boru Simarmata, 72 tahun. Herlina sudah tak ingat kapan dia menanam pohon Lasuna tersebut. "Ini kebun warisan," ujarnya.
Teknik perawatan tanaman kopi seperti yang dipraktikkan petani Gayo juga tidak terlalu dikenal petani Dairi. Padahal, jika melihat data tahun lalu, hasil panen kopi di Sidikalang cukup potensial. Samuel Sihombing mencatat, ada 582 petani anggota koperasi dengan luas lahan mencapai 288 hektare. Pada 2017, mereka mampu menghasilkan kopi sebanyak 311 ton. Hasil kopi Sidikalang bisa lebih tinggi karena ada beberapa perusahaan yang memiliki kebun dengan jumlah besar.
Tak jauh dari Sidikalang, sekitar 103 kilometer ke arah tenggara, terdapat wilayah lain yang terkenal sebagai sentra kopi Sumatera Utara, yakni Dolok Sanggul dan Lintong Nihuta. Luas dua kecamatan di Kabupaten Humbang Hasundutan itu mencapai 11 ribu hektare. Varietas yang paling banyak ditanam adalah Sigarar Utang dan Ateng.
Sama seperti Gayo, mayoritas pemilik kebun di Dolok Sanggul dan Lintong Nihuta adalah petani kecil. Semangat petani meningkatkan nilai tambah kopi juga belum terasa di sana. Menurut Jumitro Sihombing, petani sekaligus pengepul kopi asal Lintong, baru segelintir petani yang mulai mencoba melakukan pengolahan pascapanen. "Mayoritas petani masih menjual kopi asalan ke pengepul, tanpa proses lanjutan," katanya.
Perawatan kopi seperti pemangkasan tanaman, pemupukan secara organik, dan pengelolaan kebun, menurut Jumitro, belum banyak dilakukan. "Hampir tidak ada penyuluhan kepada petani," ujarnya. Jika diamati, kondisi mayoritas kebun kopi di sepanjang perjalanan di Humbang Hasundutan tampak tidak terawat. Hamparan kebun jarang memiliki tanaman penaung.
Tanaman kopi yang tumbuh di kebun-kebun di Lintong memang terlihat rimbun. Buah yang muncul juga terlihat banyak, tapi ukurannya kecil-kecil. Ujung-ujung ranting dan daun tanaman terlihat berwarna cokelat kehitaman. Tak sedikit buah yang mati sebelum dipanen. Seharusnya, mulai Maret hingga Mei mendatang, para petani sudah bisa memanen kopi. Tapi, kata Jumitro, sampai saat ini belum terlihat tanda-tanda hasil kopi bakal melimpah. "Mudah-mudahan hasil kebun masih bagus," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo