Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pidato Perlawanan Menyongsong Kursi Presiden

Megawati berbicara terbuka tentang sikap politiknya. Cukup menyengat. Presiden Habibie bisa diadili, katanya. Betulkah ia kini berubah?

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panas menyengat. Ruas jalan Lentengagung, Jakarta Selatan, mendadak macet total. Kendaraan beringsut membentuk untaian sepanjang hampir tiga kilometer. Jarak dua tempat yang biasanya ditempuh hanya dalam lima menit, siang itu, harus dilalui lebih dari setengah jam. Mobil, metromini, dan motor terpaksa berjalan merambat. Beberapa sopir terdengar menggerutu. Klakson mobil dipencet sahut-menyahut. Muara kemacetan apa lagi kalau bukan markas PDI Perjuangan. Kamis pekan lalu, sang Ketua Umum, Megawati Soekarnoputri, 53 tahun, secara terbuka menyampaikan sikap politik partainya, yang baru saja secara resmi dinyatakan menang pemilu. Partainya sukses meraup 34 persen atau 154 kursi parlemen. Inilah peristiwa "bersejarah" bagi putri Bung Karno itu, setelah begitu lama melakukan GTM alias gerakan tutup mulut. "Dunia politik boleh berteriak, tapi saya akan tetap bungkam," begitu kira-kira prinsip yang dipegang Mega. Maka, ketika putri Bung Karno, presiden pertama RI, yang sudah sekian lama "diperdaya" penguasa lama itu bersuara, semua perhatian tersedot kepadanya. Mega pun bagai magnet. Orang, siapa pun dia, tentunya ingin tahu, apa gerangan yang bakal diperjuangkannya jika ia memimpin negeri berpenduduk 200-an juta jiwa ini. Di halaman kantor yang tak luas, duta besar, pengamat politik, wartawan, dan pemimpin partai politik tumplek blek. Di barisan depan kursi tamu, tampak duta besar Argentina, duta besar Inggris, dan juga wakil Bank Dunia. Dari partai, hadir Ketua Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Edi Sudradjat dan Sekretaris Jenderal Hayono Isman. Datang pula Matori Abdul Djalil dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Achmad Tirtosudiro dari Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Tim PDI Perjuangan juga lengkap, dari laskar "lama" seperti Abdul Madjid sampai pendatang "baru" seperti pengamat pasar uang Theo F. Toemion, yang juga salah satu calon anggota legislatif partai itu. Di panggung berkarpet merah berukuran 25 meter persegi, Mega tampak anggun. Rambutnya rapi tersisir. Di tubuhnya melekat blus merah dan rok berwarna hitam. Terselip bros bermotif bunga keemasan di dada kirinya. Suaranya tegas. Pada beberapa bagian pidato, tangannya mengepal ke udara. Ia pun terisak ketika menyinggung soal kemelut Aceh. Pidato setebal 15 halaman itu dibaca Mega selama lebih dari satu jam. Ia membuka pidato podiumnya dengan "assalamualaikum" dan mengakhiri dengan teriakan "merdeka!" Di sisi panggung, Koordinator Satuan Tugas PDI Perjuangan Mangara Siahaan tegap berdiri. Matanya nyalang. Sebuah speaker kecil yang dihubungkan dengan telepon seluler menyumpal telinga kirinya. Sesekali ia tampak berbisik melalui alat itu, memberikan instruksi kepada pasukannya yang siaga di sekeliling lokasi. Suasananya sangat teatrikal, bisik seorang wartawan asing. Acara pidato politik itu semula akan dilaksanakan pada hari Rabu, sehari setelah peringatan peristiwa 27 Juli 1996—ketika markas PDI pro-Mega disapu habis aparat dan preman. Tapi, berhubung ada undangan yang belum sampai, acara pun ditunda sehari. Tapi cerita dari salah seorang pinisepuh partai, Sabam Sirait, menyebutkan bahwa Mega juga memperhitungan hari baik berdasarkan perhitungan kalender Jawa. "Hitungan pasaran ini tetap dipakai karena (sesuai dengan) naluri (Mega)," kata Sabam. Di luar pernak-pernik naluri itu, dilihat dari materi pidato, inilah gebrakan besar yang dilakukan Mega. Sebelumnya, banyak orang menduga Mega akan bersikap konservatif. Artinya, ia tidak akan gegap-gempita membela ide-ide reformasi seperti pengadilan Soeharto, pelepasan Timor Timor dari wilayah Indonesia, atau amendemen UUD 1945. Tapi kenyataan ternyata berbicara lain—setidaknya dari isi pidato politiknya, yang cukup menyengat, bahkan terasa menohok seteru politiknya. Sebutlah soal pengadilan mantan presiden Soeharto. Mega dengan tegas mengatakan akan memeriksa bekas orang kuat di Republik itu melalui pengadilan yang berkeadilan. "Tidak hanya Pak Harto, tapi siapa saja, termasuk presiden yang sekarang dan yang akan datang," katanya, lantang. Tekad bulat ini menghapus spekulasi seputar diamnya Mega tempo hari menyangkut soal sensitif itu. "Respons Mega atas isu Soeharto, apalagi jika dilakukan dengan intensitas dan kekerasan yang sebanding dengan tokoh-tokoh lain, bisa dengan mudah dipelesetkan para seterunya menjadi isu dendam kesumat keluarga BK, bahkan menjadi isu dendam ideologis," kata pengamat politik Cornelis Lay, yang dekat dengan kandang Banteng. Pemelesetan yang sama berlaku pada persoalan dwifungsi ABRI. Dalam hal Timor Timur, Mega tidak keberatan dengan kesepakatan tripartit—Indonesia, Portugal, dan PBB— yang akan menyelenggarakan referendum. Ia hanya menggugat keputusan Habibie yang diambil tanpa berkonsultasi dengan MPR. Sikap ini seperti bertentangan dengan suara-suara yang berkembang selama ini. Sebelumnya, bertiup kabar, konon, kandang Banteng Perjuangan hendak membatalkan keputusan itu jika kelak berkuasa. "Saya lega dengan sikap Megawati terhadap Timor Timur," kata Ana Gomez, perwakilan pemerintah Portugal untuk Indonesia. Begitu pula sikapnya terhadap isu amendemen UUD 1945. Ternyata, Mega sama sekali tak mengunci pintu. Syaratnya, pembukaan konstitusi Republik tak boleh diganggu gugat. Hanya, perlu ada pembahasan yang saksama tentang pasal-pasal mana saja yang perlu diubah. Jika tidak penting-penting benar, pasal tersebut tidak perlu diganti, tapi undang-undang di bawahnya saja yang diperbaiki. Kabarnya, kubu Banteng bermulut putih itu kukuh mempertahankan mukadimah karena mereka khawatir debat piagam Jakarta akan terulang. Artinya, mereka tidak ingin basis negara Pancasila yang ditegaskan preambul UUD 1945 dipersoalkan atau diganti dengan basis agama. Mega berubah? Itulah pertanyaan banyak orang yang tidak bisa dicarikan jawaban pastinya. Tapi sumber-sumber TEMPO di kandang Banteng menyebutkan, sebelum naskah pidato itu diketik, konsepnya telah lama dibicarakan dengan saksama. Dalam bidang ekonomi, Mega di-back up ekonom kondang Kwik Kian Gie dan Laksamana Sukardi. Tak jarang debat seru terjadi. Menurut Jakob Tobing, wakil PDI Perjuangan di Komisi Pemilihan Umum (KPU), pernah terjadi dua orang penggodok ekonomi partai itu sampai dua hari tidak bertegur sapa karena berbeda pendapat. Kwik dan Laksamana berantem? "Ah, saya tidak mau menyebut nama. Tidak etis," kata Jakob. Laksamana membantah perseteruan itu. Perubahan sikap Megawati, kabarnya, juga disebabkan oleh pertemuannya dengan beberapa tokoh. Sebutlah sikap tentang Tim-Tim. Sebelumnya, Mega seperti ogah-ogahan menerima opsi kemerdekaan seperti yang ditawarkan Habibie. Maklum, Mega yakin betul dengan perlunya dipertahankan provinsi ke-27 itu. Tapi, setelah bertemu dengan utusan khusus PBB Jamsheed Marker, si Ibu melunak. Ia belakangan mau menerima opsi referendum asalkan ada jaminan: jajak pendapat tak diikuti tindak kekerasan. Bukan tidak mungkin Jamsheed memainkan kartu tekanan internasional untuk membujuk Mega. Betulkah Mega sudah "sadar"? Amien Rais, ketua umum dan calon presiden dari Partai Amanat Nasional (PAN), meragukannya. Ia mencatat ada beberapa materi pidato yang sumir. Dalam hal Tim-Tim, putri Bung Karno itu memang tidak menolak referendum. Tapi ia meminta negara lain bersedia menerima eksodus pengungsi Tim-Tim yang tidak tahan terhadap integrasi. "Jadi, asumsinya, referendum akan berakhir dengan integrasi," kata Amien. Amien bahkan menilai pidato Mega telah gagal meyakinkan masyarakat bahwa ia punya komitmen dengan agenda reformasi. Mega sendiri mungkin tidak peduli dengan penilaian Amien. Yang pasti, ia telah membuktikan janjinya untuk berbicara terbuka selepas pengumuman resmi hasil pemilu. Dan itu artinya Mega siap dengan konsep sendiri menuju kursi presiden. Bagi rakyat kebanyakan, pidato itu memberikan arah baru: pemimpin, apalagi calon presiden negeri besar, harus dinilai dari konsepnya, perjuangannya yang konkret—bukan mengandalkan mitos semata, apalagi lantas diam seribu basa. Mega, setidaknya, mulai meruntuhkannya sendiri, dengan getar suaranya, juga tangis keibuannya. Arif Zulkifli, Hani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus