Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM memutuskan mendukung Joko Widodo pada pemilihan presiden 2019, Muhammad Zainul Majdi membuat "riset" mengenai calon presiden. Pada awal tahun ini, Zainul membentuk tim beranggotakan sejumlah lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, sebagaimana dirinya, untuk meneliti rekam jejak nama-nama yang mencuat. "Tuan Guru minta dicarikan calon presiden yang sesuai dengan beberapa kriteria," ujar Nanang Firdaus Masduki, anggota tim itu, pada Senin pekan ketiga Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan Tuan Guru Bajangsapaan Zainulseorang calon presiden mesti menjaga nilai-nilai Islam wasathiyah atau moderat. "Yang mengedepankan ajaran pluralisme, toleran, adil, dan bertanggung jawab," tutur Nanang. Calon tersebut juga harus bisa melakukan modernisasi ekonomi, sosial, dan agama. Latar belakang calon tak luput diintai tim tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama yang disaring di antaranya Presiden Jokowi, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan Komandan Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Mereka, kata Nanang, diberi bobot berdasarkan kriteria itu. Sebelum diserahkan kepada Zainul, draf laporan "riset" diuji sepuluh orang bergelar doktor dari berbagai bidang ilmu. "Hasilnya, nilai Pak Jokowi paling tinggi," ujar Nanang.
Zainul kemudian menyatakan dukungannya secara terbuka kepada Jokowi pada pertengahan Juli lalu. Ketika berkunjung ke kantor Tempo beberapa hari setelah mendeklarasikan dukungan, Gubernur Nusa Tenggara Barat yang masa jabatannya habis pekan ini tersebut mengaku diam-diam mendukung Jokowi sejak 2016. "Presiden konsisten mengeksekusi apa yang direncanakan dan tekun melaksanakan pembangunan," katanya. "Ini perlu keberlanjutan."
Pernyataan Zainul menghangatkan suhu politik. Disambut riuh para pendukung Jokowi, ia dicibir kubu Prabowo dan kelompok penentang Jokowi. Sebelumnya, Zainul berada di barisan Prabowo. Pada 2014, ia adalah ketua tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa untuk wilayah Nusa Tenggara Barat. Di provinsi itu, Prabowo-Hatta unggul hingga 72 persen. Zainul juga diketahui menyokong gerakan 212, unjuk rasa yang menuntut Gubernur DKI Jakarta saat itu sekaligus bekas wakil Jokowi di DKI, Basuki Tjahaja Purnama, dipenjarakan karena dianggap menodai agama.
Menyeberangnya Zainul ke kubu Jokowi sudah diperkirakan Partai Demokrat, partai Zainul. Ketua Partai Demokrat Erma Suryani Malik menuding Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan berada di balik berubahnya sikap politik Zainul. Menurut Erma, Zainul didekati Luhut sejak Februari lalu. Politikus Demokrat yang lain menceritakan hal yang sama.
Zainul Majdi mengatakan mendukung Jokowi bukan karena dipengaruhi orang lain. "Secara personal, saya dukung Pak Presiden sejak 2016," ujar pria 46 tahun ini. Ia mengatakan bertemu dengan Luhut setelah dukungannya kepada Jokowi tersiar luas di publik. "Pak Luhut tanya, betul enggak mendukung Pak Jokowi."
Luhut pun menampik kabar bahwa ia telah mengajak Zainul Majdi pindah ke barisan Jokowi. "Enggak ada, enggak pernah," ucapnya.
Setelah mengumumkan dukungannya kepada Jokowi, Zainul mundur dari Demokrat, yang telah tujuh tahun menjadi partainya. Waktu itu, Demokrat belum menentukan sikap berpihak kepada Jokowi atau Prabowo. Keputusan Zainul dianggap mendahului partai. Gara-gara hal itu, Demokrat sempat berniat menjatuhkan sanksi. Tapi Zainul lebih dulu melepas jaket Demokrat.
Zainul bergabung dengan Demokrat pada 2011 dan langsung menjabat Ketua Dewan Pimpinan Daerah Demokrat NTB. Menurut Zainul, dulu ia masuk Demokrat karena ingin memperkuat jaringan politik daerah dan pemerintah pusat. Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono ketika itu menjabat presiden (2009-2014). Di parlemen, Demokrat menguasai 150 dari 560 kursi. "Pertimbangan saya adalah untuk memperkuat kami di daerah," ujar Zainul.
Sebelum masuk Demokrat, Zainul meniti karier politiknya di Partai Bulan Bintang, sepulang menamatkan studi doktoralnya di Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran di Universitas Al-Azhar. Zainul mengatakan memilih Bulan Bintang karena ada jejak kedekatan partai itu dengan Nahdlatul Wathan, organisasi kemasyarakatan Islam terbesar NTB yang dibentuk kakeknya, Zainuddin Abdul Madjid atau Tuan Guru Pancoryang juga mendirikan Pesantren Darunnahdlatain, yang kini dikelola Zainul Majdi.
Nahdlatul Wathan bagian dari Partai Masyumi, yang dibubarkan pada 1960. Bulan Bintang, yang didirikan pada 1998, mengklaim diri sebagai ahli waris Masyumi. "Tokoh di NTB banyak yang meminta supaya ada perwakilan Nahdlatul Wathan di DPR," ujarnya.
Pada 2004, Zainul Majdi terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Bulan Bintang. Empat tahun kemudian, ia maju sebagai calon Gubernur NTB dengan menggandeng Badrul Munir sebagai calon wakilnya. Didukung Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan Sejahtera, pasangan ini mengalahkan lawan-lawannya dengan perolehan suara 37 persen. Pada 2009, Zainul hengkang dari Bulan Bintang setelah partai ini tak lolos ke parlemen.
Setelah keluar dari Demokrat, Zainul ditawari bergabung oleh sejumlah partai, seperti Golkar. Tapi Tuan Guru belum menjawab ajakan tersebut.
Hussein Abri Dongoran, Hendartyo Hanggi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo