INDONESIANA Pengumpul: Arwah Setiawan Desain Visual: T. Ramadhan Bouqie, Priyanto S., Didi Sunardi, Gelar Soetopo Penerbit: PT Grafiti Pers, Jakarta, 1984, 111 halaman ADA buku kumpulan sajak, kumpulan gambar, kumpulan cerpen, kumpulan ramalan, masakan, wejangan, banyolan, kegaiban, kejahatan, dan - seperti Indonesiana ini - kumpulan berita. Sampul memang menyebut "cerita-cerita", karena siapa yang mau membeli buku "berita-berita"? Selain itu, ini disebut keranjang cerita karena memang tidak sama dengan kumpulan berita kantor berita. Pokoknya, saya mengerti pekerjaan Arwah Setiawan - sang penyunting warta-cerita ini - tapi seberapa sadis atau seberapa nrimo dia itu saya tidak tahu. Sudah dengan sendirinya Indonesiana ini jebolan majalah TEMPO, yang selalu mau "enak dibaca dan perlu". Dan Arwah Setiawan ini menonjol sebagai jago judul, karena dia itu bukan apa yang orang sebut "wartawan", sastrawan", dan "seniman". Maka itu keahlian langka Arwah itu takkan pernah mendatangkan hadiah sastra, hadiah seni, atau hadiah PWI. Pokoknya judul itu disangka bukan kerja cipta. Untunglah. Sebab Arwah itu lalu bisa menjadi satu-satunya orang yang mendapat "honor" dari cipta-judul ini, dan orang lain yang bisa memahaminya hanya bisa dicari di kalangan sandiwara Srimulat. Arwah dan Srimulat adalah jago-jago judul renyah, gurih, kocak, dan konyol. Godokan Arwah menghasilkan lebih dari 90 judul kisah antara lain Memo buat Malin, Hak Permalingan Hutan, Korset Susu, Sukarela Wajib, Pungli Mayat, Juara Proklamathi, Partai Kondom, Tabungan Permaksiatan Nasional, Jaws Majalengka, Perkutut Bulu Bule, Swasunat, Hantu Tangan Keranjang, Wadam Aspal, Marathon Paha, Rejeki Rontok, Samudra Tinja . . . yang satu lebih konyol dari yang lain. Terhadap ini, apa yang mampu dihasilkan sastrawan? Indonesiana boleh juga disebut sebagai gabungan gambar ganjil goresan Priyanto, Didi Sunardi, dan Gelar Soetopo. Gelaran macam begini juga tidak pernah membuahkan hadiah seni. Tapi apalah hebatnya hadiah. KALAU tajuk dan gambar sudah sinting begitu, segala kisahnya bisa di tanggung ajaib semua, bisa dipercaya biarpun tak masuk akal. Tapi apalah yang disebut masuk atau tak masuk akal itu. Misalnya SIM. Barang sekecil ini rupanya dibuat dari bahan langka sehingga bisa berharga puluhan ribu rupiah, belum lagi kalau sudah ditahan. Ya, mendingan Surat Izin Merayu yang dibagikan gratis oleh Romo Gayeng dari Yogya. Tapi justru yang macam begitu itu yang diuber-uber polisi, tutur Indonesiana. Kita ungkit kisah SIM Romo Gayeng ini karena gelitiknya yang gaib. Maka itu tiap kisah-kabar kecik-kocak yang disebut "ringan" itu bisa saja menyimpan keanehan dan kebenaran lebih banyak dari yang tersurat selintas. Anehnya, segala yang dianggap "ringan, lucu, dan mungkin aneh" itu pengalaman kawula teri dan gurem. Jadi yang kakap bebas dari anehologi atau lucuana. Memang, semua cerita macam begini dipurwani oleh wayang, di mana segala yang ringan, lucu, dan aneh itu ditimpakan kepada Punakawan alias orang kecil-kokbrut. Maka buku ini adalah KKKKKKKK, atau Kocek Kisah Kabar Kecik-Kocak Kaum Kawula Kecil. Lelucon berikutnya: 92 kisah aneh itu terjadi di mana? Ya, tentu saja di Indonesia tapi Indonesia mana? Jadi, memang ternyata bahwa 78 cerita ,atau hampir 85% - terjadi di Jawa (berikut Madura). Sumatera cuma kebagian 11 kisah atau hampir 12% . Lalu tiga obrolan yang sisa dibagi rata: Lombok satu, Sulawesi satu, Flores satu. Bayangkan. Segala berita yang berat, penting, dan serius itu berpangkal diJawa. Ribuan pulau yang sisa bolehlah dianggap tanpa cerita, kecuali kalau ada gunung meletus di Sulawesi, gunung meletus di Ternate, banjir meluap di Ambon .... Masih ada perkara aksaranologi untuk buku lucuana ini. Betul, kita setuju saja kalau judul "Indonesiana" pada sampul ditulis bengkok: datar dulu, lalu dengan sudut 90 anjlok ke bawah (mana ada anjlok ke atas). Jadi, Priyanto rupanya tahu juga bahwa ada yang bengkok dalam kumpulan kisah ini. Tapi jenis huruf yang dipilih untuk seluruh isi buku ini kehru. Mulanya saya pikir yang paling cocok aksara Jawa. Tapi ternyata aksara Jawa di PT Temprint itu impor dari Jepang dan hanya cocok buat buku silat. Jadi, terpaksa harus dicari jenis huruf lain yang tampangnya serasi untuk ketawalogi atau anehoniana. Sudah itu, tata rupa halaman di sana sini juga perlu dimiringkan, karena ceritanya saja sudah miring. Mana bisa yang sinting-miring dirupakan jadi awak tulisan dan gambar persegi semua? Maka Priyanto perlu memperlihatkan tugas sarjananya di ITB dulu (kumpulan sajak tukang minum bir itu, lho) kepada Ramadhan Bouqie dan semua penggambar. Nah, untuk saran mahal ini saya juga perlu mendapat "honor" .... Sudjoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini