PEMBANGUNAN DAN KEBEBASAN Oleh: Soedjatmoko Penerbit: LP3ES, akarta, 1984, 142 halaman BAHAYA seorang teknokrat: sering melihat persoalan secara sempit tidak dimungkinkan melihat hubungan saling-tindak (interaksi) antara masalah yang dibahas dan faktor-faktor lain di luarnya. Misalnya melihat pembangunan sebagai masalah meningkatkan produksi saja - tidak kaitannya dengan hambatan-hambatan budaya, sistem sosial yang berlaku, dan usaha luar negeri untuk merebut pasar atau memanfaatkan buruh yang murah. Lawan kaum teknokrat adalah kaum generalis. Kendati begitu tidak berarti bahwa pendekatan generalistis tidak mengandung bahaya di dalam dirinya. Seorang generalis juga dapat terlalu mengaitkan masalah yang ditelaahnya dengan macam-macam variabel yang terlalu banyak. Akibatnya tidak jelas mana variabel yang penting dan yang kurang penting. Akibatnya lagi, seperti teknokrat, generalis bisa kehilangan jejak. Saya merasa bahwa Soedjatmoko dalam Pembangunan dan Kebebasan masuk ke perangkap yang kedua ini. Dalam buku yang merupakan rangkaian ceramah bulan Maret 1979 dalam rangka Ishizaka Lectres di Jepang ini, Soedjatmoko membahas masalah pembangunan dalam hubungannya dengan hak-hak asasi, kebutuhan dan pertumbuhan manusia. Bagi Soedjatmoko masalah ekonomi sekaligus masalah politik, masalah kebudayaan, masalah etika dan moral, masalah proses sejarah, dan seterusnya. Inilah kekuatan Soedjatmoko. Sekaligus kelemahannya. Permasalahan yang dibahas dalam buku kecil ini jadi tenggelam. Setiap subtopik, kerangka dan isi pembahasannya relatif sama. Akibatnya terasa tidak ada perkembangan maju (progress) dari subtopik ke subtopik: bila judul tiap-tiap bagian yang membahas suatu subtopik dipertukarkan, kita tidak merasa terlalu terganggu. Misalnya, untuk pembangunan Soedjatmoko berbicara tentang masalah-masalah yang ditinggalkan kekuasaan kolonial: ". . . perekonomian yang kacau, tidak berimbang, dualistik, berdasarkan ekspor sejumlah kecil komoditi primer, ketidakseimbangan struktural di antara berbagai daerah, dan ketegangan-ketegangan komunal sebagai akibat bukan hanya dari pengalaman sejarah yang berbeda dan warisan kebudayaan yang berbeda, tetapi juga dari preferensi-preferensi kolonial terhadap kelompok-kelompok etnik tertentu di samping akibat keterbelakangan daerah pedesaan dan kemiskinan yang meningkat" (halaman 8). Dia berbicara tentang pembangunan yang menimbulkan "disparitas pembangunan yang berbeda", yang "menimbulkan akibat pada keseimbangan kota dengan luar kota" (halaman 10). Kemudian tentang kepentingan birokrasi untuk melayani dirinya sendiri dan menggunakan pembangunan sebagai "alasan politik" untuk "mengekalkan kekuasaan bagi mereka yang sedang berkuasa" (halaman 22). Yang menakjubkan, semua yang benar dan penting ini dihembuskan Soedjatmoko dalam satu napas yang singkat, seakan-akan tidak punya waktu mendalami apa yang disebutnya satu per satu. Akibatnya, bak lukisan bapak impresionis Auguste Renoir, kita mendapatkan sebuah kanvas lukisan besar warna-warni tapi tak pernah jelas benar elemen-elemennya. TAMPAK uraiannya yang serba kompleks dan menyeluruh ini tampak pada cara Soedjatmoko memberikan saran-saran jalan keluar. Pokoknya dia menyatakan bahwa penyelesalan harus dicari bersama-sama, tidak bisa sendiri-sendiri dan terpisah-pisah. Artinya, partisipasi segala lapisan masyarakat harus digalakkan. Pada titik ini Soedjatmoko menjadi normatif, dan mulai menyusun daftar apa-apa yang harus dan perlu. Katanya: ". . . perlu secara efektif mencegah persekongkolan dan bahkan perkawinan antara kekuatan ekonomi dan kekuatan politik" (halaman 63) "... perusahaan-perusahaan pemerintah harus dilepaskan dari kontrol eksklusif oleh golongan-golongan tertentu dalam birokrasi sehingga perusahaan-perusahaan ini tidak dibiarkan menjadi wilayah kekuasaan pribadi" (halaman 64) ", . . perlu mendorong kaum miskin untuk benar-benar percaya bahwa tindakan-tindakan mereka sendirilah yang akan dapat mengubah keadaan, bahwa mempertaruhkan nasib di tangannya sendiri adalah mungkin dan dengan cara itu ia dapat memperbaiki nasibnya, dan bahwa usaha itu dengan segala risikonya tidak akan sia-sia" (halaman 87). Kepada negara-negara industri yang kuat, kata harus dan perlu ini diubah menjadi semacam imbauan: "Dalam bidang-bidang inilah negara-negara industri dapat memberikan sumbangan yang berarti terhadap pola pembangunan yang merata, yang kian tanggap saja pada kebutuhan kebebasan manusia" (halaman 66). Yang tidak kita jumpai dalam buku ini adalah analisa mengapa yang harus, yang perlu, yang dapat memberikan sumbangan ini tidak kunjung terlaksana. Menurut saya, buku ini berguna bagi orang-orang yang mau melihat sebuah sketsa besar yang memuat (secara relatif lengkap) masalah-masalah pembangunan. Kalau kita mau menekuni masalah ini secara lebih mendalam, saya khawatir kita harus mencarinya di buku-buku lain. Arief Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini