WANITA bertubuh besar, bermata hijau, dengan kulit kegelapan dan rambut hitam, itu setidaknya telah membuktikan dua hal. Ketabahannya ketika berada di tengah huru-hara dan ternyata suaminya menjadi korban penembakan kaum fundamentalis. Dan cintanya kepada suami -- dari ketika ia menjatuhkan pilihan 38 tahun yang lalu kepada seorang opsir angkatan darat yang duda, sampai ia menulis buku tentang terbunuhnya Anwar Sadat. Jehan Sadat, yang masih memancarkan kecantikan di usia 50-an kini, memang seorang wanita yang penuh kepercayaan diri. Ia seperti tak ambil peduli pada gunjingan orang -- bahkan sindiran anak tirinya sendiri. Darah yang mengalir di tubuh Jehan, kata Camelia Sadat, anak tiri itu, bermacam-macam sebanyak bangsa yang membentuk Amerika. Tentu, itu berlebihan, namun tak sepenuhnya melenceng dari kenyataan. Gladys Mary Cotrell, ibu Jehan punya darah campuran Inggris, Mesir, dan Turki. Sementara itu, Safwat Raouf, ayahnya, adalah orang Mesir berdarah Turki. Banyak penulis mengatakan, Safwat bertemu Gladys di Sheffield, Inggris. Ketika itu ia tugas belajar di fakultas kedokteran, yangwanitaadalah guru bahasa Inggris di sebuah sekolah. Tapi, lagi-lagi Camelia, mengatakan bahwa ayah Jehan cuma juru tulis di sebuah bank. Menurut sejumlah sumber, Jehan salah seorang dari empat anak pasangan Safwat dan Gladys itu. Namun, tanggal lahirnya tak pernah jelas. Sementara orang mengatakan 1933, yang lain bilang, ia lahir pada Agustus 1934 di Kairo. Dan menurut Camelia, karena ibu tirinya itu menikah pada usia 19 tahun pada Mei 1949, tentulah ia lahir pada 1930. Yang bersangkutan sendiri tampaknya tak pernah peduli -- apalah artinya sebuah tanggal, begitu mungkin pikirnya. Yang jelas, Jehan mewarisi kesetiaan seorang istri dari ibunya. Ia memang dekat sekali dengan Gladys, warga negara Inggris yang kemudian ikut suaminya tinggal di Kairo. Meski tak pernah masuk Islam, Gladys sangat toleran: dalam keluarga campuran ini napas Islam dipelihara dengan sungguh-sungguh. Kepada keempat anak mereka, Gladys sangat memperhatikan pendidikan agamanya. Bahkan si ibu ikut berpuasa di bulan Ramadan, meski tak meninggalkan kebiasaan-kebiasaan Inggrisnya. "Kupikir, ibuku merupakan sosok seorang ibu yang bijaksana dan penuh perhatian terhadap Ayah," tutur Jehan suatu kali. Dan salah satu cita-cita Jehan remaja adalah menjadi istri yang baik dan setia. Lain daripada itu, mungkin berkat didikan ibunya pula Jehan tumbuh dengan kepercayaan diri yang besar. Ia lebih mengikuti kata hatinya daripada kata orang. Kepercayaan diri yang memang cuma bertabir tipis dengan sikap keras kepala itulah tampaknya yang memungkinkannya menikah dengan Anwar Sadat. Tapi, lagi-lagi, kisah pertemuan Jehan dan Anwar pun kontroversial. Sebagian orang mengatakan, mereka bertemu suatu hari di rumah seorang bibi Jehan. Waktu itu si gadis masih seorang siswi sekolah menengah. Sementara itu, Anwar, opsir lontang-lantung, belum lama keluar dari penjara karena aktivitas politiknya. Anwar, 29 tahun kala itu, duda dengan seorang anak. Ia telah bercerai dengan Ekbal, nama istri pertama tersebut. Dan siapa lagi bila bukan Camelia yang menyodorkan versi lain pertemuan ayah dan ibu tirinya. Pada suatu hari, tutur Camelia dalam bukunya, Father and I yang terbit dua tahun lalu, Jehan berkunjung ke penjara, membawa kue-kue. Ia menengok suami saudara sepupunya yang dipenjarakan. Kebetulan yang hendak dikunjunginya dikurung di dekat Anwar. Ketika melewati sel Anwar itulah penghuninya begitu tertarik pada gadis remaja itu. Konon, Anwar kemudian selalu menunggu-nunggu si remaja membezuk ke penjara. Lalu mereka berkenalan, dan seterusnya. Anwar Sadat sendiri punya versi untuk ihwal perkenalan ini. Konon, ia bertemu dengan Jehan pertama kali di rumah sahabatnya yang menjadi suami saudara sepupu Jehan. Yang pasti, sebenarnya keluarga Jehan tak setuju ketika Anwar melamar dia. Duda itu oleh pihak Jehan dinilai tanpa masa depan. Apalagi bila diingat aktivitasnya di bidang politik, yang kala itu memperjuangkan kemerdekaan Mesir bagi yang bukan pejuang terasa utopis. Tapi siapa bisa menghalangi perasaan remaja yang lagi dimabuk cinta? Bulan madu mereka diwarnai gejolak politik. Anwar aktif di luar rumah. Dan meski Jehan tak melibat diri, ia pun tak tinggal diam. Di rumah ia selalu sibuk, merenda, membuat kerajinan tangan, belajar. Dan potensi Jehan sebagai wanita gesit, cerdas, penuh inisiatif benar-benar terwujud setelah Mesir merdeka dan Nasser, Presiden pertama, memberi kedudukan kepada Sadat. Tentu, ketika ia menjadi Ibu Negara, 17 Oktober 1970, ia makin sibuk. Ia terlibat berbagai kegiatan sosial. Misalnya menggalang perempuan-perempuan di Desa Talla, di pinggir Sungai Nil, membuat kerajinan tangan untuk meningkatkan kesejahteraan. Pada perang 1967 dan 1973, Jehan aktif dalam Palang Merah. Ada yang perlu dicatat. Ketika memasuki ruang tempat Sadat akan dikukuhkan menjadi presiden, yang melangkah terlebih dahulu melewati ambang pintu adalah Jehan. Ini hal yang sangat radikal di sebuah negara Islam, tempat para wanita diharuskan berjalan di belakang suaminya. Sadat bukannya tak menyadari hal itu, katanya, "Istriku dan aku membuka babakan baru bagi hak asasi wanita di negeri ini." Di samping itu semua, Jehan pun seorang akademikus. Ia memperoleh Master of Art di bidang Sastra Arab pada 1980 dari Universitas Kairo. Itulah modal penting ketika ia harus menutup telinga terhadap kritik-kritik yang dilontarkan oleh musuh-musuh suaminya, setelah Anwar sadat tiada. Pada 1985 ia memutuskan lebih banyak tinggal di Washington, mengajar di American University dan University of South Carolina tentang wanita di negeri Islam. Untuk itu, ia dibayar US$ 15.000. Dan kesetiaannya terhadap suami terus tercermin dalam sikap dan kata-katanya. Bila ke Mesir, ia selalu berziarah ke makam Anwar Sadat. Dalam otobiografinya ia menulis, "Aku tahu, roh suamiku menjagaku selalu." (Lihat juga Percik Darah yang Tak Pernah Kulupakan, dan Selamat Tinggal Anwar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini