SEBUAH ruang lengang dengan bentangan kain putih. Properti panggung yang irit, selektif, dan fungsional, yang terdiri atas empat buah bangku bambu, yang dimainkan secara efektif dalam pemunculan motivasi, penyusunan komposisi, dan penajaman asosiasi. Tata cahaya yang terdiri atas banjaran neon dengan sinarnya yang putih dan sesekali siraman cahaya jingga. Semuanya berkelindan menghadirkan kebersahajaan yang kaya makna.
Di atas panggung itulah koreografer Gusmiati Suid menyajikan karyanya yang baru, yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya. Meskipun tetap mengolah referensi kultural yang sama, yakni variasi gerak yang berakar pada tradisi silat Minang, kali ini garapan Gusmiati terasa lebih sublim. Semua unsur dramatik seakan lebur dalam penghayatan tema. Asa (Di Ujung Tanduk) memang menyarankan suatu kondisi yang rawan dan riskan. Keheningan akan memungkinkan naluri untuk lebih waspada. Kontemplasi menjadi lebih berarti daripada hasrat bercerita dan segala bentuk reaksi yang dapat mengundang risiko berbahaya.
Efek musikal yang dibangun dari lantunan vokal Juni Azwar serta pelbagai instrumen (tabuh, tiup, dan gesek) yang dimainkan Syahrial, Risdul Fahman, Gusnisam, dan Vitta Okmarina amat mendukung suasana kontemplatif. Begitu pula tata panggung dan lampu garapan Lutz Deppe.
Pada koreografi Asa (Di Ujung Tanduk) memang terasa benar adanya pergeseran estetis dari karya-karyanya terdahulu. Pergeseran semacam itu tak ada kaitannya dengan soal konsistensi. Ia justru menegaskan keberlangsungan proses kreatif yang wajar dan sehat. Kreativitas bukanlah upaya pencapaian suatu titik final. Setiap karya tak lebih dari momen reflektif yang sementara. Semacam jeda, di mana seniman yang kreatif akan terangsang untuk melanjutkan perjalanan menuju penciptaan yang lebih sempurna. Itulah yang terjadi pada Gusmiati Suid.
Pada repertoar Api dalam Sekam tahun lalu, Gusmiati masih mengedepankan kecenderungan bercerita. Pengadeganan diwarnai dengan pelbagai gerak atraktif, yang diupayakan selaras dengan set panggung yang memunculkan efek dramatis. Karya itu lebih menegaskan kehadiran sebuah pertunjukan teater tari.
Tapi, kini, sebagian besar ekspresi seakan diminimalkan proyeksinya, sehingga yang tersaji adalah esensi seutuhnya. Gerak-gerak ritmis hanya sesekali memercik. Kendati demikian, seluruh komposisi terhindar dari kesan lamban, berkat intensitas yang terjaga. Para penari mampu mewujudkan harmoni kebersamaan. Konfigurasi yang dinamis, terkadang memencar dan sesekali mengempal, berhasil meluaskan dan memusatkan dimensi visual. Gusmiati beruntung mendapat dukungan dari para penari Gumarang Sakti yang andal, terutama Ivonne Greselda, yang setiap geraknya seakan mengalirkan getaran, serta beberapa penari dari Tanz Theater Basel, yang pesonanya terpusat pada diri Sonja Rocha.
Sementara Gusmiati mendasari koreografinya dengan kepiawaian melakukan inovasi seni tradisi, Joachim Schlomer berangkat dari kebebasan ekspresi tubuh yang spontan. Pada kesempatan yang sama, koreografer asal Jerman itu menampilkan Stadt-Land-Fluss ("Kota-Tanah- Sungai") setelah Gusmiati. Dalam proses menciptakan tarian, ia mengaku lebih terpesona pada sesuatu yang berada di balik gerak, yang menjadi motivasi gerak. Ia sampai pada suatu "pola". Gerak-gerak bebas itu mengalir dalam irama lembut, seolah mengikuti suatu bimbingan. Liukan tubuh terjadi sebagai terusan getaran tangan dan kembali berakhir pada rentangan tangan.
Karya Joachim dimainkan oleh para penari dan pendukung artistik yang sama dengan pendukung Gusmiati. Mereka memang terlibat dalam sebuah kolaborasi yang diselenggarakan oleh Goethe-Institut dan Kedutaan Besar Swiss di Jakarta. Dalam berkolaborasi, Joachim terasa lebih rileks menyerap pengaruh silat Minang. Hal itu agaknya memang telah menjadi karakter dasar kreativitas Joachim, yang membuka diri bagi inspirasi yang muncul dari pertemuan antartradisi tari. Namun, kelonggaran sikap kreatif seperti itu tak berarti bebas dari risiko. Meski karyanya berkesan lebih padu dengan citraan panggung dan cahaya, dalam kolaborasi Face to Face itu terasa pula betapa ia tak mampu menepis dominasi pesona Gusmiati, yang darah-dagingnya memang digerakkan oleh tradisinya sendiri.
Sitok Srengenge
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini