Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUGAAN korupsi divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara makin memperlihatkan sisi gelap penjatahan saham tambang buat daerah. Melenceng dari tujuan memakmurkan rakyat, saham daerah justru diperjualbelikan secara tidak transparan. Duit hasil penjualan saham diduga menjadi bancakan pejabat daerah, sementara masyarakat setempat hanya bisa gigit jari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indikasi itu cukup kentara dalam kasus divestasi saham PT Newmont pada 2009 yang tengah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi. Saat itu, Newmont harus melepas sebagian sahamnya karena Undang-Undang Mineral dan Batu Bara mematok kepemilikan saham perusahaan asing maksimal 49 persen. Kebijakan ini membuka peluang bagi daerah untuk memiliki saham Newmont. Hanya, proses divestasi ini ditengarai berlumuran korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK sedang menelisik jejak aliran duit ke Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang pada masa divestasi saham Newmont. Data yang dipegang tim komisi antikorupsi memperlihatkan adanya kucuran dana ke rekening pribadi sebesar Rp 7,36 miliar pada kurun 2009-2011. Ada juga aliran miliaran rupiah ke rekening istri Gubernur pada kurun yang sama.
Aliran yang mencurigakan itu diduga berkaitan dengan pembelian saham Newmont oleh pemerintah daerah yang dibayar secara bertahap dengan dividen. Proses pembelian saham diawali dengan pendirian PT Daerah Maju Bersaing oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Karena tidak memiliki duit, perusahaan itu kemudian bermitra dengan PT Multi Capital milik Grup Bakrie dengan membentuk perusahaan bersama: PT Multi Daerah Bersaing.
PT Multi Daerah akhirnya mendapat 24 persen saham Newmont. Kepemilikan saham PT Daerah Maju pada PT Multi Daerah adalah 25 persen. Dengan kata lain, ketiga pemerintah daerah yang mendirikan PT Daerah Maju secara tak langsung mempunyai 6 persen saham PT Newmont. Tapi, tujuh tahun kemudian, saham daerah ini dijual lagi dengan harga jauh di bawah harga pembelian.
Komisi antikorupsi pun menyelidiki dugaan korupsi penjualan saham daerah pada 2016 atau periode kedua masa jabatan Gubernur Zainul Majdi tersebut. Saat itu, PT Medco Energi Internasional Tbk mengakuisisi 82,2 persen saham PT Newmont, lalu mengibarkan bendera PT Amman Mineral Nusa Tenggara sebagai penguasa baru tambang emas dan batu bara tersebut. Tak hanya mengambil saham perusahaan asing di Newmont, Medco juga mencaplok seluruh saham PT Multi Daerah Bersaing. Otomatis, saham milik daerah pun ikut dilego.
Patgulipat jual-beli saham daerah bukanlah modus baru. Kasus serupa mencuat dalam divestasi saham Kaltim Prima Coal pada 2003. Karena tak memiliki duit, pemerintah daerah Kutai Timur melalui PT Kutai Timur Energi mengalihkan hak pembelian saham di Kaltim Prima Coal senilai Rp 576 miliar ke pihak lain. Uang hasil penjualan itu tidak masuk ke kas daerah, tapi diputar di perusahaan sekuritas.
Skandal itu menyebabkan dua petinggi PT Kutai Timur Energi, Anung Nugroho dan Apidian Tri Wahyudi, masuk penjara karena terbukti merugikan keuangan daerah. Bupati Kutai Timur saat itu, Awang Faroekkemudian menjadi Gubernur Kalimantan Timur pada 2008juga sempat dijadikan tersangka. Tapi Kejaksaan Agung belakangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan kasus Awang tanpa alasan yang jelas.
Pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan divestasi saham tambang yang memunculkan praktik kotor. "Nasionalisasi" usaha tambang, termasuk pemberian jatah saham ke daerah, menjadi mudarat jika tidak dilakukan secara transparan. Pembelian saham oleh daerah semestinya tidak boleh ditunggangi pihak swasta. Pemerintah daerah seharusnya pula dilarang menjual lagi saham itu seenaknya.
Skema "bagi hasil" seperti yang berlaku di sektor minyak dan gas sebetulnya jauh lebih transparan karena uangnya langsung ditransfer ke kas daerah. Hanya, dua tahun lalu, pemerintah pusat juga mengalokasikan participating interest sebesar 10 persen buat daerah penghasil migas, pola yang mirip dengan penjatahan saham tambang untuk daerah.
Perlu kajian serius atas kebijakan bagi-bagi saham ataupun participating interest buat daerah. Tolok ukur keberhasilan kebijakan ini simpel: harus ada peningkatan pendapatan daerah dari hasil pembagian dividen. Masyarakat pun mesti mendapat manfaat secara langsung. Jika alokasi saham untuk daerah hanya menguntungkan pejabat daerah seperti yang ditengarai terjadi di Nusa Tenggara Barat, kebijakan itu perlu ditinjau lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo