Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mega Menantang, Mega Dihadang

Poros tengah bisa menghadang langkah Megawati ke puncak Republik. Ditambah manuver Golkar dan TNI, salah-salah ia bisa terjungkal. Apa saja halangan untuk Mega?

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK jempol teracung untuk pidato politik Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Kata-katanya memukau. Isinya menjanjikan bagi hari depan reformasi, walau dalam beberapa kasus putri Bung Karno itu bagai mendua sikapnya—misalnya amandemen UUD 1945 atau dwifungsi TNI. Tapi banyak analis yakin bahwa pidato bagus itu merupakan start yang mulus untuk sebuah pertarungan keras memperebutkan kursi presiden Republik. Pidato itu saja memang tak bakal cukup. Ia masih harus berjuang menggusur setumpuk batu penghalang yang mengancamnya. Ancaman utama datang dari poros tengah—yang menyebut diri Fraksi Reformasi—yang dimotori Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. Ini adalah kaukus strategis yang disebut-sebut bakal didukung sejumlah partai berbasis Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, PAN, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, Partai Kebangkitan Umat, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Partai Nahdlatul Umat segera bergabung. Manuvernya langsung menyengat putri Bung Karno itu. Tak tanggung-tanggung, Amien mengusung sekutu utama si Mbak, K.H. Abdurrahman Wahid, sebagai calon presiden. Pada istighotsah kubro yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Ahad dua pekan lalu, dengan lantang Ketua Muhammadiyah itu berteriak, ''Hidup Gus Dur!" Yang dipinang memang tak kontan mengiyakan. Dengan enteng, Ketua Umum Nahdlatul Ulama itu cuma menimpali, ''Kan bagus, Mas Amien mencalonkan saya, saya mendukung Mbak Mega, nanti Mbak Mega menjagokan Mas Amien." Tapi Gus Dur juga tak tegas-tegas menolak. Semula, banyak yang memandang sebelah mata. Amien dikira sekadar gertak sambal karena jengkel dengan politik bisu Mega. Tapi, perkembangan berikut menunjukkan taring kaukus itu semakin tajam saja. Menurut penggagasnya, Ketua FPP DPR Zarkasih Nur, sejak digulirkan 16 Juli lalu, diam-diam para petingginya telah berembuk tak kurang dari tujuh kali. Kesediaan jago mereka pun, kata Zarkasih lagi, makin bisa dipastikan. Ahad malam dua pekan lalu, mereka diundang Gus Dur ke kantor PBNU. Forum itu dihadiri Amien, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra, Ketua PKB Alwi Shihab dan Tosari Widjaja, serta Zarkasih dari PPP. Sikap Gus Dur? Calon Presiden dari PKB itu mengangguk setuju. ''Saya tidak keberatan dicalonkan," demikian Zarkasih menirukannya. Bahkan, Kiai Ciganjur itu juga mendorong mereka agar ''maju tak gentar membela yang benar" di sidang umum. Jika kali ini Gus Dur bisa ''dipegang" sikapnya, jelas ini ancaman berat untuk Mega. Atau, bisa saja ini justru dimaksudkan untuk memelihara dukungan poros itu agar tak melarikan suaranya ke Habibie. Dan pada saat yang tepat, ia bisa langsung membelokkannya ke arah Mega—itu kalau janjinya kepada Mega tidak luntur. Gus Dur memang merupakan kekuatan utama aliansi ini. Dia dinilai sebagai kandidat yang paling lentur dan bisa diterima semua kalangan. Warga Banteng segan kepadanya. Sampai-sampai ada guyonan, PDI Perjuangan (PDIP) punya dua ketua: Mega dan sang Kiai. Belakangan, ia akrab dengan Habibie. Keduanya kerap saling rangkul dan cium. Sambil sarapan pagi, berjam-jam mereka ngobrol ngalor-ngidul, dari soal politik sampai nasi rawon. Kebekuan hubungan Kiai Ciganjur dengan Amien Rais pun mulai mencair. Faktor kesehatan? Pekan depan, 8 Agustus, ia akan terbang ke Amerika untuk menjalani operasi mata. Di atas kertas, jika dihitung bulat-bulat berdasarkan perolehan kursi di DPR, amunisi kekuatan ini memang dahsyat: 169 suara. Melampaui total suara PDIP, yang 154, maupun Golkar, yang 120. Bahkan, jika suara sekoci PDIP dan Golkar dimasukkan, kaukus itu juga masih lebih unggul (lihat infografik). Amunisi tambahan akan dipasok dari jatah kursi Utusan Daerah MPR. Target yang dipatok: menguasai 50 suara dari total 135 kursi. Untuk itu, mereka sudah bersepakat untuk membopong sekutunya yang memperoleh suara terbanyak di suatu provinsi. Ambil contoh di Sumatra Barat. Di sini PAN unggul. Nah, mereka akan ramai-ramai memberi sokongan agar jatah lima kursi yang ada di Ranah Minang bisa disapu bersih. Utusan golongan juga bisa menggelembungkan pundi-pundi suara mereka. Jika sentimen Islam makin lengket di faksi ini, bukan mustahil mereka setidaknya bisa menggaet 15 kursi pemuka agama Islam. Lewat Gus Dur, suara kaum reformis dari kandang ''status quo" Beringin pun bisa digaet. ''Kami ingin poros ini jadi fraksi reformasi, bukan sekadar fraksi Islam," tutur Zarkasih. Dari Markas Golkar Slipi, mereka merancang untuk ''menculik" 60 suara dari faksi penentang Habibie. Tokoh masyarakat dan ulama juga gencar dilobi untuk menekan Habibie, sang pakar pesawat itu, agar mundur dari pencalonan. Dari partai plural seperti PAN, menurut versi A.M. Fatwa, salah satu petinggi partai, arus dukungan mengalir deras. Dari berbagai lobi, PKB, yang semula ''pejah-gesang" (mati-hidup) ikut Gus Dur mendukung Megawati, mulai mengalirkan dukungannya. Memang, kata Zarkasih lagi, sebagian kalangan nahdliyin masih menjagokan Mega. Tapi sebagian lagi kabarnya tengah menunggu instruksi Gus Dur untuk masuk dalam ''barisan baru" kiai asal Jombang itu. Tambahan lagi, sentimen Islam calon legislatif PKB tentu amat kental. Dan mereka bakal lebih kerasan di fraksi Islam itu, ketimbang di ''kandang banteng", yang bukan ''habitatnya". Pendek kata, jika Mega tak cermat melangkah, faksi ini bukan mustahil bisa menggergaji kansnya. Aturan permainan juga dinilai bakal merepotkan Mega. Untuk memilih presiden, Tap MPR Nomor II/1973 akan dipertahankan. Presiden akan dipilih bertahap. Dalam hitungan Zarkasih, pada tahap pertama akan tampil tiga calon. Setelah itu dipilih dua nama. ''Dalam tahap ini, kami yakin menang," katanya. Skenarionya kurang lebih begini: pada babak pertama, nama Mega, Habibie, dan Gus Dur dimajukan. Nah, karena Golkar sudah digembosi dengan berbagai isu korupsi seperti dana Bank Bali (lihat: Ekonomi Bisnis), di level berikut tinggal tersisa Mega dan Gus Dur. Dan duel itu akan dimenangkan jago mereka karena suara Beringin jelas akan menolak si Mbak. Suara TNI juga naga-naganya semakin jauh dari Mega, dan bandul suara militer semakin dekat ke Bung Rudy Habibie. Pidato Mega yang cukup keras mengecam kebrutalan tentara di mana-mana dipastikan bakal membuat TNI berpikir keras untuk mendukungnya. Dugaan ini dikuatkan Zarkasih, kalangan terdekat Habibie, dan beberapa petinggi militer. Golkar telah terang-terangan menawarkan konsesi berupa tampuk wakil presiden kepada Panglima Wiranto. Sedangkan sampai hari ini, dari Markas PDIP Lentengagung, secara resmi belum ada tawaran semenarik itu. Terbetik kabar, dalam soal wakil presiden, suara Banteng masih terpecah. Warga Banteng cenderung memilih Gus Dur sebagai wakil presiden jika Mega naik kelak. Golkar adalah batu sandungan Mega berikutnya. Di luar 120 kursi yang telah dikantongi, Beringin, yang menang di lebih banyak provinsi, diperkirakan akan meraup suara tambahan dari 60-70 kursi Utusan Daerah. Pada suara jenis ini, PDIP cuma akan meraih sekitar 40-50 kursi. Apalagi jika sentimen Islam semakin kental menolak Mega, salah-salah poros tengah malah digaet Habibie. Dan ditambah suara militer, lengkap sudahlah kekalahan Mega. Seorang karib Habibie mengaku te-ngah mengincar suara gemuk dari aliansi itu. Menurut ceritanya, bela-kangan ini Amien telah dua kali bertemu Habibie. Tak jelas apa yang dibicarakan. Tapi, ''sang makelar politik Habibie" ini mengklaim Amien telah oke mendukung Bung Rudy. Sejauh mana kebenarannya? Entahlah. Yang jelas, dengan dukungan finansial yang konon tak terbatas, tim sukses Habibie siap menggilas Mega. Seorang petinggi PDIP sampai jeri dibuatnya. Apalagi bertiup kabar santer ada Rp 3 miliar per orang untuk ''ongkos" siapa saja yang mau membelot keluar sarangnya. Di ''dapurnya" sendiri, Mega punya banyak ''piring kotor" yang harus segera dicucinya, dari melerai pertengkaran antarfaksi yang semakin meruncing sampai soal komposisi pasukannya yang akan bertempur di Senayan. Yang paling gawat tetap masih isu lama yang sensitif: daftar calon DPR yang didominasi kalangan nonmuslim. Isu agama itu telah terbukti efektif. Wakil Sekjen PDIP, Mangara Siahaan, mengakui bahwa setelah ditorpedo dengan kampanye negatif soal calon nonmuslim itu sebelum pemilu, dihitung-hitung sekitar 15 persen suara PDIP amblas. Masalah untuk Mega, sekarang daftar calon itu tak mudah lagi diutak-atik, misalnya mengganti yang nonmuslim dengan yang muslim. Soalnya, aturan menentukan daftar calon tetap yang sudah masuk ke Panitia Pemilihan Indonesia tak lagi bisa ditambal dengan personel baru. Stok calon di lis PDIP, menurut seorang petinggi KPU, juga tak memadai dibandingkan dengan calon yang harus diganti karena alasan agama itu. Dengan sejumlah ganjalan itu, toh banyak yang tetap optimistis Mega bakal kembali ''bermain" di Istana—seperti masa kecilnya dulu. Ketua PKB Alwi Shihab, umpamanya, yakin kehadiran poros tengah justru akan menguatkan Mega. Ia haqqulyakin Gus Dur tak mudah dipecah belah dengan Mega. Permainan memang belum lagi usai. Semua kartu masih terbuka. Dan jika Mega piawai pasang kuda-kuda, sepiawai saat ia berpidato, jarak rumahnya di Kebagusan ke Istana rasanya akan lebih dekat baginya. Karaniya Dharmasaputra, Ali Nur Yasin, Hardy R. Hermawan, Wens Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus