PICASSO adalah sebuah legenda yang masih di balik tabir. Semua orang memang setuju bahwa pelukis bermata setajam elang ini kemasyhurannya sudah melekat di benak warga dunia. Bahkan sebagian kehidupan pribadinya banyak orang tahu. Misalnya ketika ia, pada usianya yang ke-79, di bulan Maret 1961, menikahi Jacqueline Roque, gadis cantik yang masih belia yang sudah hidup bersamanya sejak 1954. Bulan Juni tahun yang sama pasangan itu mulai tinggal di sebuah rumah yang nyaman di Mougins, tak jauh dari Mediterania. Di sini Picasso, dengan konsentrasi yang tak terputus sama sekali, bekerja sampai ajalnya - demikian John Russell di majalah The New York Time Februari 1984. "Sangat jarang ia menemui orang keluar rumah pun hampir tak pernah, dan di rumah ia menghela beban kerja yang mestinya akan bikin mampus orang yang usianya lebih muda sekalipun." Pelukis agung abad ke-20 ini meninggal bulan April 1973. Masa sepuluh tahun terakhir kehidupannya di balik pintu itu merupakan periode yang menarik untuk diketahui. Maka siapa pun boleh terkesima, ketika dari akhir Februari sampai awal Mei yang lalu di Museum Guggenheim New York berlangsung pameran dengan tema: Picasso: The Last Years, 1963-1973. Karya-karya yang dipasang di situ, kata John Russell, "Tidak sekadar menunjukkan kedalamannya, tapi juga suasana isolasi dan bukan sekadar pajangan karya termegah dalam sejarah kesenian pada abad ke-20." "Sebenarnya, sih, tahun-tahun terakhir Picasso bukan merupakan misteri," kata John, yang memang ketua Bidang Kritik Seni The New York Times. Tapi memang bisa pula bikin bingung - terutama bagi yang mencoba memilah-milah karya Picasso dalam waktu-waktu tertentu. Sebab kelahiran karya-karya Picasso sebenarnya tidak tergantung pada masa-masa tertentu yang bisa di telusuri kesinambungannya. Watak lukisannya juga tidak diwarnai pertambahan usia sang pelukis. Yang mencoba mengamati karyanya pada suatu waktu tertentu, lalu memulai lagi mencatat dan menilai Picasso pada usia 70, atau 75 sekalipun, akan mengalami kegusaran. "Apa yang akan mereka katakan terhadap lukisan-lukisan yang bercampur aduk, dalam berbagai ukuran dan ekspresi itu?" tanya John. Ahli sejarah seni, yang menempatkan Picasso sebagai jagoan berdasarkan masterpiece-nya pada awal kariernya, mengalami kesulitan pula ketika menghubungkan karya-karya itu dengan hasil kreativitas Picasso pada tahun-tahun terakhir - yang mengalir tak terkendali dengan penuh keceriaan. Dalam hal ini kita boleh bertanya: Bagaimana mereka tidak mencatat perubahan yang terjadi pada karya Picasso setelah usianya lewat 75 tahun, dan hal itu tidak pula mereka sesalkan? Memang, masa akhir Picasso tidak akan cocok kalau dipandang - sehubungan dengan karya seperti memandang masa tua para seniman lain. Karya terakhir Michelangelo bisa kita beri contoh Rondanini Pieta di Milan - sesosok patung yang sederhana, berkesan terpotong dan belum selesai. Titian pun pada masa terakhirnya berwarna sedih seperti menyiratkan aba-aba bahwa kematian sang seniman tak bisa lagi ditunda. Karya-karya cat air Ceanne seperti kehilangan fisik mediumnya. Dan hal ini lebih menyedihkan dalam lukisan-lukisan Matisse. Sedangkan Picasso pada masa terakhirnya, kata John Russell, "Kalau dibandingkan dengan semua itu bak sebuah pekikan gajah yang mengamuk." Yang berubah ialah, Picasso dalam tahun-tahun akhirnya bebas dari semangat berhemat-hemat pada masa lalu, dan dengan mulus meluncur lepas dari kontrol yang terlihat dalam karya-karyanya pada awal karier dulu. "Karya-karya terakhirnya memiliki bobot, momentum, dan ambisi sendiri," kata John Russell. Selain itu variasinya beragam, dan jumlahnya melimpah. Bagi sementara orang hal itu janggal. Tapi toh pada akhirnya, di tahun 1980-an, malah memiliki pengaruh besar atas pelukis-pelukis muda di seantero dunia. Sapuan kuas yang tegas, pernik-pernik narasi yang riuh, kesigapan menampung segala risiko yang nimbrung ke dalamnya, dan kejijikan kepada segala tabu, semua itu telah menjadi semangat mulia bagi para pelukis generasi baru - dari Malcolm Morley, kini 50 tahun, sampai Julian Schnabel yang hampir 20 tahun lebih muda. Kalau dulu karya-karya unggulan (masterpiece) Picasso bertampang tak akrab dan menakutkan, kata John Russell, "Karya-karyanya yang belakangan, bagi generasi yang mulai lanjut usia pada pertengahan tahun 1970-an, memiliki daya pikat langsung." Seolah semua itu baru muncul kemarin lusa. Dalam lukisan, Picasso di masa terakhir adalah citra yang pejal, blak-blakan, anggun, bebas dalam warna, bahkan sering sembrono dalam penampilan - sedangkan karya drawing dan seni cetaknya menyiratkan kesinambungan gerak, dari satu subyek ke subyek lain, dari idiom ke idiom, dan greget yang tak pernah pupus. Pada yang terakhir itu, tak seperti dalam lukisannya, terlihat kecermatan dan ketegarannya - suatu hal yang luar biasa bagi laki-laki menjelang 90 tahun. Jarum etsanya tergores lempang, tak tampak tangannya gemetar. Keasyikan Picasso pada masa tuanya sangat beraneka. Pada usia 80-an ia menengok kembali seniman masa lalu - paling tidak Rembrandt - yang sangat ia sukai. Ia juga mengangkat lagi tema lama tertentu, seperti The Artist and His Model, yang pada masa lalu ia garap dengan kesungguhan luar biasa. Kebiadaban manusia atas manusia lain juga menggugah minatnya. Misalnya tentang krisis misil Kuba, dengan greget seperti pada Guernica. Penelusurannya terhadap masalah hubungan laki-laki dan perempuan juga ia kembangkan. Seperti biasa, dalam tema itu warna seks dominan - malah kali ini lebih lugas dan blak-blakan. "Walaupun begitu ia tak segan pula mengakui bahwa usia segera memojokkan dirinya," kata John Russell. Lihat saja potret dirinya yang terakhir: tampak benar sebagai manusia yang sudah di tepi liang kubur. Banyak yang bisa kita lihat dan renungkan tentang karya-karya Picasso pada tahun-tahun akhir - yakni antara 1963 (sewaktu ia memasuki usia ke-81) dan 1973 (91). Dalam periode itu ia sudah menjadi seniman paling tersohor di dunia - bisa jadi satu-satunya orang termasyhur yang pernah ada - dan, kata John Russell, "Telah mendominasi panggung seni rupa internasional selama lebih dari setengah abad." Picasso bukan jagoan yang timbul tenggelam, sekali jaya lalu lenyap. Kepiawaiannya bertahan sejak ia, pada waktu masih 20-an tahun, memberikan kepada umat manusia suatu cara melukis baru: kubisme - yang secara umum sudah diakui sebagai prestasi seni rupa paling top abad ke-20. Dalam hidupnya yang panjang ia bekerja keras praktis setiap hari. Dari tahun ke tahun selalu menampilkan sosok ekspresi baru, menggali diri terus-menerus. Dan pada tahun 1960-an kejutan-kejutannya tak pernah habis - tidak hanya dari karyanya yang baru, tapi juga dari karya lama yang belum pernah dilihat orang. Walaupun ngotot bekerja, ia tidak pernah melupakan perlunya keceriaan anak-anaknya. Rumahnya adalah surga anak-anak. Di studio, sementara Picasso bekerja, Paloma - salah satu anaknya - boleh main corat-coret di kertasnya sendiri. Sering pula Picasso meninggalkan kanvas yang tengah ia tekuni lalu bermain tali dengan Paloma dan Claude. Dalam hidup dan karya Picasso memiliki kepribadian yang tak tertandingi. Setiap analisa dan otak-atik persepsi para ahli mengenai dirinya selalu kedodoran. Bagi sebagian pelukis yang lebih muda, Pablo Picasso adalah sebuah lorong berliku yang panjang, dan dari situ mereka muncul dan lenyap. "Pada saat usianya mencapai 75 tahun," kata John Russell, "cap dirinya dalam sejarah seni rupa dunia sudah tak bisa dihapuskan lagi." Pada tahun 1950-an boleh saja orang-orang lebih terkesima melihat lukisan bak hantu Grey Numbers (1958) karya Jasper Johns. Atau pada karya campuran - lukisan dan konstruksi bangunan - Robert Rauschenberg, lukisan kelam bikinan Frank Stella, dan goresan seperti tanda-tanda pangkat karya Kenneth Noland. Semua gaya itu merupakan jalur yang tak pernah dipijak Picasso. Dalam hal ini para pelukis Amerika boleh merasa bahwa mereka bisa berkarya secara sempurna tanpa menengok sedikit pun kepada Picasso. Bahkan sekitar 20 tahun lalu Michael Fried, kritikus dan sejarawan - sewaktu membahas Frank Stella, Morris Louis, dan Kenneth Noland - menegaskan, "Sejak Perang Dunia II lukisan terbaik adalah yang dibikin di Amerika." Ucapan itu tampaknya lebih ditujukan kepada suatu generasi yang memiliki kecenderungan menghargai Picasso hanya sebagai figur sejarah yang sumbangannya segera mandek. Di Amerika Serikat nada minor terhadap Picasso tidak berhenti begitu saja. Pada akhir 1960-an, bahkan sewaktu Clement Greenberg - kritikus terkemuka di sana waktu itu - merasa sanggup memastikan bahwa seni rupa Picasso sebentar lagi bakal digandrungi, semua pihak seperti menentang. Orang lupa, lukisan terbaik yang pernah ada bukan lahir di negeri itu, kata pelukis Inggris David Hockney, "Tapi di Prancis, dan dibuat oleh satu orang, yaitu Pablo Picasso." Bersamaan dengan itu, di Paris, Grand Palais dan Petit Palais bekerja sama menyelenggarakan pameran karya-karya Picasso secara besar-besaran. Konon merupakan peragaan seni rupa paling hebat dibanding yang pernah dilangsungkan di situ. Di pameran ini tidak hanya karya-karya dua dimensi yang ditampilkan, tapi juga patung-patung - yang sekaligus merupakan bukti bahwa Picasso piawai pula dalam bidang itu, sehebat ia melakukan banyak pembaharuan dalam melukis. "Tidak berlebihan rasanya kalau di katakan, berdasarkan pameran itu, penulisan sejarah perpatungan abad ke-20 mesti diulang kembali," kata John Russell. Sudah begitu, toh persepsi yang pas mengenai Picasso tak ada - bahkan di Paris sekalipun. Pierre Daix, sejarawan seni teman dekat Picasso, percaya bahwa kalau saja ada itikad baik - sedikit saja - dari penguasa Prancis, tak ayal patung-patung itu pasti diminta untuk dipajang di Paris sepanjang abad. Tapi, yah, gejala-gejala niat seperti itu tak kunjung tampak. Belakangan pun tak ada sikap pemerintah bahwa Paris berutang budi pada Picasso. "Padahal Picasso bagi Paris telah menjadi harta tak ternilai," kata John Russell. "Sebagai lambang vitalitas ataupun sebagai tokoh terbesar di antara ribuan seniman yang menemukan Paris sebagai kawasan ideal untuk berkarya." Dan penguasa Paris diam saja, sewaktu Picasso - memasuki masa akhir hidupnya - oleh sebab percekcokan sewa-menyewa, harus angkat kaki dari sanggarnya di Rue, Augustins, tempat kerjanya. Sikap lebih terpuji ternyata justru datang dari warga Basel, Swiss. Mereka mengumpulkan dana - suatu hal yang sebenarnya janggal di situ - untuk beli dua buah lukisan Picasso mutakhir. Sebuah museum besar di Basel kemudian pada musim gugur 1981 menyelenggarakan pameran yang benar-benar menggugah: Picasso, Karya Terakhir 1964-1972. Sebenarnya tiap penyelenggaraan pameran karya-karya terakhir Picasso selalu menghadapi problem penyeleksian. Bahkan bagi ukuran Picasso sendiri, ciptaannya pada tahun-tahun itu terasa berkelebihan. Antara Maret dan Oktober 1968 ia melahirkan 347 etsa. Dari Desember 1969 sampai Januari 1971 ia membuat 194 drawing. Permulaan 1970 sampai Maret 1972, karya pahat yang sempat dihasilkannya 156 buah. Pada musim panas 1970 dan 1973, dengan mudah karya-karya mutakhirnya memadati ruang pameran yang besar di Istana Kepausan (Palace of the Pope) di Avignon. "Meski kualitasnya tidak merata, karya-karya tadi bukanlah yang dibuat asal jadi," kata John Russell. Untuk diletakkan di dalam Museum Picasso di Paris yang tanggal upacara peresmiannya tak diumumkan - dan untuk para ahli warisnya, semua karya di atas cukuplah memadai. Pameran karya-karya mutakhir Picasso di Museum Guggenheim, New York, boleh diamati dari segala seginya. Semua itu bak sebuah catatan harian, mengandung segala unek-unek yang belum disunting - seolah-olah harus berlomba dengan waktu dalam menuangkannya. Satu hal: Picasso, dalam karya-karya mutakhir, tampak ada berusaha bergenit-genit. Semangat yang juga menghinggapi Rembrandt - pada 1636 pelukis ini berpatut-patut dalam pakaian lengkap sewaktu membuat potret diri bersama istrinya. Untuk dirinya, Picasso membumbui gambaran dirinya dengan pipa cangklong. Pembawa panah asmara, kupido, juga sering ia jadikan pajangan di pojok kanvas. Selain itu ia seolah-olah hendak mengangkat seluruh isi dunia ke dalam selembar pelat - seperti yang dilakukan Rembrandt dalam karyanya Hundred Guilder Print. Picasso tak mudah menyerah lalu membiarkan pojok-pojok bidang gambarnya tak berarti, dan tak pernah bilang, "Inilah yang saya kerjakan untuk saat ini." Ia orang yang terus ngotot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini